Perayaan tahun baru Imlek di Wihara Budi Asih, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (24/1/2020) malam, ditemani rintik hujan. Hal itu membuat umat semakin antusias berkumpul, berdoa, dan bersukacita bersama keluarga.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Perayaan tahun baru Imlek di Wihara Budi Asih, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (24/1/2020) malam, ditemani rintik hujan. Hal itu membuat umat semakin antusias berkumpul, berdoa, dan bersukacita bersama keluarga.
Sekitar pukul 19.30, sejumlah keluarga datang ke wihara untuk sembahyang. Warna merah mendominasi pakaian mereka. Seusai sembahyang, mereka duduk santai sambil menikmati kudapan dan hiburan musik. Langit malam itu tampak mendung, tetapi hujan belum juga turun.
Sambil duduk bersama keluarganya, Lie Ifung (40), warga Bandung, Jawa Barat, mendongak melihat langit. Ia heran karena di Purwakarta hujan belum turun. ”Padahal, perjalanan dari Bandung tadi sore hujan deras. Kok, di sini belum hujan, ya?” katanya sambil menggelengkan kepala.
Sebagian warga meyakini kehadiran hujan saat malam perayaan Imlek menjadi pertanda baik. Rintik hujan disimbolkan sebagai rezeki yang jatuh dari langit. Semakin banyak tetesan air yang jatuh ke bumi saat pergantian tahun, makin berlimpah pula rezeki dan berkat yang diterima pada tahun tersebut.
Kepercayaan itu rupanya diturunkan kepada generasi selanjutnya. Mikael (11), anak Ifung, hafal dengan cuaca yang terjadi saat perayaan Imlek. ”Biasanya hujan deras. Tapi, cuaca apa pun, momen Imlek yang paling aku tunggu adalah pohon angpau,” ucapnya semringah.
Malam itu, pohon angpau tengah disiapkan. Para ibu tampak sibuk memasukkan uang ke dalam amplop merah. Sebagian lagi mengikatkan benang merah di sudut amplop. Amplop-amplop itu akan digantungkan di pohon sakura buatan setinggi 2 meter. Pohon itu bakal menjadi primadona anak-anak dan remaja untuk diperebutkan di halaman wihara.
Tak lama, setelah pohon itu diletakkan di luar wihara, hujan mulai turun. Perlahan tapi pasti, tetesnya semakin berat. Pukul 21.00, hujan deras pun mengguyur. Ekspresi wajah semringah tergambar dari wajah mereka. Sayup-sayup terdengar suara dari warga yang bersukacita karena hujan turun.
”Semoga tahun depan semakin berlimpah rezeki”, ”Akhirnya hujan turun”, dan ”Ini pertanda baik di tahun depan”.
Selain dikaitkan dengan simbol tertentu, Imlek juga memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Gouw Po Moy (75), warga Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta, datang bersama 3 anaknya, 2 menantu, dan 5 cucu. Tradisi tahunan ini sangat dinantikan karena menjadi momen berkumpul keluarga besar. Ia memasak bakso, ikan mas goreng, dan mi goreng sebagai menu andalan malam Imlek.
”Saya senang saat keluarga datang ke rumah untuk makan bersama. Setelah itu, kami berangkat sembahyang ke wihara bersama,” kata Moy.
Berbeda dengan Moy, makna lain dirasakan Edi Halim (23), karyawan swasta, yang secara khusus pulang dari perantauan untuk merayakan Imlek di Purwakarta. Sebagai anak muda, ia tak ingin meninggalkan tradisi tersebut begitu saja.
Menurut dia, tradisi ini penting dilakukan karena sebelum menapaki tahun yang baru, keluarga perlu meminta restu dan berkat dari leluhur. ”Kalau tidak pulang, saya malu sama leluhur. Kita harus berterima kasih atas jasa yang telah mereka berikan,” ujar Edi.
Saya senang saat keluarga datang ke rumah untuk makan bersama. Setelah itu, kami berangkat sembahyang ke wihara bersama. (Gouw Po Moy)
Semakin larut, hujan kian gaduh menyambut pergantian tahun baru. Dinginnya udara malam seakan tak mampu mengusik hangatnya kebersamaan antarumat di dalam wihara. Mereka tampak nyaman bercengkerama di atas tikar sambil menikmati kudapan ringan dan mengobrol santai.
Ketua Yayasan Wihara Budi Asih Purwakarta Sena Nelsen Ruslie menyebutkan, ada sekitar 150 orang yang berkumpul merayakan Imlek di Kabupaten Purwakarta. Meski tidak sebanyak di daerah lain, keakraban antarwarga terjalin baik karena saling mengenal satu sama lain. Menanggapi makna hujan, Nelsen menjelaskan bahwa penghitungan tanggal Imlek kerap kali masuk ke dalam musim hujan, maka lumrah jika hujan kerap mewarnai perayaan ini.
Sebelumnya, pemerhati sejarah Purwakarta Ahmad Said Widodo mengatakan, warga China Makau tiba di Karawang dan Purwakarta melewati Sungai Citarum seiring diterapkannya politik tanam paksa (cultuurstelsel) mulai tahun 1830. Mereka bekerja sebagai tenaga harian di perkebunan kopi, teh, dan pala yang berada di Kecamatan Wanayasa dan Kecamatan Kiarapedes.