Nuansa persaudaraan begitu kental pada perayaan Imlek 2571 di Maha Vihara Maitreya, Kompleks Cemara Asri, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (25/1/2020).
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Nuansa persaudaraan begitu kental pada perayaan Tahun Baru China atau Imlek 2571 di Maha Vihara Maitreya, Kompleks Cemara Asri, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (25/1/2020). Ribuan umat Buddha dan non-Buddha berbaur dalam perayaan Imlek bertema ”Indonesia Harmonis Dunia Satu Keluarga” itu.
Umat Buddha sejak pagi silih berganti bersembahyang di wihara seluas 4,5 hektar tersebut. Suasana saat umat bersembahyang di wihara itu begitu khidmat. Umat yang beribadah membakar dupa, lalu bersujud memanjatkan doa.
Setelah selesai membakar dupa, umat mengelus perut Rupang (patung) Buddha Maitreya. Rupang dengan wajah penuh tawa ria itu berada di depan wihara menyambut setiap pengunjung wihara. ”Buddha Maitreya merupakan simbol sukacita, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberuntungan,” kata Federico Wijaya, sukarelawan di Maha Vihara Maitreya.
Umat lalu mengambil secara acak nasihat dari Buddha Maitreya yang ditulis dalam kartu. Nasihat itu akan menjadi pedoman hidup umat selama satu tahun. Kartu itu biasanya ditaruh di dompet, meja kerja, atau kamar tidur agar bisa dibaca setiap hari sepanjang tahun.
Umat manusia diajak untuk bisa mengalahkan diri sendiri dan dapat beradaptasi dengan gerak langkah evolusi dunia.
Federico mengatakan, tahun ini mereka mengambil tema perayaan ”Indonesia Harmonis Dunia Satu Keluarga”. Umat manusia diajak untuk bisa mengalahkan diri sendiri serta dapat beradaptasi dengan gerak langkah evolusi dunia sehingga menciptakan hidup yang harmonis. ”Manusia beradab adalah yang dapat mengalahkan diri sendiri. Sementara orang yang dapat menaklukkan orang lain tetapi tidak bisa menaklukkan diri adalah orang kuat, tetapi tidak beradab,” katanya.
Persaingan hidup membuat manusia semakin tidak berperasaan, tidak memiliki belas kasihan, kejam, jahat, dan sadis. Moral manusia semakin merosot dan nurani semakin tersesat demi keberlangsungan hidup sendiri. ”Evolusi hidup menuntun umat manusia menuju peradaban mental dan spiritual yang cemerlang, hidup berkelanjutan, dan dunia satu keluarga,” katanya.
Simbol pengharapan juga selalu terasa kuat dengan adanya dua pohon mei hua tiruan yang sedang bermekaran sehingga menciptakan kesan musim semi. Di China, pohon mei hua mekar pada perayaan Tahun Baru China yang biasanya jatuh pada awal musim semi, setelah musim dingin empat bulan usai.
Di dekat pohon mei hua pun dibuat jam kebahagiaan berdiameter sekitar 4 meter yang terus berputar. Umat pun menuliskan doa-doa dan kebaikan serta membuat di salah satu kotak jam. Setiap kotak jam mempunyai arti masing-masing, seperti kedamaian, kebahagiaan, dan kemapanan.
China tempo dulu
Di salah satu sudut Maha Vihara Maitreya juga dibangun sudut Kampung Tiongkok tempo dulu. Sudut itu menjadi salah satu galeri yang paling banyak dikunjungi umat dan warga.
Galeri itu dibuat dengan latar gambar suasana pasar di Kampung Tiongkok tempo dulu. Ada yang berjualan buah, siomai, dan mi. Ada pula yang menjahit baju dan barongsai. Kursi dan meja makan pun dibuat dengan desain dan perabot tua, seperti piring, sendok, teko, dan mangkuk.
Di tengah galeri dibuat kereta roda dua khas China yang ditarik manusia. Para pengunjung pun mengantre untuk berfoto di galeri itu. ”Ini membawa kami pada suasana Tiongkok tempo dulu. Kami juga bisa tunjukkan ke anak-anak suasana kampung leluhur kami di Tiongkok,” kata Toni Sanjaya (40).
Wihara itu pun tidak hanya dikunjungi oleh umat Buddha. Sartono (35), warga Medan, bersama istri dan tiga anaknya berkunjung ke wihara itu. ”Kami hampir setiap tahun berkunjung ke sini untuk mengisi waktu liburan. Anak-anak juga jadi tahu perayaan Imlek seperti apa,” katanya.