Masyarakat Betawi dan Tionghoa sudah lama hidup berdampingan tanpa berjarak, termasuk saat Imlek. Perbedaan latar belakang tak jadi soal untuk bergembira bersama pada pergantian tahun ini.
Oleh
Krishna P Panolih/Litbang Kompas
·4 menit baca
Imlek adalah tradisi pergantian tahun dalam budaya China yang terkait dengan perayaan datangnya musim semi. Lazimnya, tradisi ini dirayakan keturunan Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, sebagian besar warga Jabodetabek juga turut menyemarakkannya.
Kata Imlek berasal dari dialek Hokkian. Kata Im berarti ’bulan’ dan Lek adalah ’penanggalan’. Dalam bahasa Mandarin disebut dengan Yin Li, artinya ’kalender bulan’.
Imlek kerap dikaitkan dengan perayaan agama Buddha dan Khonghucu. Padahal, sebetulnya, di masa lampau merupakan tradisi petani China kuno dalam menyambut musim semi. Kebetulan saat itu banyak petani China yang menganut Tao, Khonghucu, dan Buddha.
Dari masa ke masa, banyak warga keturunan Tionghoa di Indonesia penganut Buddha, Khonghucu, bahkan agama lain, datang ke kelenteng atau wihara untuk berdoa kepada dewa dan leluhur. Mereka menjalankannya sebagai tradisi serta wujud syukur sekaligus harapan agar pada tahun depan mendapat rezeki melimpah.
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Imlek hanya dirayakan warga keturunan Tionghoa saja. Seperti penilaian 46,4 persen responden jajak pendapat Kompas, akhir Desember lalu.
Di sisi lain, hampir separuh responden beranggapan perayaan Imlek bisa dirayakan siapa saja, tanpa memandang etnis ataupun agama. Persepsi ini tak hanya muncul dari responden yang merayakan Imlek. Hampir 90 persen responden yang tidak biasa merayakan Imlek berpendapat senada.
Merujuk laman National Geographic (5/2/2019), Sidharta, pengurus Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), menyebutkan, seluruh etnis Tionghoa, apa pun agamanya, bisa ikut merayakannya.
Di Jakarta dan sekitarnya, masyarakat Betawi dan Tionghoa dikenal sudah lama hidup berdampingan dan tak berjarak. Perbedaan agama tidak jadi soal karena perayaan ini tidak berhubungan dengan agama. Bauran ini terlihat dalam istilah ”Lebaran Cina” dan juga tradisi antar-antaran ikan bandeng.
Hidangan bandeng hanya ada dalam tradisi Imlek keturunan Tionghoa di Indonesia. Justru orang Tionghoa Jakarta, mengutip laman Kemdikbud.go.id, menyerap budaya hantaran bandeng dari budaya Betawi sejak abad ke-17.
Bandeng dalam budaya Betawi dulu sebagai pertanda bahwa di rumah itu ada anak gadis yang belum menikah. Jika ikan bandeng yang digantung hilang karena diambil orang, berarti ada pria yang menaksir anak gadis tersebut. Akan tetapi, tradisi ini sudah tak berlaku lagi pada masa kini karena ikan bandeng banyak diambil kucing.
Bandeng dan budaya Betawi juga terlihat dari hidangan pindang bandeng. Di perairan Teluk Jakarta, ikan yang mudah didapat hanya bandeng sehingga menjadi ikan favorit warga Jakarta. Masakan pindang bandeng Betawi berbeda dengan daerah lain karena ikan dibakar dulu menggunakan rempah dan kecap sebagai pemanis.
Selain bandeng, perpaduan dua budaya juga terwujud pada orkes tanjidor yang kini jarang terlihat.
Orkes tanjidor merupakan adaptasi budaya Betawi dengan Eropa dan China. Perayaan Imlek di kampung-kampung Betawi biasanya diramaikan rombongan pemusik yang mengamen dari rumah ke rumah warga yang merayakan. Tanjidor pun kerap dipakai untuk meramaikan perayaan puncak Imlek (Cap Go Meh) dan Ceng Beng (tanggal 1 bulan ke 5 kalender Tionghoa).
Toleransi
Anggapan bahwa Imlek bisa dirayakan siapa saja, menurut tiga perempat responden, merupakan ungkapan toleransi antarumat beragama. Hal ini ditemukan dalam berbagai cerita warga Betawi di Jakarta, baik yang keturunan Tionghoa maupun bukan (Kompas, 19/6/2018).
Seperti cerita Uung Sendana, warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Sejak masa kecil hingga sekarang, dia selalu bersilaturahmi ke rumah tetangga yang beragama Islam. Sebaliknya, saat Imlek, para tetangga ganti berkunjung ke rumah Uung. Hal serupa dilakukan Natalia, warga keturunan Tionghoa yang dibesarkan di Kampung Arab, Pekojan (Tambora), Jakarta Barat, sejak 1969.
Bentuk toleransi lain adalah hantaran pindang bandeng dari warga Betawi kepada warga keturunan Tionghoa atau sebaliknya. Masakan bandeng pada akhirnya menjadi tradisi saat perayaan Imlek.
Selain itu, hampir seperempat responden juga menilai perayaan Imlek adalah hari raya universal. Perayaan Imlek merupakan perayaan pergantian musim dari musim dingin menuju ke musim semi. Filosofinya, pergantian waktu menjadi penanda bagi manusia untuk melakukan perubahan aktivitas ke arah lebih baik. Hal ini disimbolkan dengan aktivitas bangun pagi, kemudian membersihkan rumah, dan berlanjut dengan silaturahmi dengan saudara atau kerabat.
Perayaan Tahun Baru kalender China tersebut tak berbeda dengan perayaan Tahun Baru Masehi. Meski berkaitan dengan tradisi keturunan Tionghoa, selayaknya tradisi budaya, bisa dirayakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia.