Sejak pertama dipentaskan 34 tahun silam, naskah teater ”Panembahan Reso” karya penyair WS Rendra (1935-2009) ini kembali dihadirkan.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Sejak pertama dipentaskan 34 tahun silam, naskah teater ”Panembahan Reso” karya penyair WS Rendra (1935-2009) ini kembali dihadirkan. Cara-cara tersembunyi dan kotor tokoh utama Panembahan Reso demi merebut takhta kekuasaan menjadi pelajaran penting untuk melihat peristiwa di sekeliling kita hari ini.
Alkisah, seorang Raja Tua (diperankan Gigok Anurogo) mempunyai tiga selir: Ratu Dara (Sha Ine Febriyanti), Ratu Kenari (Sruti Respati), dan Ratu Padmi (Maryam Supraba). Posisi di antara ketiga istri itu setara. Ini sesuai kesepakatan antara Raja Tua dan istri terakhir, Ratu Dara. Ratu Dara mau dipinang Raja Tua asalkan tidak ada di antara para istrinya kemudian dijadikan istri utama atau permaisuri.
Permintaan Ratu Dara ini titik awal intrik kerajaan. Sebelum Raja Tua meminang Ratu Dara, kedua istrinya belum memberi anak keturunan. Ratu Dara yakin bisa dengan segera memberi anak kepada Raja Tua. Lalu, ia memiliki ambisi agar anaknya kelak yang menggantikan ayahnya sebagai raja. Ratu Dara pun berhasil memberi anak pertama. Anak itu diberi nama Pangeran Rebo (Jamaluddin Latif).
Ternyata ini disusul kemudian oleh kedua istri Raja Tua yang melahirkan anak-anak berikutnya. Maka, lahirlah pangeran-pangeran lain. Ada Pangeran Bindi (Ignatius Zordy Axl), Pangeran Gada (Dimas Danang Suryonegoro), Pangeran Kembar-1 (Udin UPW), Pangeran Kembar-2 (Ig Joko R), dan Pangeran Dodot (Yogi Swara Manitis Aji).
Persaingan para pangeran menjadi sumbu utama api konflik dan intrik naskah drama teater karya Rendra ini. Tetapi, sesuai judul naskahnya, Panembahan Reso, yang bukan siapa-siapa itu, menjadi tokoh sentral di dalam naskah ini.
Naskah Panembahan Reso pertama dipentaskan di Istora Senayan, Jakarta, selama dua hari pada 26-27 Agustus 1986. Rendra menjadi pemeran tokoh utama Panembahan Reso. Durasi pementasannya mencapai enam hingga tujuh jam.
Naskah ini kembali dipentaskan di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Sabtu (25/1/2020), diperpendek menjadi tiga jam. Pementasan bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek. Pentas ini disutradarai Hanindawan, seorang tokoh sastra dan pemimpin Teater Gidag Gidig di Solo, Jawa Tengah.
Tokoh utama Panembahan Reso diperankan oleh aktor Whani Darmawan. Whani pemenang Piala Citra 2019 untuk kategori Pemeran Pembantu Pria Terbaik sebagai pemeran warok di film Kucumbu Tubuh Indahku garapan sutradara Garin Nugroho.
Haus kekuasaan
Sutradara Hanindawan memiliki tafsir kekinian. Panembahan Reso di zaman sekarang tidak lain orang-orang yang haus kekuasaan, namun menggunakan cara-cara tersembunyi dan kotor seperti Panembahan Reso.
”Takhta telah menggoda siapa saja,” ujar Hanindawan sebelum pementasan.
Demokrasi menawarkan sistem kekuasaan yang egaliter. Sistem monarki atau keturunan raja kini sudah disingkirkan. Ini menggoda orang-orang haus kekuasaan.
”Panembahan Reso, sebelumnya disebut Panji Reso, memiliki ambisi kekuasaan yang sangat rapi. Ia bertindak tanpa jejak. Bagi yang mengetahui jejaknya, (ia) akan dibunuh,” ujar Hanindawan seraya menambahkan, Panji Reso itu tidak pernah membunuh secara langsung, tetapi bisa membuat orang yang ingin dibunuh itu terbunuh oleh orang lain.
Panji Reso melakukan perbuatan kotor dengan cara tak terlihat. Panji Reso, meski kotor, selalu terlihat bersih. Istri Panji Reso menyebut suaminya memendam cita-cita demi cita-cita lain. Istrinya meminta Panji Reso menerima takdir cita-citanya yang sudah tercapai sekarang sebagai panji keprajuritan istana kerajaan.
Panji Reso meminta seorang perempuan pembunuh bayaran bernama Siti Asasin (diperankan Ucie Sucita) untuk membunuh istrinya itu.
Panji Reso lalu berhasil dekat dengan menjilat Raja Tua. Pangkatnya naik dan dinobatkan Raja Tua sebagai Aryo Reso, jabatan kebangsawanan yang lebih tinggi di atas panji.
Sementara kematian demi kematian pun terus berlangsung. Beberapa pangeran dikabarkan terbunuh dan membuat Ratu Padmi bunuh diri. Mengetahui Ratu Padmi bunuh diri, Raja Tua tak berselang lama juga tewas. Ratu Dara yang menemani Raja Tua minum minuman memabukkan kala itu menyeringai puas ketika melihat Raja Tua itu tewas.
Cita-cita Ratu Dara terwujud. Anaknya, Pangeran Rebo, kemudian menduduki takhta raja. Pangeran Rebo kemudian bergelar Mahesa Kapuranta. Intrik belum berakhir. Ratu Dara sebelumnya telah berselingkuh dengan Aryo Reso. Ratu Dara meminta Raja Mahesa Kapuranta, yang anaknya sendiri itu, untuk menikahkan dirinya dengan Aryo Reso.
Raja Mahesa Kapuranta merasa terpojok. Ia pun bersedia dan menobatkan terlebih dahulu Aryo Reso menjadi Panembahan Reso.
Memuncak
Intrik memuncak. Pangeran Bindi yang telah keluar dari kerajaan itu berhasil menyusun kekuatan untuk melawan Raja Mahesa Kapuranta. Sang raja tidak ingin melawan adiknya sendiri. Ia ingin menyelesaikan pemberontakan Pangeran Bindi dengan jalan damai. Ratu Kenari, ibu Pangeran Bindi, diminta membantu menundukkan pemberontakan anaknya itu.
Ratu Dara tidak setuju. Ia marah dan berontak. Di bilik raja, Ratu Dara kemudian menikam dada anaknya, Raja Mahesa Kapuntara, dengan sebilah keris. Raja pun tewas. Ratu Dara menerima tulah. Ia seketika menjadi gila.
Ratu Dara berlumuran darah. Ia mendekap Panembahan Reso. Seorang prajurit mendekati dan menghujamkan keris, membunuh Ratu Dara. Panembahan Reso bergeming. Prajurit itu dibiarkan membunuh Ratu Dara dengan alasan Ratu Dara telah membunuh raja.
Panembahan Reso menjadi pusat perhatian para penggawa seisi istana. Mereka kemudian menginginkan Panembahan Reso menjadi raja. Segera jubah raja dikenakan. Panembahan Reso duduk di kursi raja.
Apa yang terjadi? Panembahan Reso menjadi gila. Ia berteriak-teriak, merasa duduk di kursi takhta yang mengambang di telaga darah. Keadaan seperti ini pernah disampaikan oleh mendiang istrinya.
Seketika ada suara nyanyian tembang Ratu Kenari. Ratu Kenari datang dengan telanjang dan menghampiri Panembahan Reso. Ia memeluk tubuh Panembahan Reso seraya menghunjamkan senjatanya. Panembahan Reso tewas. Pentas pun berakhir.
Menurut Hanindawan, sekarang ini intrik untuk memenuhi haus kekuasaan makin terbuka dan melebar ke luar dari kalangan elite politik menuju publik yang lebih luas. Mereka berlomba untuk duduk di kursi DPRD atau mencalonkan diri sebagai bupati, wali kota, dan gubernur. Intrik politik tersembunyi dan kotor tak terhindarkan.
Pentas Panembahan Reso memberi kontribusi mengingatkan akan adanya petaka yang tidak diduga-duga atas intrik politik yang tersembunyi dan kotor itu. Dengan kata lain, kini saatnya memasuki era politik yang bersih dan jujur.