Pemantauan Berkelanjutan Diperlukan untuk Mendeteksi Penularan Virus Korona
›
Pemantauan Berkelanjutan...
Iklan
Pemantauan Berkelanjutan Diperlukan untuk Mendeteksi Penularan Virus Korona
Yang menarik adalah dari kasus yang ada tidak ditemukan pada anak ataupun remaja. Sebagian besar dari kasus pun memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, penyakit paru kronis, dan diabetes melitus.
Oleh
dionisia arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Antisipasi penularan virus korona jenis baru yang ditemukan di Wuhan, China, tidak cukup dengan penapisan di pintu masuk negara. Upaya surveilans di lapangan dan deteksi dini perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus di masyarakat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pemindaian suhu tubuh di pintu masuk negara merupakan upaya awal untuk mendeteksi penumpang yang terinfeksi virus korona jenis baru (novel coronavirus/nCoV). Meskipun begitu, pemantauan lebih lanjut diperlukan.
Sejumlah bukti menunjukkan deteksi ini bisa meleset. Utamanya pada masa inkubasi penyakit ataupun penggunaan obat penurun panas oleh penumpang.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono saat dihubungi di Jakarta, Minggu (26/1/2020), menuturkan, deteksi dini merupakan upaya penting mencegah penularan virus korona jenis baru di masyarakat.
Edukasi pada masyarakat terkait gejala penyakit ini terus diberikan, terutama pada masyarakat yang baru saja tiba dari negara-negara yang terindikasi ada penularan virus korona ini.
”Pada prinsipnya adalah menemukan (penularan infeksi) sejak dini. Karena itu, penting agar masyarakat segera melapor kalau merasakan gejala dan tanda-tanda penularan. Dengan begitu, orang ini bisa segera ditangani dan diobati,” katanya.
Selain 100 rumah sakit rujukan penyakit infeksi darurat, pemerintah juga menginstruksikan kepada rumah sakit lain, baik rumah sakit pemerintah dan swasta maupun klinik, untuk mengantisipasi penularan virus korona jenis baru. Dinas kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota bertugas memantau serta melaporkan segera jika ditemukan ada dugaan atau kasus infeksi virus itu.
Anung menambahkan, jika sampai ditemukan adanya penularan, riwayat kontak dari pasien akan dilacak. Lingkungan dari pasien pun akan disinseksi untuk membunuh virus yang menyebar. Masyarakat pun akan diedukasi mengenai tindakan lebih lanjut dalam pencegahan penularan penyakit.
Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, gejala infeksi virus korona, antara lain, batuk, pilek, dan sesak napas. Gejala ini bisa muncul setelah 2-14 hari setelah terinfeksi. Pada kondisi yang lebih parah, gejala yang muncul seperti sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS- CoV) dan sindrom pernapasan akut parah (SARS-CoV).
Gejala tak spesifik
Praktisi klinis yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyampaikan, orang yang baru tiba dari negara dengan temuan kasus itu perlu dipantau lebih lanjut. Ini sangat penting karena gejala yang ditimbulkan pada pasien tidak spesifik.
”Untuk itu, kompetensi tenaga kesehatan dalam mendeteksi penularan virus ini juga harus ditingkatkan,” ujarnya.
Orang yang baru tiba dari negara dengan temuan kasus itu perlu dipantau lebih lanjut. Ini sangat penting karena gejala yang ditimbulkan pada pasien tidak spesifik.
Dalam pemberitaan Reuters pada Sabtu (25/1/2020) disampaikan dua dari tiga warga negara China yang masuk ke Perancis dengan diagnosis terinfeksi virus korona jenis baru tidak menunjukkan gejala apa pun. Ini juga ditunjukkan pada laporan yang dipublikasi The Lancet pada Jumat (24/1/2020).
Dalam laporan itu, Ari mengatakan, dari hasil evaluasi terhadap 41 kasus pertama infeksi virus korona jenis baru ini ada satu pasien yang tidak demam. Sementara gejala batuk dialami 76 persen pasien, sedangkan pegal dan lemas 44 persen pasien.
Hasil pemeriksaan sel darah putih pada pasien juga tidak konsisten. Dari seluruh pasien yang diteliti, 25 persen pasien jumlah sel darah putihnya rendah, 45 persen normal, dan 30 persen dengan sel darah yang tinggi. Namun, dari penelitian ini menyebutkan dari 41 kasus yang diamati, 40 pasien mengalami infeksi pada kedua paru.
”Yang menarik adalah, dari kasus yang ada, tidak ditemukan pada anak ataupun remaja. Sebagian besar dari kasus pun memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, penyakit paru kronis, dan diabetes melitus. Jadi, kemungkinan pasien dengan penyakit penyerta lebih berisiko terinfeksi virus ini,” katanya.
Yang menarik adalah, dari kasus yang ada, tidak ditemukan pada anak ataupun remaja. Sebagian besar dari kasus pun memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, penyakit paru kronis, dan diabetes melitus.
Penerbangan
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti menyampaikan, maskapai penerbangan Indonesia tidak diperbolehkan terbang dari dan menuju kota Wuhan, China, 23 Januari-2 Februari 2020. Ini untuk mengantisipasi penularan virus korona jenis baru di Indonesia.
Namun, pada Minggu (26/1/2020) ini ada dua penerbangan Lion Air dari Denpasar, Bali, menuju Wuhan, China, dengan waktu keberangkatan 10.08 Wita dan penerbangan dari Wuhan ke Denpasar pukul 17.37 waktu China.
Corporate Communications Strategic of Lion Air Danang Mandala Prihantoro menyampaikan, penerbangan tersebut sudah sesuai prosedur standar operasi yang berlaku. Penerbangan Lion Air rute Denpasar-Wuhan bertujuan untuk memulangkan tamu atau penumpang.
”Penerbangan ini membawa tujuh kru dan 81 penumpang. Sementara penerbangan Wuhan-Denpasar tanpa penumpang umum atau ferry flight, hanya membawa kru atau pesawat,” ujarnya.
Sesuai dengan pemberitahuan resmi otoritas setempat (notam) di Wuhan, status bandara saat ini hanya diperbolehkan melayani kedatangan. Untuk keberangkatan hanya dilakukan dengan tidak membawa penumpang ataupun hanya sebagai alternatif pendaratan kondisi darurat.
Keputusan penghentian sementara menjadi salah satu langkah antisipasi dari otoritas Wuhan atas dampak wabah virus korona.