Pemberontakan Kreatif
Pemberontakan dan kreativitas berjalan seiring dalam koeksistensi. Begitulah jalan yang ditempuh Stella Rissa.
Pemberontakan dan kreativitas berjalan seiring dalam koeksistensi. Begitulah jalan yang ditempuh Stella Rissa.
Beberapa filsuf dan spiritualis macam Albert Camus hingga Bhagwan Shree Rajneesh (Osho) menyepakati hal itu lewat kutipan bijak mereka. Osho menyebut kreativitas sebagai pemberontakan terbesar yang pernah ada. Adapun menurut Camus, satu-satunya cara menghadapi dunia yang tak bebas ini dengan memberontak sebagai bentuk pembebasan diri.
Menariknya, semua itu seolah mewujud pada sosok perancang mode Stella Rissa. Tak hanya lewat karya-karyanya selama ini. Jiwa pemberontak juga terdengar dari pilihan kata-kata yang dia sampaikan. Dari tatapan tajam matanya saat berbincang. Juga dari kisah perjalanan hidup, yang dia ceritakan saat ditemui di studionya di kawasan Gondangdia, Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara tak membuatnya tumbuh manja dan hanya senang diladeni. Sejak remaja Stella sudah gemar berkreasi, kebanyakan lewat torehan desain busana di atas kertas atau beragam prakarya eksperimental lain di rumahnya.
”Mama dan omaku senang membuat sesuatu seperti pakaian sendiri. Mereka memanfaatkan barang-barang yang sudah ada di rumah. Membuat kreasi baru dari kain sudah biasa kami lakukan di rumah. Mama juga enggak keberatan kalau misalnya aku pakai taplak meja untuk bikin sesuatu,” ujar Stella.
Stella pun terbiasa menuangkan gagasan-gagasannya dalam gambar rancangan busana untuk kemudian dia wujudkan. Di masa SMA, dia semakin rajin membuat pakaian sendiri. Banyak temannya tertarik, bahkan memesan untuk dibuatkan. Biasanya untuk dipakai di pesta
Di bangku kelas III SMA, Stella pun membulatkan tekad untuk serius di bidang yang dicintainya itu: desain busana. Dia lalu mengambil kursus tiga bulan di sekolah mode, yang belakangan menjadi tempatnya menimba ilmu desain busana secara serius, LaSalle College International School.
Dari sinilah pemberontakan Stella dimulai. Saat itu dia merasa ada banyak tentangan dari orang-orang di sekitarnya yang meragukan pilihan Stella. Mereka mempertanyakan mengapa Stella lebih memilih jadi ”tukang jahit” ketimbang melanjutkan studi ke bidang kerja yang dianggap lebih menjanjikan buat masa depan.
”Banyak guru saya menyayangkan kenapa saya pilih fashion. Apalagi nilai akademis saya bagus. Buat mereka itu major (studi) buat mereka yang kurang pintar. Mereka juga anggap dari sekolah fashion saya nanti cuma jadi tukang jahit. Namun, ketika semua orang begitu, saya justru semakin mantap memilih bidang fashion,” ujar Stella.
Beruntung, Stella tidak mendapati reaksi negatif dari lingkaran keluarga terdekat. Di mata Stella, mereka punya pikiran terbuka dan memang menggemari dunia seni.
Sang ayah, ujarnya, walau berprofesi sebagai seorang kontraktor, juga senang dunia seni. Ibunya juga mahir dan gemar membuat beragam kerajinan berbahan keramik. Sementara sang oma suka membuat sendiri beragam pernak-pernik, terutama yang berbahan kain. Opa Stella juga seorang pebisnis yang gemar melukis serta hobi bernyanyi.
Tekad keras Stella terbukti belakangan mengantarkannya menjadi lulusan terbaik di tempatnya menimba ilmu. Di usia 21 tahun, Stella lulus dengan penghargaan ”Best of the Best Student Award 2006” yang membuatnya berhak mengikuti studi lanjutan di LaSalle College Montreal, Kanada, sepanjang musim panas.
Petualangan inspiratif
Setelah sempat bekerja selama setahun, kegelisahan Stella kemudian membawanya bertualang selama 1,5 bulan di New York, Amerika Serikat. Saat itu dia sekaligus menengok sang kakak, yang tengah melanjutkan studi arsitektur dan bekerja di sana.
Sang kakak menyarankan Stella berkeliling kota New York. Tak sekadar berkeliling, ia juga mencari sebanyak mungkin inspirasi untuk membantunya mencari tahu apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup.
Berbekal peta New York berikut jalur-jalur angkutan umum seperti MRT, Stella setiap hari berkeliling sendiri di sana, dengan membawa bekal makanan seperlunya. Setiap hari dia mendatangi sejumlah pusat keramaian dan tempat-tempat berkesenian atau ilmu pengetahuan.
Mulai dari museum, gedung pertunjukan seni, pusat-pusat perbelanjaan dari yang berkelas high-end sampai flea market, pasar-pasar seni tempat para seniman memasarkan karya mereka. Tentu tak ketinggalan ia datangi pula berbagai butik dan vintage store.
Salah satu hal yang dia amati dan menginspirasinya adalah keberagaman, termasuk dalam urusan dandanan dan cara atau selera berpakaian warga kota berjuluk ”The Big Apple” itu. Sebagai sebuah melting pot raksasa, banyak orang dari beragam latar belakang ras, budaya, bahkan kebiasaan berbusana, berkumpul dan berinteraksi di sana dengan bebas.
”Mereka sangat menghargai diversity. Jadi enggak aneh kalau, misalnya, ada pria bule berbadan kekar dan berjenggot lebat memakai blazer pink. Atau ada yang berpakaian kelihatannya kumuh, tetapi sebetulnya enggak juga,” ujar Stella.
Dari pemandangan dan pengalaman itu Stella belajar bahwa kebebasan berbusana juga menjadi bentuk perwujudan kebebasan berekspresi. Melalui busana orang bisa mengekspresikan kepribadian dan hasrat dalam dirinya. Hal itulah yang membuat fashion bernilai lebih.
Orang-orang seperti pendiri Apple, Steve Jobs, dengan kaus hitam turtleneck yang ikonik, atau presenter Jay Leno dengan pakaian serba berbahan jins, pun sangat memahami semua itu. Bagi mereka, busana adalah kepribadian sekaligus mencerminkan hasrat mereka.
Setelah banyak terinspirasi, sepulang dari New York, Stella kembali membuat gebrakan. Dia ingin menggelar pagelaran busana dengan caranya sendiri.
Dengan dana terbatas Stella berpikir keras mencari cara agar dirinya bisa menggelar koleksi karyanya. Ketika itu banyak desainer di Jakarta, yang sudah lebih dahulu punya nama, sering menggelar karya-karya mereka di hotel-hotel bintang lima.
Stella pun menggelar pagelaran busana perdananya di sebuah lokasi publik, Taman Menteng, walau untuk itu dia harus mengurus sendiri segala macam perizinan, mulai dari izin menyelenggarakan keramaian hingga izin pengamanannya.
Namun, dia berkeras, hal itu menjadi langkah terobosan bagi dirinya juga label Stella Rissa yang dia usung. Terbukti pagelaran busana debutannya ”Dancing in the Rainbow” tahun 2008 terbilang sukses, bahkan membawa namanya ke mancanegara.
Hingga kini rancangan busananya, yang lebih menekankan individualitas, semakin diterima oleh banyak kalangan. Dia menganalogikan karya-karyanya sebagai sosok Stellar Woman, perempuan pemberani (bold), kuat, seksi, sekaligus memikat (alluring).
Stella Rissa Winata
Lahir: Jakarta, 14 September 1985
Suami: Karesna Kamdani
Pendidikan:
- SD dan SMP Bunda Hati Kudus
- SMA Laurentia (2003)
- LaSalle College International (2006)
Pagelaran busana, antara lain:
- Dancing in the Rainbow, Taman Menteng, Jakarta (2008)
- Malaysia International Fashion Week 2008
- Audi Fashion Festival 2009 di Singapura
- Jakarta Fashion Week 2010
Penghargaan:
- Best of the Best Student Award LaSalle College International 2006
- Cleo Fashion Award 2008
- Ponds Young Indonesian Designers of the Year 2009