Redup Gairah Bahasa Daerah
”Apa gunanya menguasai bahasa daerah untuk masa depan anak saya?” Barangkali pertanyaan semacam itu kerap menghinggapi para orangtua di kawasan urban, terlebih di Jakarta dan sekitarnya.
”Apa gunanya menguasai bahasa daerah untuk masa depan anak saya?” Barangkali pertanyaan semacam itu kerap menghinggapi para orangtua di kawasan urban, terlebih di Jakarta dan sekitarnya. Apalagi, bahasa daerah sangat minim digunakan sehari-hari di luar lingkungan asalnya.
Dalam toko buku di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Barat, Selasa (21/1/2020) siang, beberapa anak usia SD sedang berada di depan rak yang memajang buku-buku fiksi. Mereka asyik membahas sebuah novel remaja karya seorang penulis kenamaan. Percakapan mengalir lancar dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris.
Tidak ada yang salah dengan hal itu. Bukan soal benar-salah jika bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya seakan lebih mendarah daging dalam diri generasi kini, dibandingkan bahasa daerah atau bahasa asal ibu mereka.
Fakta menunjukkan, penutur bahasa daerah memang semakin menyusut. Para peneliti menengarai, itu disebabkan pewarisan bahasa daerah yang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena beragam alasan.
Ini dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional Batak Center Jerry Rudolf Sirait (67). Menurut dia, semakin banyak keluarga Batak sekarang tidak lagi mengajari anak-anak bahasa ibu mereka. Padahal, bahasa itu jadi elemen penting untuk menjalankan aturan dan ketentuan adat.
”Akan janggal jika seseorang menjalankan aturan dan ketentuan adat istiadat, tetapi tidak memahami artinya lantaran tidak menguasai bahasa daerah yang digunakan,” katanya.
Dalam beberapa keluarga, kepraktisan menjadi alasan. Faktor lain karena orangtuanya pun tidak menguasai dengan baik bahasa ibunya sehingga kurang memadai untuk mengajarkan kepada anaknya.
Caecilia Rilis, warga Tangerang Selatan keturunan Jawa, menuturkan tidak secara khusus mengajarkan bahasa Jawa kepada anaknya. ”Keseharian kami lebih banyak memakai bahasa Indonesia. Enggak ada alasan khusus, selain memang lebih mudah. Yang ditemui si anak sehari-hari di sini sekarang, kan, bahasa Indonesia,” tuturnya.
Bagi dia, lebih mudah mengajarkan bahasa Indonesia. ”Bahasa Jawa-ku juga amburadul, cenderung ke bahasa sehari-hari yang ngoko dan kasar. Paling kami menyelipkan bahasa Jawa sambil bercanda, misalnya menghitung siji, loro (satu, dua), dan seterusnya sampai 10,” ujar Rilis.
Hal yang sama dikemukakan Ida Bagus Ari Kresnawan (39), pengusaha kedai kopi di Jakarta, yang berdarah Bali. Kepada kedua anaknya, Nayaka dan Danendra, dirinya tidak secara spesifik mengajarkan atau membiasakan mereka berbicara dalam bahasa Bali. Dia pun tidak ingin memaksa mereka berbahasa atau mempelajari bahasa Bali karena dirinya sendiri tidak menguasai.
”Sejak gue kecil, orangtua juga enggak menggunakan bahasa Bali di rumah. Baru saat kuliah gue merasa harus bisa berbahasa Bali karena ya, gue, kan, orang Bali,” ujarnya.
Musisi Viky Sianipar memiliki pengalaman serupa. Lahir dari pasangan ayah asli Batak dan ibu berdarah Sunda, Viky dan saudara-saudara kandungnya tidak dibiasakan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah tersebut.
”Waktu kecil dulu entah kenapa kami tidak diajarkan berbahasa Batak. Baru setelah dewasa, saya kepingin banget belajar tentang bahasa dan budaya Batak,” katanya.
Viky menekankan, upaya dan dorongan untuk mempelajari bahasa ibu sebaiknya dimulai dari keinginan sendiri, tanpa paksaan. Cara seperti itu pula yang dia terapkan untuk anak-anaknya. Dia tak pernah mengharuskan semua anaknya bisa bicara atau belajar bahasa Batak. Yang dilakukan sebatas menginspirasi anaknya dengan mengajak mereka berkunjung ke Tanah Batak.
Kehilangan ekspresi
Bagi Diana Sahidi Nugroho, pensiunan karyawan di Jakarta, bahasa ibu seolah kehilangan ekspresi di luar lingkungan rumah sehingga dia merasa kehilangan manfaatnya. Ayah Diana lahir di Purworejo, Jawa Tengah, tetapi tumbuh besar di Karawang, Jawa Barat, sehingga lebih fasih berbahasa Sunda. Ibunya lahir di Serang, Banten, tumbuh besar di Semarang, Jawa Tengah, tetapi tetap fasih berbahasa Sunda.
”Sehari-hari orangtua saya bercakap-cakap dengan bahasa Sunda. Sering kali mereka mengajak anak-anaknya bercakap bahasa Sunda, tetapi kami membalasnya dengan bahasa Indonesia,” ujar Diana.
Dia paham bahasa Sunda, tetapi di sekolah berbahasa Indonesia. Bermain dengan teman sebaya, baik di sekolah maupun di rumah, juga berbahasa Indonesia.
Diana lahir dan tinggal di Jakarta hingga usia 5 tahun, lalu pindah dan tinggal di Makassar hingga usianya 9 tahun. Kemudian, keluarganya pindah ke Jepang hingga Diana berusia 15 tahun. Lalu, ia kembali ke Jakarta dan menetap hingga kini.
Di masa remaja, Diana berada di Jepang hingga lebih banyak menyerap bahasa Jepang. ”Sampai sekarang malah lebih fasih berbahasa Jepang daripada bahasa Sunda,” ujarnya.
Orangtua Diana tidak memaksa anak-anaknya berbahasa Sunda. Pengalaman tersebut otomatis menurun kepada kedua anaknya. Kedua anak Diana mendapat pelajaran bahasa Sunda di sekolah, tetapi tetap saja mereka tidak bisa mempraktikkan bahasa Sunda. Menurut Diana, bisa atau tidak menggunakan bahasa ibu atau bahasa lainnya sangat tergantung manfaat dan wahana yang diperolehnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, Pudentia MPSS. Pemakaian bahasa memang tergantung keperluannya. Misalnya belajar bahasa Inggris karena ingin lulus IELTS agar bisa belajar di luar negeri.
”Ada kepentingan praktis di dalamnya. Persentase mereka yang berpandangan demikian, khususnya di kota besar, cukup banyak,” ucapnya.
Pudentia mencontohkan, misalnya, dia membuka kelas belajar bahasa Nias atau Wakatobi, siapa yang mau belajar? Orang ke sana hanya ingin piknik, tidak perlu berpayah-payah belajar bahasanya.
Namun, Pudentia menyayangkan pemikiran yang menganggap tidak perlu belajar bahasa daerah, toh tetap bisa hidup. ”Ini pandangan keliru. Belajar bahasa daerah itu satu paket dengan belajar budayanya. Sayang sekali masih banyak pihak yang memandang bahasa daerah bukan sebagai aset, melainkan beban. Padahal, ini warisan kekayaan,” katanya.
Bakal hilang
Ada lebih dari 700 bahasa daerah di Indonesia, kata Pudentia, dan hanya sekitar 20 bahasa yang diajarkan di sekolah. Pasti bahasa daerah lainnya sedikit demi sedikit akan hilang.
Mengutip data Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa daerah di Indonesia yang teridentifikasi dan divalidasi sebanyak 718 bahasa selama kurun 28 tahun terakhir (Kompas, 25/10/2019). Dari jumlah itu, sebanyak 11 bahasa sudah punah, 22 bahasa terancam punah, empat bahasa dalam kondisi kritis, 16 bahasa stabil tetapi terancam punah, dan dua bahasa mengalami kemunduran.
Ancaman, kemunduran, dan kritisnya bahasa daerah disinyalir karena beberapa faktor, antara lain bahasa daerah dianggap kurang bergengsi, perkawinan campur, dan urbanisasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebutkan, urbanisasi dan perkawinan antaretnis menjadi salah satu penyebab surutnya bahasa daerah karena orangtua tidak lagi mengajarkan bahasa daerah asalnya kepada anak-anaknya. Mereka sendiri juga tidak lagi menggunakannya secara aktif karena tinggal di daerah yang berbeda.
Sebagai bejana peleburan, Jakarta dan sekitarnya merangkum aneka suku bangsa dalam salah satu wadah. Bahasa yang dipahami oleh semuanya adalah bahasa Indonesia. Data Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan, di Jakarta, hanya 8,2 persen penduduk yang menggunakan bahasa daerah (Kompas, 14/8/2019).
Fenomena tersebut memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia, seperti dilansir UNESCO, terdapat 2.500 bahasa, termasuk 100 bahasa di Indonesia, yang terancam punah. Sebanyak 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir. Adapun sepertiga bahasa di dunia hanya memiliki kurang dari 1.000 penutur.
Sebuah contoh ekstrem ditampilkan National Geographic dalam video dokumenter berjudul Marie’s Dictionary. Marie Wilcox (86) merupakan satu-satunya penutur bahasa Wukchumni yang masih fasih. Suku Wukchumni, suku asli Amerika, pun tersisa sekitar 200 orang.
Namun, memiliki kemampuan bertutur dalam bahasa ibu tidak ada ruginya. Justru, lanjut Pudentia, kemampuan menguasai bahasa ibu menjadi dasar yang sangat penting bagi anak-anak untuk menguasai bahasa lainnya. Terlebih di dalamnya terkandung nilai luhur budaya yang sangat berguna dalam kehidupan sang anak.
”Teman saya orang Swedia bikin kamus bahasa Palue, bahasa di Nusa Tenggara Timur. Tragis, ya,” kata Pudentia.
Selain perlu digairahkan penggunaannya lewat program dan kebijakan pemerintah, para penuturnya sendiri pun diharapkan secara aktif menuturkan dan menurunkannya. Bagaimanapun bahasa merupakan ruh dari sebuah kebudayaan.