Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual
Mayoritas responden jajak pendapat Harian Kompas menyatakan tak puas terhadap kinerja aparat penegak hukum menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Diperlukan UU dan aparat penegak hukum berpersfektif jender dan korban.
Mayoritas responden dalam jajak pendapat Harian Kompas menyatakan tidak puas terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Diperlukan undang-undang dan aparat penegak hukum di Indonesia yang memiliki sensitivitas jender dan berperspektif korban.
Kekerasan seksual di Indonesia dinilai sudah mengkhawatirkan. Peraturan yang tegas dibutuhkan untuk menegakkan keadilan yang berperspektif korban. Namun, pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tetap menunggu penyelesaian terbaik.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Harian Kompas pada pekan lalu. Hampir semua responden (94,9 persen) khawatir terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat belakangan ini.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan, pada 2019 terdapat 5.509 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dari jumlah ini, sebanyak 2.988 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan berlangsung dalam ranah rumah tangga. Sementara, dalam ranah komunitas tercatat 2.521 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Baca Juga: Jalan Berliku RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Data tersebut cenderung stabil dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018, tercatat ada 2.979 kekerasan seksual terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga dan 2.521 kekerasan seksual terhadap perempuan dalam lingkup komunitas.
"Masih relatif tingginya kasus kekerasan seksual ini semakin diperparah oleh belum berpihaknya sistem hukum di Indonesia kepada perempuan. Kondisi ini semakin runyam dengan masih kurangnya sensitivitas jender dari aparat penegak hukum"
Masih relatif tingginya kasus kekerasan seksual ini semakin diperparah oleh belum berpihaknya sistem hukum di Indonesia kepada perempuan. Kondisi ini semakin runyam dengan masih kurangnya sensitivitas jender dari aparat penegak hukum.
Selain itu, juga masih ada bias yang ada di masyarakat terhadap perempuan. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian menjadi latar belakang perlunya perangkat hukum untuk menjamin perlindungan perempuan, khususnya dari kekerasan seksual.
Salah satu instrumen yang kini tengah disiapkan di parlemen ialah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). UU tersebut diharapkan menjadi solusi bagi upaya perlindungan terhadap perempuan dari ancaman kekerasan seksual.
Jajak pendapat Harian Kompas menunjukkan, publik berharap RUU PKS segera dirampungkan dan diterapkan untuk menjamin perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual. Hasil jajak pendapat mencatat, lebih dari separuh responden setuju RUU PKS segera disahkan meskipun publik juga menangkap salah satu hal yang menjadi penyebab lambannya pembahasan RUU itu kontroversi yang muncul.
Kontroversi
Sejumlah kontroversi seputar RUU PKS ini merebak di Dewan Perwakilan Rakyat ataupun di masyarakat. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR menolak dengan alasan ada potensi pertentangan antara materi RUU serta nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilai akan memunculkan polemik di masyarakat. Definisi kekerasan seksual hingga cakupan jenis kekerasan seksual di RUU tersebut dianggap berperspektif liberal.
Hal tersebut dibantah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menyatakan RUU PKS bukan ingin mengamini liberalisasi kehidupan seksualitas, tetapi ingin membantu korban kekerasan seksual agar mendapat rehabilitasi dan perlindungan (Kompas, 31/8/2019).
Baca Juga: Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dilanjutkan
Sebanyak 41,9 persen responden mengakui, akibat banyak kontroversi di masyarakat, RUU PKS belum disahkan. Padahal, semangat dari regulasi ini ialah untuk menghapuskan berbagai bentuk kekerasan seksual dan memberi keadilan bagi korban. Selain itu, peraturan ini juga didasari prinsip kesetaraan jender dan hak asasi manusia.
Dalam RUU PKS, unsur kekerasan seksual lebih luas karena mencakup sembilan tindakan, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
"Dalam RUU PKS, unsur kekerasan seksual lebih luas karena mencakup sembilan tindakan, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual"
Meskipun sudah ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), penempatan berbagai pasal kekerasan seksual dalam Bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan di dalamnya dinilai mengaburkan perlindungan terhadap integritas tubuh dan jiwa perempuan.
Koordinator Nasional Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia Nursyahbani Katjasungkana mencatat, perbuatan kekerasan seksual akan memperoleh hukuman jika kesusilaan umum terganggu. Akibatnya, integritas tubuh dan jiwa perempuan korban menjadi sekunder dibandingkan dengan rasa kesusilaan publik dan atau aib keluarga (Kompas, 24/4/2019).
Kasus Baiq Nuril bisa menjadi contoh bagaimana hukum gagal melindungi integritas tubuh dan jiwa perempuan. Pelecehan yang dilakukan oleh atasannya terpaksa tidak diungkap karena takut dipecat. Kasus ini sulit dijelaskan dalam fenomena hukum. Baiq Nuril akhirnya dikriminalisasi dengan jeratan UU Informasi dan Transaksi Elektronik karena dituduh menyebarkan konten pornografi, hingga akhirnya Nuril mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Dalam kasus pemerkosaan, penyelesaian berupa mengawinkan pelaku dengan korban atau membuat perjanjian damai dengan pelaku masih dianggap sebagai jalan keluar. Akibatnya, proses hukum tidak diperlukan lagi.
Semuanya itu dilakukan semata-mata untuk menutupi sesuatu yang dianggap aib. Kepentingan korban tidak diakomodasi, budaya kekerasan pun akan terus berlanjut pada kelompok perempuan. Hal ini ditambah kesadaran aparat hukum yang dinilai belum optimal dalam memahami hak-hak perempuan.
Perilaku aparat
Soal penanganan aparat hukum ini juga tertuang dari hasil jajak pendapat Harian Kompas. Sebanyak 67,8 persen responden mengaku tidak puas terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Di tengah sistem hukum yang timpang, aparat penegak hukum yang berperspektif korban dan jender sangat dibutuhkan. Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah kasus biasa sehingga membutuhkan pendekatan hukum yang berbeda.
Selama ini, aparat penegak hukum menjalankan sistem hukum yang tidak ramah terhadap perempuan korban. Hal ini dinilai menjadi penghambat bagi korban untuk memperoleh keadilan. Tidak jarang, di lapangan masih ditemui juga aparat penegak hukum yang ketika menerima laporan kekerasan seksual malah bertanya hal-hal yang tidak relevan kepada korbannya.
Para penegak hukum tidak dapat menangkap terjadinya relasi kuasa yang mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti; apakah korban menikmati persetubuhan tersebut atau apakah korban mengalungkan tangan ke leher pelaku. Hal-hal seperti ini juga muncul dalam proses persidangan yang cenderung melakukan reviktimisasi.
Baca Juga: Antiklimaks Perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Riwayat seksual korban bahkan juga dipertanyakan dan diungkit-ungkit; apakah korban sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya atau status sebagai anak dari tunasusila. Padahal, hal seperti itu tidak relevan dan seharusnya tidak menjadi pertimbangan hakim untuk mendapatkan fakta-fakta hukum.
"Riwayat seksual korban bahkan juga dipertanyakan dan diungkit-ungkit; apakah korban sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya atau status sebagai anak dari tunasusila. Padahal, hal seperti itu tidak relevan dan seharusnya tidak menjadi pertimbangan hakim untuk mendapatkan fakta-fakta hukum"
Di negara lain, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, terdapat aturan yang disebut rape shield law. Aturan tersebut bertujuan melindungi korban dari tekanan emosional saat di persidangan. Aturan ini membatasi penggunaan riwayat seksual korban sebagai alat bukti di persidangan.
Dari ilustrasi di atas tampak penerapan hukum yang tegas dan adil menjadi kebutuhan bagi upaya melindungi perempuan dalam kasus kekerasan seksual. Hal ini juga ditegaskan oleh separuh lebih responden (66,7 persen) yang mengamini bahwa penerapan hukum yang lebih tegas akan mampu mengurangi kasus kekerasan seksual.
Ketegasan hukum dalam kasus kekerasan seksual ini bisa dimulai dari komitmen pemerintah dan DPR untuk memastikan pengesahan RUU PKS. Hal itu tentu harus melalui proses yang transparan dan dialogis agar semua pihak bisa menerimanya dengan lapang dada.