Ketika ”Syubbanul Wathon” Menggema di Gereja Santo Yusuf di Kota Cirebon
Kegiatan yang digelar sejak 2017 ini mengajak pemuda-pemudi berbagai latar belakang agama dan etnis untuk merasakan toleransi
”Indonesia biladi. Anta ‘unwanul fakhoma. Kullu man ya\'tika yauma. Thomihay yalqa himama”.
Penggalan mars perjuangan dari Nahdlatul Ulama tersebut menggema di Gereja Santo Yusuf, Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (26/1/2020) siang. Terjemahannya, ”Indonesia negeriku. Engkau panji martabatku. Siapa datang mengancammu. Kan binasa di bawah dulimu”.
Lagu ”Syubbanul Wathon” itu dinyanyikan paduan suara Oikoumene, kumpulan pemuda dari sejumlah gereja di Cirebon. Dengan tangan kanan mengepal, sembilan remaja tampil semangat bak paduan suara NU. Penonton yang memadati halaman gereja turut menggerakkan tangan mereka, termasuk umat yang baru selesai beribadah. Paduan suara yang dibentuk akhir tahun lalu itu memeriahkan panggung budaya Peace Train Indonesia 2020.
”Saya bangga bisa membawakannya meski baru pertama kali dengar lagunya,” kata Liana (17), anggota paduan suara, diikuti senyuman. Siswi kelas XI SMAN 3 Cirebon ini merupakan anak baru dalam paduan suara gereja. Meski lagu itu berbahasa Arab dan kerap disenandungkan umat Muslim, Cherryl (12), anggota lainnya, sama sekali tidak canggung. Keluarganya yang Nasrani pun tidak protes.
”Kami melihat makna lagunya, bukan bahasanya. Maknanya, kan, bagaimana kita saling berjuang untuk bangsa Indonesia,” papar siswa kelas VII SMP BPK Penabur Cirebon ini. Lirik ”hubbul wathon minal iman”, misalnya, bermakna cinta bangsa bagian dari iman.
Pendiri sekaligus pimpinan Oikoumene, Agdeslina Gun, mengatakan, kelompoknya pernah membawakan lagu itu dalam Haul Gus Dur di Cirebon, pertengahan Januari lalu. Ketika itu, panitia meminta paduan suara gereja mementaskan lagu ciptaan KH Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU pada 1926.
Agdeslina lalu meminta perwakilan paduan suara sejumlah gereja di Cirebon untuk bergabung dalam Oikoumene. Sesuai maknanya, Oikoumene merupakan kebersamaan antargereja. Boleh dibilang, mars tersebut bukan hanya milik warga nahdliyin. Pemuda gereja juga mendendangkannya. ”Kami latihan sekitar seminggu, cukup cepat. Kami mencari not, nada, dan liriknya di internet. Penampilan paduan suara NU yang juara lomba juga kami pelajari,” ungkap perempuan asli Dayak ini.
Kelompok beranggotakan 20 orang ini membagi suara dalam nada sopran dan tenor. Hasilnya, anak-anak paduan suara menyukai lagunya. ”Anak saya usia tiga tahun juga ikut nyanyi. Dengan menyanyikan lagu ini, kami mau kasih tahu berbagai keyakinan bahwa kita bisa senang dan berbuat untuk mereka yang berbeda agama,” kata Agdeslina, yang juga pendeta di Gereja Sidang Jemaat Allah Perintisan Living by Grace Cirebon itu.
Toleransi ”Kota Wali”
Selain Oikoumene, atraksi barongsai dari Kelenteng Talang Cirebon juga mendapat tepuk tangan penonton yang berkalung salib hingga berjilbab. Sejumlah keturunan Tionghoa memberi angpau kepada pemain barongsai. Nuansa Imlek, seperti lampion dan tenda merah, juga terpajang di halaman gereja.
Berbagai penampilan itu menggambarkan potret toleransi di ”Kota Wali”, sebutan Cirebon. Penghargaan atas keberagaman sudah dijalankan oleh Sunan Gunung Jati, pimpinan Cirebon abad ke-15. Salah satu Wali Sanga, sembilan tokoh besar penyebar agama Islam di Jawa ini bahkan memilih pendamping Putri Ong Tien yang keturunan Tionghoa.
Atas praktik toleransi itu, Cirebon menjadi tujuan Peace Train Indonesia 2020 pada Jumat-Minggu (24-26/1). Kegiatan yang digelar sejak 2017 ini mengajak pemuda-pemudi berbagai latar belakang agama dan etnis untuk merasakan toleransi. Sebelumnya, kegiatan ini berlangsung di sembilan kota/kabupaten, seperti Semarang, Surabaya, dan Bandung.
Perjalanan ke daerah menggunakan kereta api karena dianggap transportasi publik yang tidak bisa menjadi milik perseorangan. Di kereta, perjumpaan dari berbagai latar belakang masyarakat juga terjadi. Kali ini, 40 peserta mengelilingi berbagai tempat ibadah, seperti Wihara Dewi Welas Asih, Pondok Pesantren Kebon Jambu, dan sejumlah gereja. Mereka bahkan tidur melantai dengan alas tikar di gedung Fahmina Institute dan Gereja Santo Yusuf.
”Dengan kegiatan ini, kami belajar kekayaan luar biasa bangsa ini: toleransi. Kami juga mencoba melawan upaya penyeragaman,” kata Koordinator Peace Train Indonesia Frangky Tampubolon. Apalagi, katanya, banyak pemuda belum punya pengalaman akan toleransi. Ujaran kebencian yang berlatar SARA, misalnya, menyeruak di dunia maya ataupun nyata.
Dari kegiatan itu, bibit-bibit perdamaian ditanam oleh anak muda yang ikut. Mereka diharapkan menyebarkan bibit perdamaian ke keluarga dan teman-temannya. Jika pemahaman ini sampai ke 60 juta anak muda di negeri ini, menurut Frangky, masa depan toleransi bakal cerah. Abdiel Fortunatus (30), peserta, mengaku kaget ketika menyaksikan guyubnya warga lokal yang bukan keturunan Tionghoa mengunjungi Wihara Dewi Welas Asih saat malam pergantian tahun Imlek.
”Sepengetahuan saya, Jabar itu paling tinggi intoleransinya. Namun, Cirebon ini warnanya lain,” kata warga Jakarta yang baru kali ini ke Cirebon. Data Setara Institute menunjukkan, selama 2007-2018, terdapat 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jabar menduduki peringkat ketiga teratas dengan 269 peristiwa, setelah Jawa Timur dan DKI Jakarta (Kompas, 26/11/2019).
”Akhirnya, saya dapat teman baru yang berbeda agama,” ucap Melika Ayaza (15), peserta asal Bekasi. Sejak SD hingga SMP, perempuan berjilbab ini belajar di pondok pesantren yang muridnya Muslim semua. ”Saya ingin, dia (Melika) tidak shock ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda agama dan etnis. Waktu di Malaysia, saya juga shock ketika harus bekerja sama dengan orang China,” ungkap Gayatri Wedotami (40), ibu Melika, yang turut serta dalam perjalanan tersebut.
Para anak muda tersebut mampu merobohkan ”tembok” perbedaan dengan lantunan ”Syubbanul Wathon” di gereja. Apa yang mereka lakukan menjadi teladan harmoni kebersamaan.