Pengawasan koperasi idealnya didasarkan pada prinsip kerja koperasi. Namun, selama ini pengawasan atas operasionalnya tidak optimal. Kondisi itu dinilai menghambat pertumbuhan koperasi nasional secara sehat.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengawasan dan penindakkan penyalahgunaan ketentuan hukum operasional koperasi selama ini masih berdasarkan pengaduan. Kondisi itu dinilai menghambat pertumbuhan koperasi nasional secara sehat.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis, Suroto, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (26/1/2020) menyatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak menugaskan kepada Kementerian Koperasi dan UKM untuk melakukan pengawasan sehingga wajar jika kementerian hanya melakukan tugas pencegahan. Akan tetapi, hal yang kerap terjadi adalah tugas itu lalai dijalankan.
Jumlah koperasi yang masih berdiri saat ini, kata Suroto, sekitar 220.000 unit. Hampir setengahnya memiliki model bisnis simpan pinjam. “Pengawasan koperasi idealnya didasarkan pada prinsip kerja koperasi. Apabila ada penyalahgunaan prinsip, sanksi tegas seharusnya diberikan agar kepentingan publik terjaga. Hal inilah yang tidak terakomodasi di dalam UU 25/1992,” kata dia.
Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam L Tobing menyatakan, pada Desember 2017 ada penandatangan kesepakatan tentang koordinasi pencegahan dan penanganan tindakan melawan hukum bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi.
Penandatangan nota dilakukan oleh pimpinan tujuh kementerian/lembaga, termasuk OJK dan Kementerian Koperasi dan UKM. Koordinasi mencakup penanganan koperasi yang tidak berizin atau kegiatannya tidak sesuai izin.
“Apabila ada koperasi menghimpun dana masyarakat tanpa izin, koperasi itu melanggar UU Perkoperasian karena kegiatan usahanya bukan simpan pinjam. Praktik itu bisa dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 46 UU Perbankan,” ujar dia.
Pelaksana Tugas Asisten Deputi Pemeriksaan Usaha Simpan Pinjam Kementerian Koperasi dan UKM, Suparyono, dalam konferensi pers, Jumat (24/1/2020), mengakui ada keterbatasan pengawasan operasional koperasi. Kementerian masih mengedepankan pembinaan dan pencegahan. Pengawasan koperasi dilakukan berdasarkan lokasi keanggotaan. Keanggotaan koperasi di kabupaten/kota, misalnya, pengawasan dilakukan oleh bupati/walikota.
Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, Suparno menyatakan, pemerintah tidak melarang koperasi tumbuh marak, tetapi implementasi model bisnis harus sesuai izin. Pemerintah berharap kemudahan memproses badan hukum tidak justru disalahgunakan dalam operasinya. “Warga perlu mencermati legalitas koperasi,” kata Suparno.