Tambang Ilegal Rambah Kapuas
Penambangan ilegal juga berdampak pada rusaknya lingkungan. Setidaknya, dua anak Sungai Kapuas, yakni Sungai Meliau dan Kalaman, rusak.
Penanganan persoalan tambang emas ilegal di Kabupaten Kapuas tidak melulu soal penegakan hukum dan pengaturan wilayah pertambangan rakyat, tetapi juga penyediaan alternatif mata pencarian.
KUALA KAPUAS, KOMPAS Tambang emas ilegal di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, kian memprihatinkan. Selain merusak lingkungan, beberapa lokasi tambang juga merambah dekat permukiman dan sekolah.
Di Desa Hurung Pukung, Kapuas, Kecamatan Kapuas Tengah, tambang emas ilegal berlangsung setahun terakhir. Ratusan petambang bergantian masuk di wilayah itu. Penelusuran pada Jumat (24/1/2020), lokasi tambang ilegal mudah dijumpai di jalan besar yang menjadi akses utama Desa Hurung Pukung.
Gundukan pasir setinggi 3-5 meter bisa dilihat dari pinggir jalan. Belasan petambang tampak beraktivitas menggunakan alat-alat tambang tradisional. Namun, banyak bekas jejak jalan ekskavator di sekitar lokasi. Lokasi tambang pun ada yang berjarak hanya 15 meter dari SMPN 3 Kapuas Tengah. Bunyi bising mesin pengisap pasir masuk hingga ke ruang-ruang kelas.
Kepala Sekolah SMPN 3 Kapuas Tengah Tutur Siwihadi berharap ada penanganan bagi aktivitas tambang di dekat sekolah yang mengganggu proses belajar-mengajar. ”Katanya, sih, akan ada mediasi. Semoga ke depan ada solusi,” katanya. Penambangan ilegal juga berdampak pada rusaknya lingkungan. Setidaknya, dua anak Sungai Kapuas, yakni Sungai Meliau dan Kalaman, rusak.
Pada musim hujan tak ada lagi air yang mengalir dan sungai dipenuhi pasir putih. Baik Sungai Meliau maupun Kalaman sebelum ditambang merupakan sumber ikan bagi masyarakat sekitar. Namun, karena sebagian besar masyarakat lebih tertarik pada tambang, sungai-sungai itu pun ditambang sampai rusak.
Agustinus Siko (27), petambang asal Flores, Nusa Tenggara Timur, menyatakan, diupah Rp 100.000 per hari untuk menambang di sana. Ia mengaku tidak pernah bertemu pengusaha atau pemilik modal. ”Ada banyak orang yang kerja. Saya hanya ikut teman saja,” katanya.
Agustinus sudah dua tahun tinggal di Desa Pujon yang bersebelahan dengan Desa Hurung Pukung. Selama itu pula ia bekerja sebagai petambang. Ia berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Petambang lainnya, Suwandi (34), asal Cirebon, Jawa Barat, mengaku baru setahun belakangan bekerja di lokasi pertambangan itu. ”Saya hanya ikut orang,” ujarnya tanpa berkomentar banyak.
Lokasi tambang di dekat SMPN 3 Kapuas Tengah itu diyakini memiliki banyak kandungan emas. Dalam sehari, Agustinus bisa mendapat 60 gram emas. Padahal, di lokasi lain untuk mendapat 1 gram saja, petambang bisa menambang 12-14 jam per hari.
Mereka menggunakan alat tradisional bernama kato angkat yang berfungsi mengisap pasir di lubang-lubang yang sebelumnya digali dengan ekskavator. Setelah diisap, terdapat alat kasbuk yang fungsinya memisahkan air dan material lainnya. Di dalam kasbuk itu, para petambang menggunakan raksa atau merkuri yang didapat dari pemilik modal.
Desa Hurung Pukung Sinarti menjelaskan, tambang ilegal di desanya dimulai sejak tahun 1970-an. Bahkan, dirinya juga pernah menambang di beberapa sungai terdekat. ”Menambang memang jadi mata pencarian di sini, tak hanya di sini, tapi di seluruh kecamatan ini,” kata Sinarti.
Sinarti menjelaskan, khusus untuk lokasi pertambangan di dekat sekolah itu baru saja dibuka. Pihaknya beberapa kali menyampaikan larangan menambang di lokasi itu karena terlalu dekat dengan jalan, sekolah, dan permukiman. ”Kalau tambang yang di sana (dekat sekolah) saya sudah malas komentar, enggak berani juga saya,” katanya tanpa menjelaskan lebih rinci.
Penegakan hukum
Kepala Polsek Kapuas Tengah Inspektur Satu Catur Winarno menjelaskan, pihaknya beberapa kali melakukan sosialisasi larangan penambangan ilegal di lokasi tersebut. Namun, setiap kali datang, para petambang kabur dari lokasi. ”Kami sudah pasang papan peringatan dan juga sudah berikan peringatan ke sana. Dalam beberapa hari setelah itu, aktivitas berhenti. Namun, kembali lagi,” kata Catur.
Pada Minggu (26/1) siang, Kepala Polres Kapuas Ajun Komisaris Besar Esa Estu Utama datang ke lokasi. Saat ke lokasi, para petambang berlarian ke arah hutan. Mereka bahkan meninggalkan kompor yang menyala di dalam kemah-kemah tempat tinggal mereka selama setahun belakangan.
Siang itu, polisi menyita salah satu mesin pengisap dan memasang beberapa papan peringatan larangan menambang. ”Kami hanya punya 16 personel enggak mungkin bisa ’melawan’ ribuan petambang,” kata Catur. Catur berharap pemerintah daerah bisa membantu untuk mencarikan solusi agar petambang ilegal itu bisa beralih mata pencarian lain. ”Kalau tidak ada pencarian lain, mereka tidak akan beralih,” katanya.
Kepala Dinas Pertambangan dan Sumber Daya Mineral Kalteng Subhan mengaku pihaknya sedang berupaya menertibkan wilayah pertambangan rakyat di lokasi tertentu. Harapannya, penambangan lebih teratur dan terpantau serta tidak ada lagi lokasi pertambangan baru.
”Kalau dipaksa atau ditangkapi percuma juga mereka akan kembali. Selain menertibkan wilayah pertambangan rakyat, harus ada solusi lain atau pendampingan penuh agar petambang bisa mencari mata pencarian lain,” kata Subhan. (IDO)