Bencana hidrometeorologi masih berpotensi terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Jabodetabek. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memprediksi puncak musim hujan tahun 2020 terjadi pada Februari-Maret.
Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang pasang termasuk jenis bencana ini.
Salah satu pemicu banjir dan longsor yang melanda Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia pada hari pembuka tahun 2020 adalah curah hujan ekstrem (lebih dari 150 mm per hari). Bahkan, curah hujan 377 mm per hari di Bandara Halim Perdana Kusuma merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya, yakni sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 (Kompas.com, 3 Januari 2020).
Perubahan iklim
Cuaca ekstrem dan anomali cuaca tersebut merupakan dampak perubahan iklim dan lingkungan, baik dalam skala global maupun lokal. Perubahan iklim dan pemanasan global dipicu kenaikan emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) yang diproduksi manusia.
Cuaca ekstrem pada awal tahun yang mengakibatkan 60 orang meninggal dan tak kurang dari 19.000 jiwa mengungsi di Jabodetabek serta Banten itu dipicu cold surge. Hal ini merupakan fenomena alam berupa aliran udara dingin dari daratan Asia menjalar ke wilayah Indonesia bagian barat. Terobosan udara dingin yang masuk melalui Laut China Selatan ini merupakan pengaruh dari perbedaan tekanan udara di China atau Tibet dan Hong Kong.
Perubahan cuaca di Indonesia yang semakin ekstrem dalam sepuluh tahun terakhir sejalan dengan tren kejadian bencana alam, khususnya bencana hidrometeorologi yang cenderung meningkat. Setiap tahun, rata-rata 98 persen kejadian bencana per tahun adalah bencana hidrometeorologi.
Pada bulan dengan curah hujan tinggi, seperti Januari, sering terjadi bencana hidrometeorologi. Sampai dengan 24 Januari 2020, BNPB mencatat ada 231 kejadian bencana yang menyebabkan 82 orang meninggal. Dibandingkan bulan yang sama tahun 2019, jumlah korban terdampak dan kerugian yang dialami pada Januari 2020 jauh lebih besar.
Pada Januari 2020, diperkirakan jumlah pengungsi mencapai 807.192 jiwa, atau sembilan kali lebih banyak dibandingkan pengungsi Januari 2019, yakni 88.613 orang. Adapun jumlah rumah yang rusak, dari rusak ringan hingga rusak berat, tercatat 11.363 unit, meningkat 3 kali lipat dari Januari 2019, yakni 4.013 unit.
Semakin masifnya kejadian bencana dan meningkatnya jumlah korban serta kerugian yang dialami masyarakat menjadi ”alarm” bahwa hidup di daerah rawan bencana membutuhkan kewaspadaan serta kesiapsiagaan lebih tinggi. Tak dapat dimungkiri, kerawanan yang tinggi akibat bencana alam tak lepas dari letak geografis Indonesia. Posisi Indonesia yang diapit dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, menyebabkan iklim di wilayah Indonesia sangat beragam dan dinamis.
Keberagaman iklim di Indonesia disebabkan posisi dan status atmosfer Indonesia, antara lain bersuhu hangat sepanjang tahun karena berada di garis ekuator sehingga berpotensi selalu terjadi penguapan yang tinggi. Sebagai kawasan pertemuan udara antartropika, yaitu pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan selatan, atmosfer Indonesia juga memiliki banyak awan pada titik pertemuan.
Indonesia juga memiliki iklim maritim yang sangat dipengaruhi kondisi suhu permukaan laut yang cepat berubah dan sangat fluktuatif. Kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik ekuator menimbulkan fenomena El Nino dan La Nina. Fenomena ini berdampak pada kejadian berbagai bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Deforestasi
Selain faktor perubahan iklim, aktivitas manusia turut memperburuk kondisi lingkungan. Perambahan hutan untuk perkebunan, persawahan, dan permukiman atau aktivitas pembangunan yang memengaruhi ekosistem serta ekologi juga mendorong peningkatan frekuensi bencana.
Kajian Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan, deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2013-2017 mencapai 5,7 juta hektar atau 1,46 juta hektar per tahun. Deforestasi periode 2013-2017 ini lebih tinggi dari rerata periode 2009-2013, yaitu 1,1 juta ha per tahun.
Angka tersebut jauh berbeda dengan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut KLHK, deforestasi di Indonesia 0,63 juta hektar (2016), 0,48 juta ha (2017), dan 0,44 juta ha (2018). Perbedaan angka deforestasi ini terjadi diduga karena definisi deforestasi yang digunakan FWI dan KLHK berbeda.
Menurut FWI, tutupan hutan di semua wilayah cenderung turun dari tahun ke tahun. Pada 2000. tutupan hutan alam 106,4 juta hektar, kemudian menyusut menjadi 93,5 juta hektar pada tahun 2009, dan pada tahun 2017, tutupan hutan tersisa 82,8 juta hektar.
Penyusutan tutupan hutan di semua wilayah menjadi ”alarm” memburuknya hutan Indonesia, yang berkorelasi dengan risiko bencana hidrometeorologi. Perambahan hutan masif mengakibatkan wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki fungsi sebagai kawasan resapan air dan melindungi kawasan di bawahnya menjadi kritis.
Proses peresapan air (infiltrasi) ke dalam tanah tidak berlangsung maksimal karena kondisi penutupan lahan sudah tidak didominasi vegetasi (berhutan). Terjadinya deforestasi ini akan mengganggu fungsi hirologis hutan. Jumlah air yang tertampung dan tersimpan dalam tumbuhan di hutan akan berkurang. Keberadaan vegetasi hutan juga memberikan waktu bagi masuknya air hujan ke dalam tanah sehingga kemunculan air permukaan lebih terkendali.
Jika kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air dan penyangga sistem hidrologi rusak akibat deforestasi, maka air hujan yang jatuh langsung sampai ke permukaan tanah dan menyebabkan tanah longsor serta banjir.
Mitigasi
Laju deforestasi yang kian cepat berkaitan dengan aspek manusia. Perilaku masyarakat yang belum sadar dan peduli bencana memperbesar peluang terjadinya bencana. Maka, perlu ditingkatkan antisipasi, mitigasi, dan adaptasi terhadap bencana hidrometeorologi. Global Humanitarian Forum melaporkan, bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman terbesar manusia beberapa tahun ke depan. Sementara itu, secara umum, budaya sadar bencana di masyarakat boleh jadi masih rendah.
Sering kali aspek risiko bencana dalam kehidupan sehari-hari diabaikan. Masyarakat sebenarnya bisa berkontribusi aktif melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan. Pada kawasan pertanian, masyarakat dapat mengubah pola penutupan lahan pertanian menjadi pola pertanian campur antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Upaya ini penting dilakukan guna merestorasi ekosistem demi pemulihan daerah resapan air atau agroforestry.
Di perkotaan, masyarakat bisa mendukung lewat gerakan konkret, seperti mengelola pembuangan sampah. Kerap kali, banjir diperparah hambatan aliran air akibat penumpukan sampah.
Pada akhirnya, masyarakat luas perlu dibekali pengetahuan meteorologi. Faktor pemicu bencana hidrometeorologi perlu dikenali dan dipahami. Kewaspadaan serta kesiapsiagaan menghadapi bencana sangat penting disertai upaya meningkatkan kesadaran untuk mengurangi faktor pemicu bencana. (Litbang Kompas)