Perlambatan ekonomi terjadi di hampir semua negara dunia. Berbagai negara mencemaskan potensi resesi. Di tengah kompleksitas masalah yang terjadi, pemerintah perlu merespon dengan langkah yang cepat dan tepat.
Oleh
Enny Sri Hartati
·5 menit baca
Sejak memasuki tahun 2020, berbagai negara mulai khawatir akan potensi krisis atau resesi ekonomi global. Pasalnya, tak sekadar kesepakatan damai Amerika Serikat (AS)-China yang gagal, tetapi ekskalasi konflik perdagangan merembet seiring defisit dagang antara AS dan Uni Eropa. Perlambatan terjadi hampir di semua negara, bahkan pertumbuhan ekonomi China dan India melorot pada triwulan III-2019, yakni jadi 6,0 persen dan 4,5 persen.
Ketidakpastian ekonomi diperparah oleh berbagai konflik kawasan. Mulai dari demontrasi di Hong Kong sampai konflik AS-Iran. Indikasi meningkatnya risiko terjadi di tiga raksasa ekonomi dunia. Pertama, tampak dari selisih yield suku bunga surat berharga pemerintah AS yang mengecil untuk tenor 10 dan 2 tahun, menandakan risiko tinggi dalam jangka pendek.
Kedua, mesin utama ekonomi Uni Eropa, yaitu Inggris dan Jerman, mengalami perlambatan terutama akibat anjloknya pertumbuhan industri. Ketiga, turunnya pertumbuhan ekonomi China berdampak pada penurunan investasi serta penjualan ritel dan pertumbuhan produksi.
Sementara Indonesia menganggap kesehatan makro ekonominya masih dalam kondisi prima. Pertumbuhan ekonomi masih mencapai 5 persen dan inflasi terkendali. Sebulan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat secara impresif. Ironisnya, penguatan rupiah justru terjadi ketika neraca perdagangan defisit, meski angkanya turun dari 8,7 miliar dollar AS tahun 2018 jadi 3,22 miliar dollar AS tahun 2019.
Bagaimanapun, sejumlah kalangan tetap khawatir penguatan rupiah hanya sementara. Sebab, situasi itu bukan karena faktor fundamental yang kuat seperti surplus neraca dagang atau derasnya investasi langsung, melainkan aliran modal masuk dalam bentuk portofolio.
Akibatnya, demi menjaga kenyamanan arus modal masuk dan stabilisasi rupiah, Bank Indonesia menahan suku bunga acuan di level 5 persen sejak Oktober 2019. Dampaknya, pertumbuhan kredit perbankan turun dari 7,89 persen (September 2019) jadi 6,53 persen (Oktober 2019).
Parahnya, penurunan justru terjadi pada permintaan kredit korporasi, terutama kredit modal kerja yang turun dari 5,94 persen jadi 4,08 persen. Pertumbuhan kredit investasi juga turun dari 12,84 persen jadi 11,20 persen. Demikian juga pertumbuhan kredit konsumsi yang turun dari 6,82 persen jadi 6,48 persen. Selain itu, pertumbuhan dana pihak ketiga turun dari 7,47 persen jadi 6,29 persen.
Lemahnya peran pembiayaan tentu berkorelasi langsung dengan pertumbuhan investasi. Pada triwulan III-2019 saja, investasi hanya mampu tumbuh 4,2 persen, investasi nonbangunan bahkan hanya tumbuh 1,95 persen. Padahal, investasi jadi faktor utama peningkatan produktivitas atau sisi suplai. Terbukti hampir semua sektor riil yang menghasilkan barang (tradeable) mengalami tekanan. Sektor pertanian hanya tumbuh 3,08 persen, sementara sektor industri pengolahan 4,5 persen.
Ke depan, risiko sektor pangan cukup besar akibat cuaca ekstrem sejak awal 2020 yang memicu banjir. Paling tidak, jadwal panen raya jadi mundur.
Turunnya kinerja sektor produktif berdampak langsung pada penyerapan lapangan kerja yang akhirnya menentukan daya beli masyarakat. Kemampuan belanja masyarakat menurun, terlihat dari penjualan ritel pada November 2019 yang tumbuh 1,3 persen, anjlok dari Oktober 2019 yang masih tumbuh 3,6 persen.
Indikator lemahnya daya beli masyarakat sebenarnya sudah terlihat sejak triwulan II-2019. Pada saat itu, ada dua peristiwa besar yang mestinya mampu menjadi amunisi guna mendongkrak konsumsi rumah tangga, yakni pemilu dan hari raya Idul Fitri. Nyatanya, konsumsi rumah tangga tak beranjak dari level 5,17 persen. Tak heran, jika sektor perdagangan yang selalu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional, pada triwulan III-2019 hanya tumbuh 4,5 persen. Sayangnya, di tengah situasi itu, pemerintah justru menaikkan iuran BPJS kesehatan serta tarif jalan tol.
Sementara ekonomi digital yang diharapkan menampung jutaan tenaga kerja masih sekadar jadi harapan. Industri kreatif masih kesulitan mendapatkan pembiayaan. Sementara penetrasi pelaku bisnis raksasa global berbasis digital, baik e-dagang maupun tekfin, makin menggurita akibat ketiadaan payung hukum ekonomi digital yang jelas.
Di tengah kompleksitas persoalan riil yang perlu respon cepat dan jangka pendek itu, seluruh energi kementerian dan lembaga kini fokus pada pembahasan rancangan undang-undang omnibus law. Hampir tak terdengar secara riil program 100 hari Kabinet Indonesia Maju yang merespon permasalahan tersebut. Terutama program kongkrit untuk meningkatkan investasi, menekan defisit neraca perdagangan, dan menyehatkan fiskal.
Ironisnya, pembahasan omnibus law justru mendapat perlawanan dari buruh, aktivis lingkungan, dan keresahan pemerintah daerah. Jika demikian awalnya, bagaimana rumusan ini akan mampu meyakinkan investor?
Padahal, komitmen Presiden Joko Widodo saat Sidang Paripurna MPR 2019 terkait omnibus law cipta lapangan kerja adalah jelas, yaitu guna meningkatkan serapan tenaga kerja. Pasalnya, terjadi tren penurunan elastisitas atau kemampuan investasi terhadap penyerapan tenaga kerja secara drastis.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, pada tahun 2013 tercatat bahwa setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap 4.594 orang. Namun, tiga tahun terakhir turun secara drastis, yakni menjadi 1.697 orang (2017) dan 1.331 orang (2018) per Rp 1 triliun investasi. Pada triwulan III-2019 bahkan hanya 1.034 orang.
Penurunan kemampuan investasi untuk menyerap tenaga kerja terjadi karena dominasi realisasi investasi sektor sekunder, terutama industri pengolahan, beralih ke sektor jasa. Tahun 2013, realisasi investasi sektor sekunder masih mencapai 55,4 persen, primer 22,6 persen, dan sektor tersier 22 persen.
Kondisi tahun 2018 terbalik, investasi ke sektor sekunder tinggal 35,3 persen, sementara ke sektor primer 16,5 persen dan tersier melonjak jadi 48,2 persen. Pada triwulan III-2019, investasi sektor jasa bahkan mencapai 59 persen, sementara untuk industri manufaktur 24,5 persen, pertambangan 7,4 persen, tanaman pangan perkebunan dan peternakan 7,4 persen, kehutanan 1,6 persen, dan perikanan hanya 0,1 persen.
Dengan demikian, jika kebutuhan utama adalah terbukanya lapangan kerja, fokusnya mesti jelas yaitu kembali menggeser realisasi investasi ke sektor manufaktur, terutama sektor padat karya. Pemerintah bisa memprioritaskan untuk mengatasi aturan yang tumpang tindih dan memberikan insentif yang kongkrit ke sektor itu. Terutama untuk meningkatkan efisiensi atau menurunkan beban ekonomi biaya tinggi di logistik, energi, dan memangkas berbagai biaya siluman.
Hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) Bank Indonesia November 2019 memperlihatkan faktor utama penghambat investasi. Ternyata, berdasarkan respon responden, faktor terbanyak adalah suku bunga (18,9 persen), perizinan (19,7 persen), infrastruktur (10,2 persen), perpajakan (9,13 persen), keamanan (7,63 persen), ketenagakerjaan (7,52 persen), undang-undang/ketentuan (7,20 persen), dan akses kredit bank (5,59 persen).
Jadi masih mau meneruskan dan mempercepat omnibus law?