Fenomena Kerajaan Baru Bentuk Keputusasaan Masyarakat
›
Fenomena Kerajaan Baru Bentuk ...
Iklan
Fenomena Kerajaan Baru Bentuk Keputusasaan Masyarakat
Fenomena sejumlah kerajaan baru seperti Keraton Agung Sejagat di Kabupaten Purworejo, bagian dari ekspresi keputusasaan dan ketidakpuasan masyarakat. Mereka pun terpikat figur yang menawarkan janji perubahan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS - Fenomena kemunculan sejumlah kerajaan baru seperti Keraton Agung Sejagat (KAS) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, bagian dari ekspresi keputusasaan dan ketidakpuasan masyarakat. Tak mampu mengubah nasib, mereka menaruh harapan saat ada figur datang menawarkan janji-janji perubahan.
“Harapan itu akhirnya menghapuskan kesadaran dan logika. Karena begitu rindunya akan kehadiran penyelamat, seperti satrio piningit dan semacamnya, mereka pun rela melakukan semua permintaan figur tersebut, sampai tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya telah ditipu,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, saat berkunjung ke Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (28/1/2020).
Di satu sisi, terdapat kelompok masyarakat yang sangat kaya dan di sisi lain, terdapat kelompok yang sangat miskin.
Said mengatakan, gejala semacam ini terbilang wajar dan biasa terjadi pada warga yang merasa tersakiti, akan tetapi tidak memiliki daya untuk melawan. Ketidakpuasan yang dimaksud, menurut Said, juga patut dimaklumi karena saat ini di tengah masyarakat terjadi ketimpangan yang cukup lebar. Di satu sisi, terdapat kelompok masyarakat yang sangat kaya dan di sisi lain, terdapat kelompok yang sangat miskin.
Oleh karena itu, menurut Said, segenap pihak mulai dari pemerintah hingga kalangan konglomerat diharapkan juga tanggap dan membantu mengatasi persoalan ini dengan menciptakan pemerataan ekonomi. Kalangan ekonomi kelas menengah juga diminta membantu mengangkat ekonomi masyarakat miskin.
Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidillah Shodaqoh, mengatakan, fenomena munculnya kerajaan juga sekaligus menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mengalami kekosongan spiritual. Mereka menjadi kurang realistis dan tidak menerima fakta, kondisi, dan pemerintahan saat ini.
“Mereka kemudian cenderung membangun mimpi-mimpi, antara lain bentuk kerajaan baru, yang nantinya dapat menjadi sarana mereka keluar dari realita yang dihadapi,” ujarnya.
Ubaidillah mengatakan, fenomena ini juga membuat kalangan ulama merasa terpukul karena hal ini tidak terantisipasi. “Kami merasa kecolongan. Semestinya semua bisa dicegah jika kelompok ini terlebih dahulu disentuh dan didekati oleh kami, dari kalangan ulama,” ujarnya.
Salah seorang anggota Keraton Agung Sejagat (KAS) di Kabupaten Purworejo, Setyono Eko Pratolo, mengatakan, alasan keterlibatannya dalam KAS diakuinya semata-mata didasari harapan dan keinginan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Pasalnya, sebelum November 2019, insentif yang diterima dari pekerjaanya sebagai perangkat Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo, terbilang rendah, bahkan jauh di bawah upah minimun kabupaten.
“Saya terpikat masuk KAS karena sebelumnya dijanjikan akan mendapatkan gaji dalam mata uang dollar Amerika Serikat,” ujarnya.
Keterlibatan dalam KAS saya akui semata-mata didasari harapan dan keinginan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. (Setyono Eko Pratolo)
Untuk menangani para korban KAS, Pemkab Purworejo telah menerjunkan tim khusus untuk mendata dan mendampingi warga dari rumah ke rumah, juga dibuka 16 posko pengaduan di delapan kecamatan. Asisten Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Purworejo Pram Prasetya Achmad, mengatakan, delapan kecamatan yang menjadi lokasi pendirian posko adalah wilayah yang sesuai pemeriksaan polisi terdapat anggota KAS.
Di setiap kecamatan tersebut akan dibuka dua posko, di kantor kecamatan dan puskesmas. Menurut Pram, tim yang akan berkeliling dari rumah ke rumah ataupun yang berjaga di puskesmas beranggotakan sejumlah tenaga psikolog dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Tjitrowardojo Purworejo ditambah tenaga dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi).