Hanya karena suara tangisan Robendi (43) membunuh anaknya yang juga merupakan cucu kandungnya sendiri, anak hasil hubungan dengan anak perempuannya. Ternyata dia juga sudah membunuh dua anaknya yang lain.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Hanya karena suara tangisan, Robendi (43) membunuh anaknya yang juga merupakan cucu kandungnya sendiri. Setelah ditangkap Robendi mengaku sudah membunuh dua bayinya yang lain.
Robendi diringkus aparat kepolisian setelah dilaporkan anak laki-lakinya yang berusia 17 tahun ke polisi. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Murung Raya Ajun Komisaris (AKP) Roni M Nababan, saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa, (28/1/2020) menjelaskan, Robendi merupakan ayah dua anak dan sudah berpisah dari istrinya sejak 2012.
Ia membawa dua anaknya, satu perempuan dan satu laki-laki, keluar dari desa dan tinggal di hutan sekitar desa tempat ladangnya berada di Desa Batu Karang, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Atas laporan anaknya itu, polisi membawa Robendi ke Puruk Cahu, ibu kota Kabupaten Murung Raya, dari tempat tinggalnya di hutan, Senin, (27/1).
Menurut Roni, selama tinggal di pondok ia meniduri anak perempuannya yang berumur 19 tahun. Pada tahun 2016, anak Robendi melahirkan seorang anak perempuan hasil hubungan gelap Robendi dengan anak kandungnya itu. Sekitar dua minggu setelah kelahiran, Robendi membanting anak bayi itu karena terus menangis.
“Anak itu meninggal, kemudian di kubur di dekat pondoknya, karena jauh dari desa tidak ada yang mengetahui perbuatannya kecuali dua anak-anaknya di sana,” kata Roni.
Pada tahun 2018 lahir anak kedua Robendi dari hubungan gelap yang sama. Namun, karena tak bisa mengurusnya Robendi memberikan anak ini ke keluarganya di Banjarmasin untuk dijaga dan dibesarkan.
Lalu pada September 2019 lalu, lahir lagi anak ketiga Robendi dari hubungan gelap itu. Saat melahirkan ibu bayi langsung meninggal karena pendarahan dan melahirkan tanpa pertolongan. Setelah meninggal, ibu bayi dikubur oleh Robendi dibantu anak laki-lakinya yang berusia 17 tahun.
Baru berumur tujuh hari, bayi yang terus menangis itu kemudian kembali dianiaya oleh Robendi. Tak hanya dibanting, kepala bayi laki-laki itu diinjak Robendi, hingga akhirnya meninggal dunia. “Bayi itu kemudian dikubur oleh anak laki-lakinya yang kemudian berusaha kabur dari pondok dan melaporkan kejadian itu ke kami,” kata Roni.
Roni menjelaskan, dari bulan September 2019 sampai Januari 2020 anak laki-lakinya berupaya kabur dari pondok namun beberapa kali ketahuan ayahnya dan diancam tidak boleh keluar pondok. Baru pada pertengahan Januari lalu ia berhasil kabur dan langsung lari ke kantor polisi.
Senin kemarin, Robendi dibawa ke Polres Murung Raya dan diperiksa. Dalam pemeriksaan, Robendi mengaku sudah membunuh tiga bayi, dua dari hasil hubungan gelapnya dengan anak kandungnya sendiri, satu bayi lagi adalah anak pertama dia dari hubungan yang sah dengan istrinya.
Pada pertengahan Januari lalu ia berhasil kabur dan langsung lari ke kantor polisi.
“Kalau dari pemeriksaan pelaku normal dan mengakuinya dalam keadaan sadar, tetapi untuk memastikan ini semua kami akan lakukan otopsi pada jasad-jasad yang dikubur di pondoknya,” ungkap Roni.
Pihak kepolisian juga masih melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi termasuk istri pelaku dan anak laki-laki pelaku. Identitas para saksi dirahasiakan untuk kepentingan penyidikan.
Pembangunan manusia
Di Kalimantan Tengah, selama bulan Januari sudah terjadi dua pembunuhan yang dilakukan anak terhadap ibu kandung. Kali ini seorang ayah membunuh anak-anak kandungnya.
Paulus Danarto, dosen kajian politik pembangunan Universitas Palangka Raya mengatakan banyak faktor yang menyebabkan perilaku pelaku muncul. salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak dasar atau pelaku tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Mengapa mereka bisa tinggal di hutan atau ladang, hidup susah, lalu jauh dari interaksi sosial? Pernahkah pemerintah, minimal orang di desa mengunjungi? Tak ada kontrol sosial di sana,” ungkap Paulus.
Selama ini, kasus-kasus tersebut selesai pada ranah pidana. Padahal, menurut Paulus, banyak sekali yang harus dilakukan pemerintah melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi dalam hubungan keluarga di Kalteng.
“Sejauh mana negara memenuhi hak-hak masyarakatnya, selama ini semua kasus seperti ini selesai setelah pelaku dihukum, lalu apa yang dilakukan negara terhadap orang-orang di sekitar pelaku dan korban, jangan sampai mereka justru menjadi korban berikutnya,” kata Paulus.
Paulus menambahkan, dalam konteks hak asasi manusia, ada tiga kewajiban yang harus dilakukan negara, yakni menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat. “Tiga aspek ini tidak terpisahkan, sehingga para penegak hukum harus punya kebijakan yang sinergi dengan kebijakan pemerintah,” ungkapnya.
Koordinator Program Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak (eLSPA) Provinsi Kalteng Yuliana mengungkapkan, perlu ada pendampingan dari pemerintah dan lembaga lainnya, termasuk masyarakat terhadap orang-orang di sekitar pelaku yang pasti memiliki trauma. Dalam kasus ini, lanjut Yuliana, ada istri pelaku, anak laki-laki pelaku yang jadi pelapor, dan anak yang dititipkan di keluarganya. Dengan begitu pemerintah perlu mendampingi juga melindungi mereka.
“Selama bertahun-tahun anak itu tinggal di pondok dan menyaksikan kejadian itu pasti ada trauma yang membekas, harus ada pemulihan. Jangan sampai dia melakukan hal yang sama di masa depan,” kata Yuliana.