Revisi Regulasi soal Tembakau Rugikan Industri Rokok
›
Revisi Regulasi soal Tembakau ...
Iklan
Revisi Regulasi soal Tembakau Rugikan Industri Rokok
Revisi PP No 109/2012 dikhawatirkan kian melemahkan kinerja industri rokok atau hasil tembakau, yang sebelumnya dihantam kenaikan cukai dan harga eceran rokok.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri rokok atau hasil tembakau terancam dengan rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Revisi dikhawatirkan kian melemahkan kinerja industri, yang sebelumnya dihantam kenaikan cukai dan harga eceran rokok.
Dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (28/1/2020), Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie menyampaikan keluhan mereka atas rencana pemerintah.
Sampai akhir 2019, beberapa substansi perubahan sudah dibahas di tingkat Panitia Antar-Kementerian (PAK). Beberapa perubahan dinilai akan memberatkan industri rokok, seperti Pasal 26 yang akan melarang iklan rokok di media luar ruang dan di dalam toko.
Kemudian, Pasal 12 yang berpotensi memperketat penggunaan bahan tambahan pada produksi tembakau. Selain itu, Pasal 17 yang akan memperbesar gambar peringatan kesehatan pada muka kemasan rokok dari semula 40 persen menjadi 90 persen.
”Industri ini memahami bahwa rokok ada risiko kesehatannya. Kalau diatur dengan regulasi yang adil, berimbang, dan tidak eksesif, kami akan baik-baik saja. Regulasi setidaknya dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah, masyarakat kesehatan, atau industri,” ujar Muhaimin.
Apabila revisi itu direalisasikan, dampaknya diyakini bakal meluas, tidak hanya pada pelaku usaha, tetapi juga pihak-pihak yang menyokong jalannya industri ini. Muhaimin menyebutkan, ada sekitar 6 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri hasil tembakau dari hulu ke hilir.
Aturan untuk memperbesar gambar peringatan kesehatan, misalnya, membutuhkan biaya penggantian mesin cetak. Aturan pelarangan iklan juga akan berdampak langsung dan tidak langsung pada industri dan pelaku usaha terkait. Iklan rokok disebutkannya berkontribusi 8-9 persen pada penghasilan industri iklan nasional.
Mengenai aturan bahan tambahan, Gaprindo memastikan bahan yang ditambahkan, seperti gula, cokelat, dan ekstra rempah, sudah pasti terjamin keamanannya. Dibatasinya bahan tambahan dinilai tidak hanya akan membatasi inovasi industri, tetapi juga meningkatkan peluang rokok ilegal untuk masuk ke pasar karena tidak adanya pembeda antara satu merek dan merek lain.
Dalam tiga tahun terakhir, produksi rokok dalam negeri tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai hampir 350 miliar batang per tahun. Pada 2018, jumlah produksi rokok mencapai 330 miliar per batang. Pada 2019, diperkirakan membaik karena tidak ada kenaikan cukai.
Pada tahun 2020, kenaikan cukai dan harga eceran rokok berganda dikhawatirkan kembali menjatuhkan jumlah produksi rokok. Kementerian Keuangan, seperti diketahui, menargetkan kenaikan penerimaan cukai rokok sampai Rp 179,2 triliun dari sebelumnya Rp 154 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kesehatan Agus Suprapto mengatakan, revisi PP itu masih dibahas dengan Kementerian Kesehatan. Pembahasan dengan pihak lain yang terkait, termasuk pelaku industri rokok, akan pula dilakukan. Namun, dia belum bisa memastikan waktunya.
Sejauh ini, substansi seperti gambar peringatan kesehatan, penetapan bahan tambahan, hingga pelarangan rokok elektrik telah dibahas dalam rapat koordinasi di tingkat PAK. Namun, banyak yang belum ditetapkan, seperti definisi detail mengenai pelarangan bahan tambahan.
”Definisi detail masih didiskusikan. Tapi, intinya, ini bertujuan untuk mencegah anak mencoba merokok yang rasanya menarik perhatian anak dan perokok pemula, seperti rasa buah, permen karet, dan lainnya,” kata Agus.
Pengawasan
Gaprindo menilai, jika revisi PP No 109/2012 ditetapkan, regulasi itu justru tidak akan memberikan dampak signifikan pada pengurangan jumlah perokok anak. Hal yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah upaya pengawasan dan pencegahan akses rokok pada anak-anak.
Muhaimin menyebutkan, industri rokok telah berupaya menanggulangi prevalensi perokok anak melalui berbagai program pencegahan. Contohnya, program Youth Smoking Prevention (YSP) pernah dilakukan anggota Gaprindo melalui jalur peritel masing-masing.
Pakar industri hasil tembakau Mochammad Sholichin yang juga hadir saat diskusi melihat, PP No 109/2012 sebenarnya sudah baik dan cukup adil bagi semua pemangku kepentingan. Persoalannya tinggal pada pelaksanaannya, khususnya pengawasan yang belum optimal dilakukan oleh pemerintah.
Rencana revisi PP No 109/2012 pun dikritiknya. ”Dalam perencanaan regulasi, industri pun enggak diajak bicara sehingga enggak tahu arahnya bagaimana. Sehingga ini dikhawatirkan akan memberi efek domino, yang pada akhirnya berujung pada menurunnya penerimaan negara,” ujarnya.