Tiga perupa menggelar 19 karya mereka di Taman Ismail Marzuki. Selain sebagai bentuk refleksi atas situasi saat ini, pameran ini juga bentuk kritik atas rencana revitalisasi Taman ismail Marzuki.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Tiga perupa menggelar 19 karya mereka di Taman Ismail Marzuki. Selain sebagai bentuk refleksi atas situasi saat ini, pameran ini juga bentuk kritik atas rencana revitalisasi Taman Ismail Marzuki.
Patung komponis legendaris Ismail Marzuki sedang menggesek Cellonya. Mulutnya tertutup masker berwarna kehijauan. Ia sedang bermain musik di tengah ancaman “polusi”.
Komponis pejuang kelahiran Betawi itu duduk di atas bongkahan batu yang menumpang pada tugu peringatan bertuliskan 1914-1958. Kini, keberadaan tugu itu telah tertutup pagar proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) PT Jakarta Propertindo.
Di bagian kanan patung Ismail Marzuki tampak batu persegi berukirkan simbol daun palma berhelai lima dengan tujuh buah di tengahnya dilingkari bulatan yang mulai retak. Lima helai daun palma adalah simbol TIM ciptaan pelukis Oesman Effendi yang melambangkan Pancasila dalam kehidupan seni budaya, sementara tujuh biji buah menyimbolkan tujuh bidang seni, meliputi musik, tari, sastra, seni rupa, teater, film, dan tradisi.
Sosok patung Ismail Marzuki itu adalah salah satu karya perupa Maspadhik berjudul “Ismail Marzuki” yang ditampilkan dalam pameran bertajuk “Tarung” di Balai Budaya Jakarta 23-30 Januari 2020. Pameran ini menyuguhkan 19 karya dari tiga perupa, yaitu Maspadhik, RB Ali, dan Heriawan Siauw.
Dalam lukisannya, Maspadhik melayangkan kritik keras tentang situasi TIM saat ini. “TIM sekarang sedang mengalami ‘polusi’. Kita tidak tahu bagaimana arah ke depan TIM setelah direvitalisasi,” ujarnya, Minggu (26/1/2020) di Jakarta.
PT Jakarta Propertindo akan mengembangkan infrastruktur dan bisnis Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki selama 30 tahun ke depan. Ruang budaya warisan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu akan direvitalisasi dan infrastrukturnya dikomersialkan.
Sudah sekian lama para seniman dan budayawan mengkritik kondisi TIM saat ini. Komersialisasi ruang budaya warisan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu dikhawatirkan akan meminggirkan, mengerdilkan, bahkan ”membunuh” kebudayaan. Karena itu, sejumlah seniman menolak rencana pembangunan infrastruktur dan bisnis di Pusat Kesenian Jakarta TIM.
Karya lain Maspadhik berjudul “Kami Cinta Indonesia” terinspirasi dari lukisan Leonardo da Vinci berjudul “Perjamuan Terakhir”. Lukisan tersebut tidak menampilkan Yesus dengan murid-muridnya, tetapi perjamuan makan imajinatif antara John Lennon bersama tokoh-tokoh dunia, mulai dari Che Guevara, Abdurrahman Wahid, Albert Einstein, Dalai Lama, Bob Marley, Mick Jagger, hingga Mahatma Gandhi. Di lukisan itu, John Lennon sedang memegang pot kecil berisi bibit tanaman, sebuah simbol bagaimana dunia bergantung pada Indonesia sebagai paru-paru bumi.
Simbol Harapan
Perupa lainnya, RB Ali menampilkan lukisan-lukisan simbolik sesuai dengan kekhasannya selama ini. Salah satu lukisannya berjudul “Harapan di penghujung Tahun” menggambarkan refleksinya bagaimana menyambut 2020 dengan harapan, kegembiraan, tetapi sekaligus juga kegamangan.
“Karya-karya ini muncul di penghujung tahun kemarin. Ada banyak hal yang terbersit di benak saya, mulai dari harapan, kegembiraan, hingga pertanyaan-pertanyaan,” ujarnya.
Situasi itu terlihat dari simbol-simbol bukit, jendela, wajah-wajah gembira, tetapi juga sosok person yang tengah terpenjara oleh keinginan-keinginannya. Pada karya lainnya, Ali membuat sebuah lukisan berjudul “Happiness” dengan warna-warna cerah dipenuhi simbol-simbol hewan lucu, seperti kucing, ikan, kepala manusia, mata, gigi, dan sebagainya.
Sementara itu, Heriawan Siauw membawa karya-karya abstrak sekaligus simbolik. Sesuai dengan latar belakangnya, Heriawan mencoba menciptakan bentuk-bentuk baru simbol-simbol Tionghoa, yaitu Yin Yang. Penggambaran Yin Yang versi Heriawan cukup unik dengan perbandingan dua warna dasar, yaitu merah dan hitam.
Maspadhik, Ali, dan Heriawan mengusung tema “Tarung” sebagai bentuk refleksi atas situasi yang terjadi akhir-akhir ini, mulai dari korupsi, kekerasan, saling menghujat, saling membenci, perusakan lingkungan, pertumbuhan ekonomi yang lambat, pertarungan politik dan sebagainya. Dari situlah, mereka mencoba mencurahkan imajinasi dan refleksi.