Tren jumlah pemukiman kembali pengungsi turun beberapa tahun terakhir ini. Program ini perlu berkelanjutan, salah satunya guna meredam munculnya gejolak terkait keberadaan pengungsi di sejumlah negara.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi memproyeksikan negara ketiga akan terus mengurangi kuota penerimaan pengungsi di masa mendatang. UNHCR juga meminta negara-negara transit diharapkan segera memiliki instrumen untuk menjamin perlindungan pengungsi.
UNHCR mencatat, tren jumlah pemukiman kembali (resettlement) pengungsi menurun selama beberapa tahun terakhir. Pada 2015, jumlahnya sebanyak 81.891 orang, 126.291 orang (2016), 65.108 orang (2017), dan 55.680 orang (2018). Sementara pada Januari-November 2019, jumlah pengungsi yang dimukimkan kembali sebanyak 58.874 orang.
Program pemukiman kembali merupakan pemindahan pengungsi dari negara transit ke negara lain yang telah setuju menerima pengungsi. Tujuannya agar pengungsi mendapatkan tempat tinggal yang layak dan permanen.
Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia Ann Maymann dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/1/2020), mengatakan, penerimaan pengungsi oleh suatu negara ke depan diproyeksikan akan terus menurun. Apalagi, negara-negara tradisional, seperti Amerika Serikat, sebagai penerima terbesar memotong kuota secara drastis dalam waktu cepat.
”Namun, kami tidak bisa mengukur seberapa cepat penurunan itu terjadi,” kata Maymann.
Penerimaan pengungsi oleh suatu negara ke depan diproyeksikan akan terus menurun. Namun, kami tidak bisa mengukur seberapa cepat penurunan itu terjadi.
Kecepatan penurunan itu, lanjut Maymann, sulit diprediksi karena ada negara-negara lain yang tiba-tiba membuka kuota bagi pengungsi, seperti Rwanda di Afrika Timur. Ada kalanya juga kuota penerimaan pengungsi akan meningkat karena negara nontradisional ikut membuka kuota.
Petugas Perlindungan Senior UNHCR Julia Zajkowski menambahkan, negara-negara penerima pengungsi memiliki sejumlah kriteria untuk menerima pengungsi. Ada sejumlah faktor yang menentukan, antara lain asal negara, keterampilan yang dimiliki, dan jumlah keluarga yang dimiliki.
Biasanya, UNHCR merekomendasikan pengungsi yang rentan, yaitu dilihat dari lama waktu, masalah keamanan dan kesehatan, atau kerentanan terhadap kekerasan.
”Namun, negara-negara tersebut tidak wajib menerima rekomendasi karena memiliki kepentingan domestik. Jadi, kami biasanya bernegosiasi,” ujar Zajkowski.
UNHCR Global Report 2018 menyebutkan, sekitar 1,4 juta pengungsi di seluruh dunia membutuhkan pemukiman kembali. Sebagai organisasi nonpemerintah, UNHCR tidak berhak mendesak negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 untuk menerima pengungsi-pengungsi tersebut.
Itu menyebabkan para pengungsi kebanyakan terkatung-katung di negara transit, yang kebanyakan adalah negara berkembang. Mereka menunggu konfirmasi kesediaan negara ketiga, yang kebanyakan adalah negara maju, memberikan tempat tinggal tetap.
UNHCR tidak berhak mendesak negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 untuk menerima pengungsi-pengungsi tersebut. Itu menyebabkan para pengungsi kebanyakan terkatung-katung di negara transit.
UNHCR mencatat, sejumlah negara transit di kawasan Asia Tenggara adalah Thailand yang menampung 577.333 orang pengungsi per Desember 2019, Malaysia (178.100 orang), dan Indonesia (13.657 orang).
UNHCR memandang, program pemukiman kembali pengungsi itu perlu berkelanjutan. Salah satunya untuk mengantisipasi munculnya gejolak terkait keberadaan pengungsi di sejumlah negara.
Di Kepulauan Aegea, Yunani, warga memprotes keberadaan kamp pengungsi dan rencana pemerintah untuk menggantinya dengan pusat penahanan. Di Paris, Perancis, polisi memindahkan ratusan pengungsi dari kamp sementara untuk mencegah mereka tinggal di jalanan.
Program pemukiman kembali pengungsi itu perlu berkelanjutan. Salah satunya untuk mengantisipasi munculnya gejolak terkait keberadaan pengungsi di sejumlah negara.
Adapun pemukiman kembali di negara ketiga merupakan satu dari tiga solusi yang ditawarkan UNHCR kepada pengungsi. Dua solusi lainnya adalah integrasi lokal dan repatriasi. Dua solusi ini sulit dilakukan karena sejumlah negara penampung belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 serta konflik negara asal belum kunjung damai.
Perlindungan pengungsi
Maymann mengemukakan, saat ini, penanganan pengungsi di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Kerangka hukum tersebut perlu menjadi contoh bagi negara lain di Asia Tenggara dan lainnya untuk menunjukan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam menolong pengungsi.
UNHCR juga mengapresiasi negara-negara lain yang menandatangani Konvensi 1951 yang berisi kerangka komprehensif terkait perlindungan pengungsi, termasuk Indonesia. Meskipun begitu, UNHCR menyadari keputusan tersebut merupakan hak istimewa masing-masing negara.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Febrian Alphyanto Ruddyard menyampaikan, sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, meskipun tidak membahas krisis pengungsi global secara khusus, Indonesia mendorong penciptaan dan pemeliharaan perdamaian pascakonflik bersenjata.
Indonesia melihat faktor yang mendorong terjadinya krisis pengungsi global adalah konflik dan perang, ekonomi, serta perdagangan manusia. ”Dalam setiap pembahasan terkait penanganan krisis pengungsi global, Indonesia mendorong kerja sama internasional yang mengedepankan pembagian beban dan tanggung jawab berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967,” ujarnya. (REUTERS/AFP)