Rencana pemerintah memindahkan kapal cantrang dari pantai utara Jawa ke perairan Natuna menimbulkan pro dan kontra. Jangan sampai langkah ini memunculkan masalah baru.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Rencana pemerintah memindahkan kapal-kapal besar nelayan cantrang dari pantai utara Jawa ke zona ekonomi eksklusif Laut Natuna Utara sejauh 12-200 mil atau 20-300 kilometer menuai polemik. Di satu sisi, regulasi larangan cantrang masih berlaku. Di sisi lain, sebagian kapal nelayan cantrang dan sejenisnya masih beroperasi di sejumlah wilayah.
Larangan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
Laut Natuna memiliki aktivitas perikanan tersibuk kedua setelah Laut Arafura. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedikitnya 815 kapal nelayan berukuran di atas 30 gros ton beroperasi di Laut Natuna. Sementara yang aktif di Laut Arafura sekitar 1.500 kapal besar.
Kesibukan di perairan Natuna tidak sebanding dengan kondisi Laut Natuna Utara yang cenderung ”kosong”. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat konsentrasi kapal-kapal nelayan terpusat di selatan Natuna. Sebaliknya, perairan di utara hingga zona ekonomi eksklusif Laut Natuna Utara cenderung minim armada nasional.
Akibatnya, perairan terluar marak penangkapan ikan ilegal oleh kapal nelayan asing.
Lantas, apa penyebab ketimpangan jumlah kapal antara zona ekonomi eksklusif dan perairan teritorial di Natuna?
Sejak 2015, pemerintah membatasi ukuran kapal untuk izin baru. Kapal penangkap ikan dibatasi maksimum berukuran 150 gros ton dan kapal pengangkut ikan maksimum 200 gros ton. Pembatasan ukuran kapal dituding sebagai penghambat investasi kapal besar yang menjangkau zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Fakta lain, banyak kapal Indonesia berukuran di atas 150 gros ton yang pernah beroperasi mangkrak. Sebagian kapal besar berhenti beroperasi sejak pemerintah menaikkan pungutan hasil perikanan hingga sepuluh kali lipat pada 2015.
Pada masa lalu, kapal-kapal berukuran ratusan gros ton leluasa menangkap ikan di perairan teritorial hingga zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan menengarai sebagian kapal didanai pihak asing dan ikannya dilarikan ke luar negeri. Akibatnya, sumber daya terkuras tetapi penerimaan negara tak terdongkrak.
Kini, pemerintah mendorong kembali kapal berukuran besar untuk mengisi zona ekonomi eksklusif Laut Natuna Utara ataupun zona ekonomi eksklusif Indonesia lain yang berbatasan dengan enam wilayah pengelolaan perikanan. Regulasi terkait pembatasan ukuran kapal direvisi untuk mengakomodasi izin baru kapal berukuran lebih besar.
Berkelanjutan
Di tengah visi negara memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), perizinan kapal besar perlu tetap mengedepankan prinsip perikanan berkelanjutan. Dorongan terhadap operasional kapal besar diharapkan tidak ”digebyah uyah” yang berujung pada menguras sumber daya ikan.
Saatnya pemerintah memastikan jenis alat tangkap yang boleh digunakan, pengaturan dan pengawasan wilayah penangkapan, jumlah tangkapan ikan maksimum sesuai potensi lestari agar tidak terjadi penangkapan berlebih, serta kewajiban kepemilikan kapal 100 persen modal dalam negeri.
Persoalan juga muncul karena sebagian besar alat tangkap cantrang telah dimodifikasi sedemikian rupa menyerupai alat tangkap pukat harimau (trawl) yang merusak ekosistem. Pemerintah perlu memastikan izin kapal cantrang di ZEE tidak memicu persoalan baru.
Pengawasan terhadap kapal-kapal besar diperlukan agar tidak tumpang tindih dengan wilayah tangkapan nelayan tradisional dan menuai konflik. Kapal-kapal besar yang umumnya buatan luar negeri juga harus dipastikan bebas dari modal asing agar tidak mengulang lagu lama, yakni hasil tangkapan dilarikan ke luar negeri.
Di sisi lain, investasi kapal ikan besar perlu didukung kemudahan izin dan sarana pendukung agar beroperasi maksimal. Dukungan itu antara lain bahan bakar minyak, kelayakan pelabuhan, permodalan, hingga akses pasar.
Kebangkitan armada besar Indonesia di zona ekonomi eksklusif diharapkan memperkuat eksistensi dan menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia, menyerap lapangan kerja dan menjadi ”mata” negara untuk ikut memantau pergerakan kapal asing. Tentu saja dengan dukungan aparat pengawasan negara yang kuat dan solid.