Pengembangan 22 Desa Wisata di NTT Berbasis Kearifan Lokal
›
Pengembangan 22 Desa Wisata di...
Iklan
Pengembangan 22 Desa Wisata di NTT Berbasis Kearifan Lokal
Pemprov Nusa Tenggara Timur mengembangkan 22 desa menjadi destinasi unggulan wisata berbasis kearifan lokal. Setiap desa dialokasikan anggaran Rp 1,25 miliar untuk membangun sarana dan prasarana serta produk lokal.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengembangkan 22 desa menjadi destinasi unggulan wisata berbasis kearifan lokal. Setiap desa dialokasikan anggaran Rp 1,25 miliar untuk membangun sarana dan prasarana, kuliner lokal, serta UMKM.
Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parek) Nusa Tenggara Timur, Adelina Erni di Kupang, Selasa (28/1/2020) mengatakan, sesuai Pergub NTT Nomor 217 Tahun 2019, ditetapkan 22 desa unggulan destinasi wisata. Sebanyak 22 desa ini akan dibangun selama tiga tahun.
“Tahun 2019 akan dibangun tujuh desa destinasi unggulan terlebih dahulu. Pemprov mengalokasikan anggaran dari APBD senilai Rp 8,75 miliar, dengan rincian satu desa mendapatkan anggaran Rp 1,25 miliar. Dana ini langsung masuk ke rekening organisasi kemasyarakatan di desa itu seperti kelompok sadar wisata,” kata Adelina.
Tujuh desa yang dibangun pada periode 2019-2020 itu, yakni Pantai Liman di Pulau Semau Kabupaten Kupang, Mulut Seribu di Rote Ndao, Moru-Wolwal di Alor, Lamalera di Lembata, Koanara di Ende, Karera-Pramadita di Sumba Timur, dan Mutis-Fatumnasi di Timor Tengah Selatan. Tujuh desa ini sedang gencar membangun sejumlah fasilitas pendukung.
Prioritas pembangunan, yakni rumah inap. Setiap desa diharapkan setidaknya membangun tiga unit rumah inap berkonsep cottage dengan arsitek rumah adat setempat. Bentuk bangunan berupa rumah “lopo”, kerucut, dengan atap rumput ilalang, ijuk, dan lontar dengan dinding sesuai kondisi daerah setempat.
Khusus di Lamalera tidak dibangun cottage. Pasalnya, di Lamalera sejak 1985, masyarakat setempat telah menyediakan rumah mereka sebagai tempat penginapan. Saat itu sejumlah peneliti paus dan pemerhati masalah perburuan paus secara tradisional, dari beberapa negara datang ke Lamalera. Mereka ingin menyaksikan langsung prosesi perburuan dan penangkapan paus secara tradisional.
Pembangunan sarana dan prasarana lain yaitu toilet dengan air bersih, pedestrian, jaringan Wi-Fi, sepeda dayung, kuliner lokal, serta usaha mikro kecil dan menengah dengan bahan baku lokal. Kios cenderamata juga disiapkan di desa itu untuk menjual hasil kerajinan warga. Cenderamata yang dipilih benar-benar unik, menarik, variatif, dan berkualitas.
Menurut Adelina, organisasi kemasyarakatan seperti pokdarwis yang mengelola desa unggulan wisata ini nantinya diharapkan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes setempat. Mereka secara khusus diharapkan mengelola UMKM setempat seperti tenun ikat, madu, alat musik sasando mini, manik-manik, aksesoris dari tulang paus, kulit penyu, akar bahar, topi tiilangga, dan kopi lokal.
Menurut Adelina, pengembangan desa wisata akan melibatkan tim teknis dan pengkajian dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Selain itu, sektor lain dilibatkan seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Pertanian dan Perkebunan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan.
Perilaku masyarakat dalam menyambut wisatawan pun akan dilatih, seperti sopan santun, senyum, dan ramah tamah terhadap setiap tamu yang berkunjung. Hal-hal kecil yang menjadi kebiasaan buruk juga akan dilarang, misalnya anak-anak muda tidak boleh nongkrong di jalan dan mabuk-mabukan. Adapun ternak atau hewan peliharaan harus dikandangkan sehingga tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan pengunjung.
Ternak atau hewan peliharaan harus dikandangkan sehingga tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan pengunjung.
Adelina mengatakan, beberapa desa destinasi unggulan telah mengirim 4-5 anak muda untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama 3-4 bulan. Mereka juga belajar mengelola pariwisata di daerah wisata yang sudah maju dengan biaya dari Pemprov NTT.
Salah satu desa destinasi unggulan yang sudah mulai berkembang, yakni Mulut Seribu. Desa ini sebelumnya tidak dikenal sama sekali oleh orang luar. Setelah Pemprov menyelenggarakan Festival Mulut 1.000, 26 Oktober 2019, pengunjung mulai ramai berkunjung.
Setiap hari, 50-150 orang mengunjungi Mulut Seribu. Mereka menyewa perahu motor milik nelayan setempat dengan tarif Rp 100.000–Rp 2000.000 per perahu untuk berkeliling melihat dan menikmati keindahan pemandangan bawah laut, pantai, dan pesisir yang indah.
“Ekonomi warga setempat mulai berkembang. Mereka bisa menjual kain tenun ikat, topi tiilangga, dan alat musik sasando mini. Pengunjung juga menikmati pentas tari dan musik lokal, dan menikmati kuliner setempat,” kata Adelina.
Ekonomi warga setempat mulai berkembang. Mereka bisa menjual kain tenun ikat, topi tiilangga, dan alat musik sasando mini. (Adelina)
Sementara itu, Rafael Beding (35) pemilik homestay di Lamalera, Lembata mengatakan, sebelum adanya kebijakan destinasi unggulan itu, Lamalera telah membangun pariwisata secara alamiah. Kehidupan masyarakat Lamalera yang bergantung dari perburuan paus, menjadi daya tarik tersendiri berbagai kalangan dari dalam maupun luar negeri.
“Sejak tahun 1970-an, rumah-rumah warga di sini menerima pengunjung dari dalam dan luar negeri yang ingin menyaksikan prosesi penangkapan atau perburuan paus. Saat itu masyarakat menampung dan menjamu makan dan minum para pengunjung tanpa biaya sama sekali,” katanya.
Namun, sejak 1990-an, masyarakat mulai memanfaatkan kamar rumah untuk disewakan dengan harga bervariasi, Rp 100.000–Rp 300.000 per malam per orang. Harga tersebut termasuk tiga kali makan dan minum per hari. Saat ini ada sekitar lima unit homestay yang disiapkan warga.
Oleh karena itu, dana pengembangan destinasi unggulan untuk Lamalera lebih banyak digunakan untuk pembangunan pedestrian, UMKM, dan kuliner lokal, air bersih, tenun ikat, dan jaringan Wi-Fi.
Kepala Bidang Destinasi dan Promosi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Eden Klakik mengatakan, pembangunan tujuh desa wisata unggulan ini akan selesai Juni 2020. Setelah itu, Juli 2020 sampai dengan Juni 2021 akan dilanjutkan dengan tujuh desa destinasi unggulan baru, disusul delapan desa berikutnya pada periode 2021-2022.
Tujuh desa yang akan dikelola Juli 2020–Juni 2021, yakni Ile Boleng-Mekko di Flores Timur, Bola-Umat Ata di Sikka, Rest Area di Sumba Tengah, Waikelo Sawah di Sumba Barat Daya, Motaain di Belu, Kellaba Maja di Sabu Raijua, dan Desa Riung di Ngada.
Selanjutnya, 2021-2022 dilanjutkan dengan delapan desa baru, yakni Anakoli di Nagekeo, Ina Mbele di Manggarai, Sanonggoang di Manggarai Barat, Rana Mese di Manggarai Timur, Wee Liang di Sumba Barat, Insana di Timor Tengah Utara, Motadikin di Malaka, dan Lasiana di Kota Kupang.