PT Krakatau Steel Tbk telah tuntas merestrukturisasi utang dalam upaya penyehatan kinerja keuangan dengan mulai fokus pada peningkatan kinerja operasional.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Krakatau Steel (Persero) Tbk telah tuntas merestrukturisasi utang dalam upaya penyehatan kinerja keuangan. Perusahaan pelat merah dengan bisnis utama pengolahan baja itu mulai fokus pada peningkatan kinerja operasional, dengan melakukan efisiensi bisnis dan mendorong penyehatan investasi industri baja nasional.
Rencana itu disampaikan Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam acara Krakatau Steel Public Expose 2020 di kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jakarta, Selasa (28/1/2020). Acara dihadiri antara lain Komisaris Utama Krakatau Steel I Gusti Putu Suryawirawan, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Wakil Menteri I BUMN Budi Gunadi Sadikin.
Silmy mengumumkan, pada 12 Januari 2020 Krakatau Steel telah menyelesaikan restrukturisasi utang jangka panjang senilai 2 miliar dollar AS atau setara Rp 31 triliun. Restrukturisasi yang dimulai 20 Desember 2018 itu melibatkan 10 bank, terdiri dari bank nasional serta swasta nasional dan asing.
Ke-10 bank tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, Bank Rakyat Indonesia Tbk, dan PT Bank ICBC Indonesia. Kemudian, ada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank DBS Indonesia, dan PT Bank OCBC NISP Tbk.
Upaya negosiasi beban bunga dan kewajiban pembayaran pokok pinjaman membuat total beban bunga selama sembilan tahun dapat diturunkan dari 847 juta dollar AS menjadi 466 juta dollar AS. Secara keseluruhan, aksi itu membuat perusahaan mampu menghemat 685 juta dollar AS dari 2019 sampai 2027.
”Kemudian, dalam hal operasional, kami mengambil inisiatif untuk menghemat 163 juta dollar AS. Kalau dibandingkan dengan tahun 2018, biaya operasional kita 33 juta dollar AS per bulan, di Januari ini bisa turun sampai 19 juta dollar AS. Ini menjadi basis langkah Krakatau Steel ke depan,” tutur Silmy.
Upaya penghematan biaya operasional perusahaan dalam rangka mendukung kinerja keuangan akan dilakukan dengan berbagai cara. Contohnya, penghematan penggunaan listrik dan gas serta optimalisasi logistik.
Perseroan juga membuka peluang sempalan (spin-off) pada beberapa divisi untuk menghasilkan penghematan. Silmy mencontohkan, divisi water treatment yang bisa dibentuk menjadi unit agar bisa melayani industri lain sehingga menghasilkan tambahan pendapatan.
Selain itu, Krakatau Steel juga mendorong pemerintah agar memperbaiki kebijakan regulasi impor baja. Pasalnya, impor baja menyumbang defisit neraca perdagangan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2018 besi dan baja tercatat menjadi komoditas impor terbesar ketiga, yaitu sebesar 6,45 persen dari total importasi dengan nilai 10,25 miliar dollar AS.
Volume impor baja pada 2018 mencapai angka 6,3 juta ton, naik sebesar 6,7 persen bandingkan dengan tahun sebelumnya. Sampai dengan September 2019, importasi besi dan baja telah mencapai 5 juta ton dan diestimasikan meningkat 7,5 persen dari total impor tahun 2018, yaitu sampai 6,7 juta ton.
Silmy mengatakan, tingginya volume impor baja disebabkan banyaknya pelaku impor yang memanfaatkan celah untuk menghindari biaya masuk (anti-dumping). Selain itu, didukung banyak negara yang melakukan pemotongan pajak ekspor (tax rebate) sehingga harga baja dari luar bisa rendah.
Hal itu pun disayangkan karena anak usaha Krakatau Steel, Krakatau Posco, perusahaan baja yang diklaim paling efisien di dunia, kalah dengan produk baja impor. Produk impor itu, menurut dia, menyaingi produk unggul Krakatau Steel, yaitu baja gulung atau pelat. Permintaan produk yang banyak dipakai untuk keperluan konstruksi, rumah tangga, dan otomotif itu selalu naik 5 persen setiap tahun.
Kita bisa lihat Jerman, Jepang, Korea Selatan, AS, sampai China maju karena industri baja mereka sangat unggul. Jadi, kita perlu berupaya membuat industri baja sehat, dengan adanya playing field yang fair.
”Untuk itu, Krakatau Steel telah memberikan masukan kepada wakil menteri (BUMN) agar ada langkah-langkah yang bisa membuat pasar dan industri baja sehat. Kita bisa lihat Jerman, Jepang, Korea Selatan, AS, sampai China maju karena industri baja mereka sangat unggul. Jadi, kita perlu berupaya membuat industri baja sehat, dengan adanya playing field yang fair,” ujarnya.
Bisnis berkelanjutan
Menteri BUMN Erick Thohir pada kesempatan itu pun berpesan agar Krakatau Steel fokus melakukan restrukturisasi operasional dan menjalani bisnis yang berkelanjutan. Upaya itu perlu dilakukan dengan menerapkan inovasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak.
”Kalau sudah restrukturisasi, maka operasionalnya mesti benar. Jangan nanti ada masalah lagi saat ganti menteri. Intinya, harus ada kontinuitas. Apakah salah satu idenya tadi jadi perusahaan investasi yang fokus di baja, toh, expertise-nya ada, seperti Posco, dan sebagainya,” ujar Erick.
Seakan menjawab tantangan itu, anak usaha Krakatau Steel, Krakatau Posco, akan menjajaki kerja sama dengan perusahaan asal Korea Selatan, Lotte Chemical. Kerja sama itu menjadi upaya restrukturisasi bisnis ke depan.
”Karena tuntutan ke depan setelah utang terstruktur adalah memastikan sustainability (keberlanjutan). Jangan sampai kemudian ada muncul restrukturisasi-restrukturisasi baru sehingga membuat kesannya tidak sesuai,” kata Silmy.