1,5 Tahun Berselang, Sebagian Warga Lombok Masih Trauma
›
1,5 Tahun Berselang, Sebagian ...
Iklan
1,5 Tahun Berselang, Sebagian Warga Lombok Masih Trauma
Selang 1,5 tahun pascagempa bumi yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagian besar penyintas telah kembali dan menetap di hunian tetap masing-masing. Kendati demikian, sebagian di antara mereka masih trauma.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·6 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Selang 1,5 tahun pascagempa bumi yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagian besar penyintas telah kembali dan menetap di hunian tetap masing-masing. Mereka juga telah kembali beraktivitas seperti biasa. Hanya saja, terbatasnya pengetahuan dan pengalaman tentang bencana, membuat mereka masih dilanda kekhawatiran akan bencana serupa di waktu mendatang.
Meski telah kembali ke rumah dan beraktivitas seperti biasa, para penyintas mengaku belum sepenuhnya bisa menghilangkan trauma atas gempa yang melanda Lombok. Apalagi dampaknya begitu terasa. Bahkan, meski sudah tinggal di RTG, kekhawatiran terhadap terjadinya gempa serupa.
“Dua hari lalu, gempa mengguncang Lombok Utara. Cukup terasa. Saya yang sedang berada di rumah yang sudah termasuk tahan gempa, juga langsung berlari keluar,” kata Samilah (47), warga Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara.
Hal serupa juga dirasakan Zuhriah (70), warga Karang Montong, Desa Pemenang Timur. Meski rumahnya telah jadi dan bisa ditempati, Zuhriah memilih untuk tetap tinggal di hunian sementara yang berdinding bedek. Baginya, itu dirasa aman dibandingkan hunian tetap yang dibangun pemerintah untuknya.
Menurut Zuhriah yang saat gempa lalu mengalami luka berat pada kaki sehingga harus menggunakan tongkat, ia juga tidak lagi berani ke musholla di depan rumahnya. Semua aktivitas, termasuk ibadah saat ini ia lakukan di hunian sementara miliknya.
Halid (44), anak Zuhriah mengatakan, ketakutan orang tuanya beralasan. Meski memiliki pengalaman gempa pada 1979 dan gempa 2018, itu tidak cukup membuat orang tuanya siap. Apalagi pada saat yang sama, mereka tidak punya pengetahuan yang cukup tentang kerawanan tempat tinggal baik terhadap gempa maupun Tsunami.
“Memang gempa kemarin jadi pembelajaran. Tetapi itu tidak cukup. Sosialisasi, pelatihan-pelatihan, juga jarang kami dapatkan. Padahal kami tinggal di kawasan pesisir yang sangat takut dengan Tsunami,” kata Halid.
Terbatasnya pengetahuan tentang kerawanan wilayah tempat tinggalnya juga membuat Samilah berhenti berjualan di Pelabuhan Bangsal, pelabuhan penyeberangan menuju kawasan Gili. Seharusnya, kata Samilah, ada kejelasan dari pemerintah atau pihak terkait apakah kawasan tersebut termasuk rawan atau tidak sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran, bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari.
“Sejauh ini, tidak ada info terkait itu. Padahal kan penting. Apalagi kami yang beraktivitas di kawasan pesisir juga tidak pernah mendapatkan pelatihan atau simulasi,” kata Samilah.
Dalam kondisi seperti itu, para penyintas juga mengaku tidak bisa pindah ke daerah yang lebih tinggi atau jauh dari pesisir. Menurut Halid (44), tidak gampang. Prosesnya panjang.
Hal serupa juga disampaikan Sekretaris Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Marwan. Menurut dia, masyarakat tidak bisa dipaksa untuk pindah karena tidak memiliki lahan. Jika harus membeli, mereka tidak memiliki anggaran yang cukup. “Di sisi lain, kehidupan sosial juga sudah terbentuk. Apalagi sebagian besar menggantungkan hidup dari kawasan pesisir,” kata Marwan.
Menurut Halid, dalam kondisi itu, yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyiapkan masyarakat. Peningkatan kapasitas harus dilakukan dengan menggiatkan sosialisasi, pelatihan, simulasi, atau kegiatan terkait mitigasi bencana lainnya.
“Tempat evakuasi sementara juga harus disiapkan. Memang di sini ada, tetapi lokasinya tidak sesuai. Tempat evakuasi itu juga saat ini rusak karena gempa kemarin dan belum diperbaiki,” kata Halid.
Marwan sependapat jika peningkatan kapasitas masyarakat penting. Oleh karena itu, pemerintah desa juga didorong untuk melakukan hal itu. Di Malaka, kata Marwan, kegiatan mitigasi bencana mulai mereka lakukan. Tahun lalu misalnya, mreeka menggelar simulasi bekejrasama dengan BPBD provinsi dan kabupaten. Termasuk meminta mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk membuat program terkait kebencanaan.
Menurut Marwan, pemerintah desa sudah mendapat sosialisasi jika 12 dusun di Desa Malaka dengan jumlah warga sekitar 9.000 orang berada di zona rawan bencana. Hanya saja, ia mengakui belum mensosialisasikan itu kepada masyarakat.
“Secara bertahap akan kami lakukan sosialisasi terkait itu. Sejalan dengan itu, kami juga akan menyelesaikan pekerjaan rumah kami membuat pemetaan hingga pembuatan jalur evakuasi,” kata Marwan.
Marwan mengatakan, gempa 2018 membuat 21 warga Desa Malaka meninggal. Ia mengatakan tidak berharap kejadian serupa terulang. “Jika memang tidak bisa dipindah ke tempat yang lebih aman, maka mereka harus kami siapkan,” kata Marwan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, gempa bermagnitudo 6,4 yang terjadi pada 29 Juli 2019 mengakibatkan 20 orang meninggal dengan kerusakan bangunanan hingga 10 ribu unit. Sementara gempa bermagnitudo 7 yang mengguncang Lombok pada 5 Agustus 2018 mengakibatkan 564 orang meninggal (dua di antaranya di Bali dan tujuh di Pulau Sumbawa).
Sementara untuk kerusakan, menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat (NTB) per 27 Januari 2019, rumah yang rusak dan menjadi target pemulihan mencapai 226.137. Itu terdiri dari 74.707 rumah rusak berat, 36.312 rusak sedang, dan 115.185 rusak ringan.
Saat ini, dari seluruh rumah rusak, sebanyak 145.396 unit sudah selesai dibangun. Sebanyak 47.680 unit masih dalam proses, dan sisanya belum dikerjakan. Saat ini, Seluruh rumah ditargetkan bisa selesai hingga berakhirnya masa rehabilitasi dan rekonstruksi yang diperpanjang hingga Maret 2020.
Pantauan Kompas, hunian tetap dari pemerintah dibangun di atas atau tak jauh dari lokasi rumah penyintas yang rusak. Rumah-rumah yang dibangun merupakan rumah tahan gempa (RTG) dengan berbagai tipe. Menurut BPBD NTB, setidaknya ada 18 jenis RTG yang bisa dipilih penyintas.
Para penyintas juga sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Baik bidang pertanian, perdagangan, jasa, dan lainnya. Sektor pariwisata yang menjadi andalan sejumlah wilayah seperti di Lombok Barat dan Lombok Utara juga sudah kembali menggeliat seperti semula.
Industri pariwisata
Kawasan pesisir Lombok selain menjadi tempat tinggal warga, juga merupakan pusat industri pariwisata. Baik di pesisir Lombok, maupun juga pulau-pulau kecil seperti Gili. Hotel-hotel dan aktivitas pariwisata berada di sana.
Gempa 2018 termasuk berdampak besar pada industri pariwisata di Lombok. Tidak hanya merusak infrastruktur pariwisata, tetapi juga mengurangi kunjungan.
Belakangan, selain membenahi infrastruktur yang ramah gempa, para pelaku industri pariwisata juga mulai meyakinkan wisatawan dengan menyiapkan standar operasional prosedur menghadapi bencana.
Sales Marketing Manager Hotel Vila Ombak, Gili Trawangan Lalu Jaufirrahman mereka telah mengetahui prosedur evakuasi ketika terjadi bencana. Itu tidak hanya disampaikan kepada seluruh karyawan, tetapi juga setiap tamu yang datang.
“Kami sudah mengetahui jalur evakuasi dan secepat mungkin mengarahkan tamu kesana ketika terjadi bencana seperti gempabumi,” kata Jaufirrahman.
Jaufirrahman menambahkan, tidak ada yang tahun kapan bencana terjadi. Oleh karena itu, mereka juga telah melakukan mitigasi internal untuk seluruh staf. Itu menyangkut standar operasional prosedur ketika terjadi bencana yakni apa yang harus dilakukan, siapa melakukan apa, dan lainnya.
Selain itu, kata Jaufirrahman, antisipasi lain adalah dengan menyiapkan bangunan ramah gempa. Kejadian gempa 2018, membuat banyak atap dari genteng jatuh. Oleh karena itu, agar tidak berbahaya bagi tamu seandainya terjadi gempa, mengganti dengan bahan yang lebih ringan.
Hal serupa juga dilakukan Sheraton Senggigi Beach Resort, Lombok Barat. Director of Sales and Marketing Sheraton Senggigi Yunartha Adiwijaya mengatakan, mereka saat ini telah memiliki emergency respon plan atau rencana tanggap darurat. “Masing-masing kepala departemen punya tugas dan tanggung jawab dalam keadaan darurat (seperti bencana gempa dan Tsunami),” kata Yunartha.