DPR Minta Pemerintah Perhatikan Kasus Pekerja Migran Indonesia di Thailand
›
DPR Minta Pemerintah...
Iklan
DPR Minta Pemerintah Perhatikan Kasus Pekerja Migran Indonesia di Thailand
Sudah satu tahun lebih saya ditahan di Ranong, padahal seluruh dokumen kargo resmi dan lengkap. Saya berharap Bapak Presiden Jokowi dapat membantu.
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi IX DPR meminta pemerintah lebih serius memperhatikan nasib pekerja migran Indonesia yang tersandung masalah hukum di luar negeri. Pendampingan terhadap mereka yang menghadapi berbagai persoalan di luar negeri sangat dibutuhkan, termasuk kasus hukum yang menimpa Captain Sugeng Wahyono di Thailand.
Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh menyampaikan hal itu kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/1/2020). Komisi IX membidangi, antara lain, ketenagakerjaan dan kesehatan.
”Setelah kemarin diramaikan dengan virus korona, Komisi IX meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri, termasuk kasus yang menimpa Captain Sugeng Wahyono di Ranong, Thailand,” ujarnya.
Sugeng merupakan nakhoda kapal MT Celosia, kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan PT Brotojoyo Maritime. Saat ini dia menunggu proses persidangan dan mengharapkan perhatian Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terhadap kasusnya.
Sebagai tahanan kota, Sugeng tak bisa keluar dari batas wilayah yang ditetapkan. Paspornya disita, dan tak diizinkan meninggalkan Thailand. Bahkan, Sugeng tak diizinkan melayat ayahnya yang meninggal pada September lalu. Rencana menunaikan ibadah umrah tahun 2019 juga gagal.
Persoalannya bermula ketika kapal yang dia nakhodai membawa muatan minyak pelumas kiriman Petronas dari Malaka, Malaysia. Sesuai dokumen order, kapal merapat di Malaka dan memuat minyak pelumas untuk dikirim ke Schlumberger di Ranong, Thailand.
Kapal berlabuh di Ranong pada 9 Januari 2019 dan segera melakukan bongkar-muat. Pihak penerima mengirimkan 20 truk tangki ke pelabuhan untuk memindahkan muatan kapal.
Namun, tiba-tiba aparat Bea Cukai Ranong menuduh ada upaya penyelundupan atas keterlambatan dalam pemenuhan prosedur bea cukai atas impor muatan MT Celosia. Padahal, muatan itu dikirim Petronas dan dimiliki Schlumberger, yang bertanggung jawab untuk mengurus dokumen impor muatan tersebut.
Akibatnya, kapal berikut awak, dan mobil tangki yang melakukan bongkar-muat di pelabuhan, ditahan. Kapten kapal juga diamankan dan belakangan dijadikan tersangka, dan ditetapkan sebagai tahanan kota dengan jaminan dari perusahaan.
”Sudah satu tahun lebih saya ditahan di Ranong, padahal seluruh dokumen kargo resmi dan lengkap. Saya berharap Bapak Presiden Jokowi dapat membantu,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Meski Sugeng menjadi tahanan kota di Ranong, PT Brotojoyo Maritime tetap menanggung akomodasi Sugeng. Bahkan, perusahaan tetap membayar gaji Sugeng.
Perusahaan penting
Kasus yang dialami Sugeng cukup memprihatinkan. Dia berhak mendapatkan perlindungan negara sesuai amanat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam UU ini diatur tentang pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa fasilitas jasa advokat oleh pemerintah pusat dan/atau perwakilan Republik Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum negara setempat.
Berkait kasus ini, pengamat hubungan internasional Universitas Binus, Dinna Wisnu, di Jakarta, berpendapat, kasus ini mendapat perhatian besar di Thailand karena melibatkan perusahaan-perusahaan penting, yakni Petronas dan Schlumberger, dan pengadilan berjalan dalam bahasa Inggris sesuai pilihan Sugeng. Menurut Dinna, syahbandar setempat belum mengeluarkan izin meskipun permintaan sudah diajukan.
”Jadi, Thailand punya hak memproses secara hukum dan, meskipun ada pilihan penyelesaian hukum yang lebih cepat, Captain Sugeng menolak. Jadi ini konsekuensi dari proses hukum yang berlaku. Konsul Indonesia di Songkhla saya lihat sudah sesuai kepatutan Konvensi Internasional Vienna untuk urusan kekonsuleran,” ujar Dinna.