Penyebaran virus korona jenis baru diperkirakan dapat memukul perekonomian China yang tengah menyesuaikan diri akibat perang dagang. Produk domestik bruto negeri itu terancam turun lebih dalam.
Oleh
·5 menit baca
Penyebaran virus korona jenis baru diperkirakan dapat memukul perekonomian China yang tengah menyesuaikan diri akibat perang dagang. Produk domestik bruto negeri itu terancam turun lebih dalam.
BEIJING, SELASA —Harapan yang sempat melambung tinggi bagi perekonomian China pasca-penandatanganan kesepakatan tahap pertama dengan Amerika Serikat kini kembali meredup akibat merebaknya virus korona jenis baru. Konsumsi turun dan rantai pasokan yang terganggu dikhawatirkan kembali menyeret turun produk domestik bruto China, paling tidak pada tahun ini.
Ekonomi negara dengan perekonomian terbesar kedua sejagat itu semakin bergantung pada konsumsi. Namun, konsumsi yang menjadi andalan itu saat ini rawan terimbas langkah pencegahan penyebaran virus korona jenis baru. Virus ini hingga Selasa (28/1/2020) telah menewaskan 107 orang.
Analis di lembaga Standard & Poor’s (S&P) mengatakan sektor konsumsi menyumbang 3,5 poin persentase terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China pada 2019. Dengan kata lain dari 6,1 persen pertumbuhan ekonomi China pada 2019, sebesar 3,5 persen sumbangan dari konsumsi dan non-konsumsi 2,6 persen.
Merebaknya penyebaran virus korona jenis baru itu terjadi di tengah pergerakan warga menjelang perayaan Imlek. Untuk mencegah penyebaran virus itu, Pemerintah China membatasi aktivitas warga. Bioskop-bioskop kosong, perjalanan kereta api berkecepatan tinggi dibatalkan, dan lokasi-lokasi wisata ditutup.
Kementerian Transportasi China melaporkan volume kereta api dan lalu lintas udara pada hari pertama Imlek turun lebih dari 40 persen dibandingkan waktu yang sama tahun lalu. Lebih dari 2.000 kereta api berkecepatan tinggi—moda transportasi yang populer di negara itu—telah ditangguhkan selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Sektor lain yang sejatinya tumbuh, yakni industri film, juga terpukul. Pendapatan penjualan tiket (box office) China pada malam Imlek tahun ini diperkirakan anjlok menjadi hanya sepersepuluh dibandingkan tahun lalu. Warga memilih menjauhi kerumunan, termasuk bioskop. Tujuh film terbaru yang sedianya dirilis selama masa liburan Imlek pun dibatalkan.
Julian Evans-Pritchard, salah satu analis dari Capital Economics, mengatakan bahwa dapat dipastikan, penyebaran virus korona jenis baru merupakan pukulan baru bagi perekonomian China. Diingatkan, efek lebih lanjut dari pukulan terhadap sektor transportasi dan konsumsi dapat terjadi, menyebar ke industri makanan dan barang-barang eceran.
Pemerintah China memperpanjang masa liburan Imlek. Keputusan itu bisa berefek negatif juga bagi perekonomian karena berarti waktu pulihnya aktivitas perekonomian bakal lebih lama lagi.
Sejumlah perusahaan di China memerintahkan karyawannya untuk bekerja dari rumah. Kebijakan itu antara lain diambil perusahaan raksasa teknologi Tencent. Karyawan perusahaan itu diperintahkan bekerja di rumah hingga 10 Februari, dua pekan pasca-perayaan Imlek.
Jaringan restoran populer di China, Haidilao, akan menutup semua restorannya di China hingga akhir bulan ini. Pemerintah China, seperti diberitakan, telah membatalkan tur wisata untuk wisata domestik ataupun internasional. Pilihan- pilihan itu merupakan langkah yang dapat berdampak serius bagi sektor pariwisata.
Padahal, sektor itu penting bagi China mengingat industri tersebut menopang sekitar 11 persen dari total PDB negara itu. Nilai PDB China untuk tahun 2019 diperkirakan mencapai 25,27 triliun dollar AS.
Efek bagi industri
Di luar konsumsi dan transportasi, pembatasan aneka aktivitas bisa berdampak jangka panjang bagi industri di China. Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, adalah pusat produksi utama bagi 11 juta orang yang memproduksi baja dan mobil. Kota itu berada dalam status karantina tanpa batas waktu sejak Kamis (23/1).
”Wuhan adalah pusat penting dan pusat manufaktur di China tengah. Jika karantina ini berlanjut hingga setelah liburan Imlek, hal itu dapat berpengaruh pada produksi industri, salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi utama,” kata Raymond Yeung, Kepala Ekonom China pada lembaga ANZ Research.
Menurut S&P, Wuhan menyumbang sekitar 1,6 persen dari PDB China. Merujuk data Kamar Dagang dan Industri Jepang di Wuhan, sekitar 160 perusahaan Jepang memiliki kantor di kota itu. Sejumlah perusahaan otomotif global, termasuk General Motors dan Renault, juga memproduksi kendaraan di kota itu melalui usaha patungan dengan perusahaan China.
Nilai produksi industri mobil dan suku cadang di Wuhan adalah sekitar 400 miliar yuan (57 miliar dollar AS) per tahun, menurut sebuah laporan di harian Changliang. Kota itu telah memproduksi sekitar 1,7 juta kendaraan pada 2018.
”Rantai pasokan yang rumit dan produksi tepat waktu dapat berarti bahwa penangguhan produksi di pabrik-pabrik di Wuhan memiliki efek turunan yang lebih luas,” demikian S&P memperingatkan dalam sebuah catatan penelitian terbarunya.
Penyebaran virus korona jenis baru kali ini mau tidak mau mengingatkan para pihak pada kejadian serupa, yakni epidemi sindrom pernapasan akut parah (SARS) tahun 2002-2003. Akibat SARS saat itu, sekitar 650 orang di daratan China dan Hong Kong tewas. Kerugian ekonomi yang ditimbulkannya juga cukup besar.
Evans-Pritchard memperingatkan, virus korona jenis baru ini menghadapi penyebaran yang lebih luas dan lebih cepat daripada SARS. Selain pola konsumsi yang berkembang, aktivitas perjalanan ke luar negeri warga China juga melonjak pesat. Perjalanan warga China ke luar negeri saat ini sepuluh kali lipat dibandingkan saat epidemi SARS. Lalu lintas penumpang pesawat dari dan ke China pun meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam 17 tahun terakhir.
Di luar risiko penularan, sejumlah negara di Asia pun semakin khawatir dengan efek negatif bagi ekonomi. Thailand, misalnya, memperkirakan jumlah turis China tahun ini akan turun 2 juta menjadi 9 juta orang. Bangkok mencari alternatif solusi atas kekhawatiran tersebut. (AFP/REUTERS/BEN)