Sastra sebagai ekspresi kebudayaan harus mampu disampaikan dengan cara-cara yang bisa ditangkap oleh zaman. Maka dari itu, sastra semestinya hidup dan dekat dengan masyarakat.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan sastra harus hadir sebagai refleksi sebuah zaman. Oleh karena itu, pembaruan dalam karya-karya sastra adalah hal mutlak.
Karena menjadi salah satu bentuk refleksi, maka sastra sebagai ekspresi kebudayaan harus mampu disampaikan dengan cara-cara yang bisa ditangkap oleh zaman. Maka dari itu, sastra semestinya hidup dan dekat dengan masyarakat.
Semangat inilah yang akan diangkat Komunitas Seni dan Budaya SANG Indonesia dalam Panggung Sastra Pertunjukan dan Bincang Karya bertajuk “Kejujuran dalam Air Kata-kata” di Taman Yakopan Omah Petroek, Sleman, Sabtu (1/2/2020).
“Kami berupaya menempatkan sastra bukan hanya sebagai sebuah jalan untuk berekspresi bebas tanpa visi kebudayaan apa pun. Sastra akan menjadi sebuah pergerakan sosial andai mampu mengungkap kondisi masyarakat dan menyampaikan gagasan yang bisa membangun kebudayaan masyarakat yang utuh,” kata Muhammad Shodiq Sudarti, sutradara pertunjukan ini, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Panggung Sastra Pertunjukan dan Bincang Karya “Kejujuran dalam Air Kata-kata” akan menampilkan sejumlah seniman dari Yogyakarta. Mereka terdiri dari aktor teater, musisi, penari, sastrawan, hingga wartawan. Beberapa seniman yang ikut ambil bagian dalam kegiatan ini antara lain Paknyang Kutai, Guntur Nur Puspito, Asita Kaladewa, Kinanti Sekar, Khocil Birawa, Kidjing and The Black Mamba, dan Mathori Briliyan.
Sastra alternatif
Pertunjukan ini berangkat dari dua buku antologi puisi dan seni rupa yang disusun dan ditulis oleh Sindhunata, berjudul Air Kata-kata dan Air Kejujuran terbitan Gramedia Pustaka Utama (2019). Puisi-puisi Sindhunata tersebut kemudian dialihwahanakan ke dalam berbagai bentuk seni pertunjukkan.
“Kami ingin menampilkan bentuk-bentuk pertunjukkan sastra alternatif melalui pertunjukan monolog, tari, musik, karya audio visual, pantomim, dan aneka macam kolaborasi," kata Shodiq.
Rangkaian pertunjukkan tersebut membuktikan bahwa sastra mampu menjadi titik pertemuan dengan kesenian-kesenian lain. Ini akan memberi alternatif dalam mengembangkan sastra di kalangan masyarakat.
Sebelum pertunjukkan, di Taman Yakopan akan digelar acara Bincang Karya menghadirkan Sindhunata serta beberapa seniman dan sastrawan. Acara dialog ini menjadi wahana untuk bertukar gagasan dan memantik daya kritis masyarakat terhadap karya sastra dan konsep perkembangan karya sastra melalui seni pertunjukan.
Acara dialog ini menjadi wahana untuk bertukar gagasan dan memantik daya kritis masyarakat terhadap karya sastra dan konsep perkembangan karya sastra melalui seni pertunjukan.
Wartawan senior Thomas Pudjo W mengatakan, dua buku karya Sindhunata tersebut merefleksikan perjalanan Sindhunata sejak 1980-an hingga kini. “Puisi-puisi Sindhunata tidak berbicara tentang orang-orang besar, tapi berbicara tentang masyarakat kecil. Ia menulis tentang kisah kehidupan orang-orang yang tetap berani untuk hidup dan berani untuk memilih dengan segala risikonya,” kata dia.
Mengalir seperti air
Membaca puisi-puisi Sindhunata ibarat membaca kehidupan. Syair-syairnya seperti ficer dalam surat kabar, mengalir seperti air.
Tahun 1982 Sindhunata bersama dengan wartawan harian Kompas lainnya menginiasiasi berdirinya Bentara Budaya di Yogyakarta. Kehadiran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dengan semangatnya untuk menjadi ruang bagi seni yang terpinggirkan, mulai saat itu BBY menjadi tempat titik pijak berkembangnya seni pinggiran.
Orang tidak akan membayangkan payung juwiring, wayang suket, atau tenun troso akan dipamerkan serta dikenal banyak orang. Dari BBY, mereka yang terpinggirkan memiliki suara untuk tampil, untuk menyatakan pada publik bahwa mereka merupakan kekayaan-kekayaan yang terlupakan, dan sudah saatnya untuk menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat luas.
BBY juga memanggungkan seniman-seniman yang berada di luar lingkaran elite seniman Indonesia. Karena itulah di sana muncul nama-nama seperti Martopangrawit, Gondodarman, Mbah Gepuk, hingga Bu Dewi penari topeng. Dari seniman-seniman bersahaja inilah, Sindhunata merefleksikan semangat-semangat kehidupan pantang menyerah dari wong-wong cilik yang kemudian muncul dalam puisi-puisinya.