"Kampus Merdeka" Harus Diikuti Kesiapan Kalangan Industri
›
"Kampus Merdeka" Harus Diikuti...
Iklan
"Kampus Merdeka" Harus Diikuti Kesiapan Kalangan Industri
Kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong perguruan tinggi berkolaborasi dengan swasta perlu diikuti pula dengan kesiapan kalangan industri. Pemerintah perlu menjembatani kerja sama ini.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
Kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong perguruan tinggi berkolaborasi dengan swasta perlu diikuti pula dengan kesiapan kalangan industri. Pemerintah perlu menjembatani kerja sama ini.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong proses pemelajaran di perguruan tinggi semakin otonom dan fleksibel mendapat apresiasi dari kalangan perguruan tinggi swasta. Meski demikian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus mensinergikan kebijakan ini dengan kementerian terkait agar terbangun kolaborasi yang baik antara perguruan tinggi dengan kalangan industri.
Salah satu kebijakan, yaitu pemberian otonomi bagi perguruan tinggi untuk membuka program studi (prodi) baru, mensyaratkan ada kerja sama dengan mitra prodi, bisa perusahaan, perusahaan nirlaba, institusi multilateral, atau universitas top 100 ranking QS. Kerja sama ini untuk pembuatan kurikulum, menyediakan praktik kerja (magang), dan penyerapan lapangan kerja (penempatan kerja setelah lulus).
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M Budi Djatmiko mengatakan, secara teori kebijakan tersebut bagus, namun dalam praktiknya belum tentu mudah. Ada sejumlah hal yang dapat menghambat peluang kerja sama, misalnya perbedaan yang mencolok biaya studi per semester di kalangan perguruan tinggi swasta (PTS).
Secara teori kebijakan tersebut bagus, namun dalam praktiknya belum tentu mudah. Ada sejumlah hal yang dapat menghambat peluang kerja sama.
“Meskipun sifatnya sukarela, tapi kan tetap harus ada kesetaraan yang disepakati. Mungkin hanya perguruan tinggi dengan kemampuan finansial bagus saja yang bisa melakukan,” kata Budi di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Selain itu, Budi menyangsikan peluang magang mahasiswa PTS daerah di perusahaan multinasional. Terlebih, ada keterbatasan daya tampung industri. Dikhawatirkan, hanya mahasiswa yang mampu saja yang mendapatkan kesempatan tersebut, selebihnya akan terdepak.
“Saya khawatir jika dalam proses magang, mahasiswa dibebankan biaya dari perusahaan,” kata dia.
Karena itu, Budi berharap pemerintah menjembatani kerja sama antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Salah satunya dengan memberikan insentif kepada perusahaan. Jika tidak, perusahaan tidak akan tertarik.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Kemendikbud, Selasa malam, anggota Komisi X DPR Putra Nababan juga menanyakan komitmen perusahaan terkait kebijakan Kampus Merdeka ini. Rapat dipimpin Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dan dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berserta jajaran di Kemendikbud.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius J Supit mengakui selama ini mahasiswa magang masih dianggap beban oleh perusahaan.
Dorong kolaborasi
Menanggapi Budi, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengatakan, pemerintah terus mendorong kolaborasi antar perguruan tinggi di daerah. Pemerintah akan mendorong peran Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi untuk memfasilitasi kerja sama PTS dengan industri sehingga ikatannya lebih kuat.
Kemendikbud juga akan mendorong agar pihak swasta terus mendukung pemerintah dalam mengembangkan sumber daya manusia ke depan. “Mendorong kepada perusahaan agar memberikan hak kepada para mahasiswa magang. Hal ini sebagai investasi SDM bagi perusahaan,” ujar Nizam.
Dia mengatakan, para dekan-dekan teknik sudah mulai berkoordinasi. "Badan Kerja Sama Rektor PTN wilayah barat juga sudah berkoordinasi dengan perusahan-perusahaan ternama,” kata Nizam.
Secara terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia sekaligus Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, perguruan tinggi harus menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi lain untuk menjalankan kebijakan Kampus Merdeka. Demikian pula, perguruan tinggi didorong bekerja sama dengan lembaga, organisasi masyarakat atau perusahaan untuk mengatur skema kebijakan tersebut.
“Dengan begitu, mekanisme penugasan dan indikator penilaian bisa disusun secara jelas. Bukan seolah-olah perguruan tinggi yang butuh, tapi swasta juga,” kata Arif.
Terkait kebijakan yang membebaskan mahasiswa belajar tiga semester di luar prodi, perlu ada kerja sama antar perguruan tinggi. Menurut Arif, kerja sama yang dijalin hendaknya bukan hanya dalam hal pertukaran mahasiswa dengan perguruan tinggi luar negeri. Pengembangan program double degree dan joint degree dengan sesama perguruan tinggi di dalam negeri juga perlu didorong.
Pengembangan program double degree dan joint degree dengan sesama perguruan tinggi di dalam negeri juga perlu didorong.
“IPB University misalnya, saat ini tengah menjajaki kerja sama double degree untul prodi S2 Diplomasi Lingkungan,” kata Arif.
Hanya saja, jadwal akademik yang berbeda diantara perguruan tinggi, selama ini masih menjadi kendala. “Di IPB University misalnya perkuliahan dimulai 12 Agustus, di tempat lain dimulai 1 September. Di Jepang, kalender akademik dibuat seragam sehingga lebih mudah,” ujarnya.
Menurut Arif, semakin mahasiswa didukung mengasah kemampuan di dunia nyata, semakin kuat pula kompetensinya. Dengan catatan, harus ada dosen yang memantau perkembangan mahasiswa tersebut.
Dengan terjun ke masyarakat selama dua bulan saja, mahasiswa mendapatkan bekal kompetensi sosial yang mumpuni. Dengan kesempatan yang lebih lama, kemampuan mereka tentu jauh lebih baik dalam hal mengambil keputusan, berkolaborasi atau bernegosiasi dengan masyarakat.