Penguatan Partisipasi Indonesia Butuh Konsistensi Penerapan Kebijakan
›
Penguatan Partisipasi...
Iklan
Penguatan Partisipasi Indonesia Butuh Konsistensi Penerapan Kebijakan
Indonesia punya potensi besar untuk menguatkan partisipasinya dalam rantai nilai global. Salah satunya, jumlah tenaga kerja yang besar dan terjangkau. Kekuatan ini dapat melengkapi kebutuhan negara maju.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia menggolongkan Indonesia dalam industri manufaktur sederhana yang belum masuk rantai nilai global. Padahal, besar potensinya untuk menguatkan posisinya dalam rantai nilai global. Untuk itu, salah satu yang dibutuhkan adalah konsisten mengimplementasikan kebijakan.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, Indonesia harus konsisten mengimplementasikan reformasi kebijakan ekonomi untuk menguatkan partisipasi dalam rantai nilai global.
”Reformasi ini berpotensi tak memberikan perbedaan tajam terhadap peran Indonesia dalam global value chain (rantai nilai global) jika implementasinya di lapangan tidak sesuai dengan kebijakan tertulisnya,” katanya saat dihubungi, Rabu (29/1/2020).
Menurut Shinta, efisiensi, konektivitas, serta keterbukaan terhadap investasi asing dan perdagangan global menjadi kunci penguatan posisi Indonesia. Pelaku usaha dan industri mengharapkan investasi tersebut menjadi suntikan untuk mendongkrak penelitian dan pengembangan; inovasi barang, jasa, dan teknologi produksi; serta pengembangan sumber daya manusia.
Sementara itu, Peneliti dari Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai, rantai nilai global merupakan ajang kolaborasi antarnegara berkembang dan negara maju untuk meningkatkan daya saing industri dan menciptakan produk yang dapat memenuhi permintaan pasar.
”Indonesia memiliki kekuatan dari sisi tenaga kerja yang terjangkau dan sumber daya yang besar. Kekuatan ini dapat melengkapi kebutuhan negara maju yang menguasai teknologi untuk perindustrian yang lebih efisien,” katanya.
Atas dasar itu, Indonesia mempunyai peluang besar untuk menguatkan partisipasinya dalam rantai nilai global. Dalam penguatan tersebut, pengembangan industri kecil dan menengah nasional penting dinilai perlu diprioritaskan.
Bank Dunia merilis Laporan Pengembangan Dunia 2020 (World Development Report) bertajuk ”Trading for Development in the Age of Global Value Chains” di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (28/1/2020). Peluncuran itu turut dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Laporan itu menyebutkan, partisipasi dunia dalam rantai nilai global mencapai 50 persen pada saat ini. Selama 30 tahun terakhir, rantai nilai global telah membantu akselerasi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang tergolong miskin.
Peningkatan 1 persen partisipasi suatu negara dalam rantai nilai global berkorelasi positif dengan kenaikan pendapatan per kapita sebesar minimal 1 persen. Kenaikan tersebut berkisar dua kali lipat dari dampak pertumbuhan perdagangan konvensional terhadap pendapatan per kapita.
Bank Dunia menilai, rantai nilai global menciptakan lapangan kerja yang berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat semakin inklusif. Hal ini juga perlu disokong oleh kebijakan yang dapat diprediksi serta penerapan reformasi industri secara mendalam.
Akan tetapi, laporan Bank Dunia itu turut menyatakan, perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) berdampak negatif bagi perkembangan rantai nilai global. Dalam skenario terburuk, 30,7 juta orang akan terjun ke dalam kemiskinan dan pendapatan global akan turun sebesar 1,4 triliun dollar AS.
Saat ini, Bank Dunia menggolongkan Indonesia pada posisi kelompok manufaktur sederhana dalam rantai nilai global. Sepanjang 1990-2015, Indonesia bertransisi dari partisipasi dalam komoditas mentah menjadi manufaktur terbatas.
Hal ini berbeda dengan Vietnam yang telah memproduksi barang yang komponennya berasal dari rantai nilai global. Contohnya, sepeda listrik buatan Vietnam yang terdiri dari mesin buatan Jerman (setara dengan 27 persen terhadap total komponen), roda sepeda buatan China (21,2 persen), baterai buatan Taiwan (19 persen), dan ban karet buatan Indonesia (1,7 persen).
Melalui siaran pers, Airlangga mengatakan, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global dapat meningkat seiring dengan transformasi perekonomian nasional. Transformasi ekonomi itu berupa peningkatan daya saing, perubahan iklim investasi, dan percepatan pertumbuhan ekspor.
Salah satu strategi penguatan peran Indonesia dalam rantai nilai global, dia melanjutkan, dapat terwujud melalui penyederhanaan regulasi dengan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan.
Selain itu, perjanjian perdagangan dengan negara lain juga dapat menstimulus penguatan tersebut.