Presiden Jokowi mengakui, Indonesia mengalami obesitas regulasi yang menjebak diri sendiri pada keruwetan dan kompleksitas. Untuk itu, diperlukan cara kerja baru merespon dengan harmonisasi regulasi.
Oleh
Rini Kustiasih dan Nina Susilo
·4 menit baca
Presiden Jokowi mengakui, Indonesia mengalami obesitas regulasi yang menjebak diri sendiri pada keruwetan dan kompleksitas. Untuk itu, diperlukan cara kerja baru untuk mengatasi persaingan dan tantangan dengan harmonisasi regulasi.
JAKARTA, KOMPAS - Di tengah-tengah perubahan sangat cepat, tantangan yang semakin kompleks, dan persaingan ketat di dunia, Indonesia memerlukan cara-cara kerja baru lebih cepat dan efisien untuk merespons segala tantangan. Salah satunya melalui sinkronisasi dan harmonisasi regulasi melalui pembentukan undang-undang sapu jagat atau omnibus law.
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada acara Laporan Tahunan 2019 Mahkamah Konstitusi, Selasa (28/1/2020), di Jakarta, kembali menegaskan perlunya memangkas UU dan regulasi turunan UU lainnya yang jumlahnya saat ini sangat banyak. Jumlah regulasi yang banyak itu perlu disederhanakan sehingga pemerintah dan sektor-sektor lainnya bisa lebih cepat mengambil keputusan untuk merespons perubahan dunia yang sangat cepat.
”Selain memperbaiki UU, kita juga terus memangkas regulasi yang jumlahnya sangat banyak. Saya mendapat laporan, saat ini ada 8.451 peraturan pusat dan 15.895 peraturan daerah. Kita mengalami hiper-regulasi. Obesitas regulasi yang akhirnya membuat kita terjerat oleh aturan yang kita buat sendiri, terjebak keruwetan dan kompleksitas,” kata Presiden Jokowi.
”Selain memperbaiki UU, kita juga terus memangkas regulasi yang jumlahnya sangat banyak. Saya mendapat laporan, saat ini ada 8.451 peraturan pusat dan 15.895 peraturan daerah. Kita mengalami hiper-regulasi. Obesitas regulasi yang akhirnya membuat kita terjerat oleh aturan yang kita buat sendiri, terjebak keruwetan dan kompleksitas”
Selain Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, di acara itu hadir pula Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie; dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yang juga mantan hakim MK Harjono.
Untuk mengatasi regulasi yang berlebih itu, menurut Presiden Jokowi, mulai dari peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (permen), peraturan direktur jenderal (perdirjen), sampai perda, harus disederhanakan. Harapannya, Indonesia akan mempunyai kecepatan dalam memutus dan merespons perubahan dunia yang sangat cepat.
Banyaknya aturan-aturan tersebut, di satu sisi, disadari merupakan hasil dari keleluasaan yang diberikan oleh konstitusi. ”Akan tetapi, sering kita membuat aturan turunan yang terlalu banyak, tidak konsisten, yang terlalu rigid dan mengekang ruang gerak kita sendiri. Akibatnya, justru menghambat kita untuk melangkah, dan mempersulit kita untuk memenangi kompetisi,” ujar Presiden Jokowi.
Pemerintah dan DPR berupaya mengembangkan sistem hukum yang kondusif dengan menyinkronkan UU lewat omnibus law. Dengan UU sapu jagat itu, berbagai UU akan dipangkas, disederhanakan, dan diselaraskan. Dua UU sapu jagat yang dalam waktu dekat akan diusulkan pembahasannya dengan DPR ialah UU Perpajakan dan UU Penciptaan Lapangan Kerja.
Putusan tidak dipatuhi
Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman menyoroti adanya putusan MK yang belum dipatuhi, dan dipatuhi sebagian. Ketidakpatuhan tersebut dikutip dari hasil kajian tiga dosen Universitas Trisakti, Jakarta. Kendati demikian, sebagian besar putusan MK menurut penelitian itu telah dipatuhi.
Kajian dilakukan terhadap 109 putusan MK yang dikeluarkan dalam rentang 2013- 2018. Hasilnya, 59 putusan (54,12 persen) dipatuhi semuanya, 6 putusan (5,50 persen) dipatuhi sebagian, 24 putusan (22,01 persen) tidak dipatuhi, dan 20 putusan (18,34 persen) belum dapat diidentifikasi jelas. ”Temuan itu bukan saja penting bagi MK, tetapi juga patut menjadi perhatian kita bersama. Kepatuhan atas putusan mencerminkan kedewasaan dan kematangan sebagai negara yang menahbiskan sebagai negara hukum demokratis, sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum,” ujar Anwar.
Dalam kajian tersebut, tindak lanjut atau kepatuhan terhadap putusan MK antara lain diwujudkan dalam harmonisasi dan sinkronisasi tidak hanya pada level UU, tetapi juga PP, perpres, permen, dan perda, yang semua materi atau substansinya harus merujuk pada putusan MK.
"Persoalan kepatuhan tidak bisa disimpulkan hanya dari satu sisi. Banyak aspek melingkupinya, antara lain pendidikan hukum yang kurang, atau memang putusan itu belum ditindaklanjuti dalam pembentukan UU. Misalnya, ada UU yang salah satu normanya dibatalkan, tetapi belum ada tindak lanjut berupa revisi atas UU tersebut"
Juru bicara MK yang juga hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, persoalan kepatuhan tidak bisa disimpulkan hanya dari satu sisi. Banyak aspek melingkupinya, antara lain pendidikan hukum yang kurang, atau memang putusan itu belum ditindaklanjuti dalam pembentukan UU. Misalnya, ada UU yang salah satu normanya dibatalkan, tetapi belum ada tindak lanjut berupa revisi atas UU tersebut.
Belum adanya tindak lanjut atas putusan MK, menurut Enny, juga terkait proses politik. ”Pembuatan UU itu memang pekerjaan berat. Sekalipun hanya sebagian ayat, pasal, atau penjelasannya yang dibatalkan, untuk tindak lanjutnya sama dengan mengajukan pembentukan UU baru,” kata Enny, menambahkan.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan, laporan masih adanya putusan MK yang belum ditindaklanjuti itu menjadi bahan introspeksi pemerintah dan DPR. Persoalan itu pun akan dibawa dalam rapat Komisi III DPR, yakni dengan menyisir putusan-putusan MK yang belum ditindaklanjuti.
”Kalau MK hanya membatalkan norma, UU itu masih bisa berlaku. Namun, kalau MK dalam putusannya memerintahkan untuk memperbaiki atau membuat UU baru, hal itu menjadi kewajiban pemerintah dan DPR segera membentuk regulasi baru,” ujar Hinca.