Sanksi bagi Angkutan Pelanggar Ukuran dan Muatan Perlu Diperkuat
›
Sanksi bagi Angkutan Pelanggar...
Iklan
Sanksi bagi Angkutan Pelanggar Ukuran dan Muatan Perlu Diperkuat
Pemberian sanksi kepada pelanggar aturan soal muatan dan ukuran kendaraan angkutan perlu diperkuat agar pelanggaran serupa tak berulang. Dua kasus di Pekanbaru dan Padang bisa jadi contoh bagaimana aturan ditegakkan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjatuhan sanksi denda bagi truk pelanggar ketentuan muatan atau ukuran semestinya ditempuh agar pelanggaran serupa tak terulang. Sejumlah pihak mendukung upaya itu agar ketentuan yang melarang operasi truk dengan muatan atau ukuran berlebih benar-benar terlaksana di lapangan.
Pada awal tahun lalu, untuk pertama kalinya, tersangka kasus modifikasi kendaraan dijatuhi hukuman denda Rp 12 juta atau kurungan dua bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau.
Beberapa hari yang lalu, kasus serupa diproses oleh Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat. Dari hasil pengukuran, terbukti telah terjadi penambahan atau perpanjangan ukuran kendaraan yang tidak sesuai dengan sertifikat uji tipe. Hukuman yang dijatuhkan adalah denda, baik kepada pemilik kendaraan maupun pemilik bengkel, masing-masing Rp 15 juta subsider 2 bulan penjara.
Larangan mengenai kendaraan bermuatan atau berukuran berlebih diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, terutama Pasal 277. Di pasal itu tertulis sanksi atas pelanggaran berupa pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda Rp 24 juta.
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (29/1/2020), berpandangan, kasus yang kemudian berakhir dengan putusan pengadilan tersebut sudah menampakkan keseriusan dari pemerintah atau Kementerian Perhubungan terhadap pelanggaran yang terjadi.
”Dengan hukuman ini upaya yang serius itu sudah ditunjukkan pemerintah. Dan, ini bagus meski saya menilai denda sebesar itu masih terlalu rendah bagi pengusaha angkutan truk,” kata Djoko.
Menurut Djoko, proses pengadilan bagi pelanggar ketentuan muatan atau ukuran berlebih tidak terjadi tiba-tiba. Selama ini pemerintah dan aparat penegak hukum telah melakukan upaya-upaya persuasif, yakni memberikan kesempatan kepada para pemilik truk yang melanggar ketentuan ukuran untuk mengembalikan ukuran kendaraannya sesuai dengan aturan.
Sanksi yang dijatuhkan dapat lebih berat jika ternyata kendaraan yang melanggar ketentuan ukuran tersebut telah menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa. Sebab, selain ketentuan itu, maka akan ditambah lagi dengan tuntutan sebagaimana tertuang dalam KUHP.
Djoko berharap, jika dimungkinkan dilakukan revisi UU tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, ketentuan mengenai sanksi mesti diperberat. Sebab, kendaraan yang melanggar ketentuan mengenai muatan atau ukuran akan rawan kecelakaan.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Darat Budi Setiyadi mengatakan, pihaknya terus melakukan upaya persuasif agar para pemilik angkutan truk bersedia mengubah kendaraannya sesuai dengan aturan. Hal itu telah terjadi di Semarang, Bekasi, dan Padang.
Di sisi lain, penegakan hukum juga akan dilakukan. Meski demikian, dia mengakui hukuman berupa denda masih terlalu kecil. Menurut rencana, jika ada revisi undang-undang, pihaknya akan mengusulkan denda yang lebih besar.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman berpandangan, kasus yang terjadi di Pekanbaru ataupun Padang terkait dengan masalah administratif angkutan truk dan karoseri yang membangun bak truk.
Pelanggaran hukum yang terjadi akan terus berulang jika pemerintah tak membenahi proses di hulu.
Masalahnya, pengurusan administrasi mulai dari surat keterangan rancang bangun (SKRB) hingga sertifikat uji tipe (SUT) memerlukan proses yang panjang dan biaya yang tak sedikit. Sementara tidak semua karoseri terdaftar dan memiliki SKRB.
Menurut Kyatmaja, pelanggaran hukum yang terjadi akan terus berulang jika pemerintah tak membenahi proses di hulu, yakni di dealer dan karoseri. Dealer atau penjual truk mesti diberi pemahaman agar menjual truk sesuai dengan kebutuhan pembeli, sementara karoseri difasilitasi aspek legalnya.
”Masalahnya, Kementerian Perhubungan tidak pernah melakukan penertiban karoseri pinggir jalan. Maka, setidaknya mereka dibantu agar diberi proses agar memenuhi aspek legalitas. Kalau cuma di hilir itu pencitraan saja. Seharusnya pembenahan di hulu,” kata Kyatmaja.