Kegairahan yang berkembang di pasar modal membesut harapan bahwa pelambatan ekonomi global yang sedang terjadi akan diikuti percepatan pertumbuhan ekonomi global pada 2020. Namun belum menjamin pemulihan ekonomi global.
Oleh
Tri Winarno
·5 menit baca
Mei dan Agustus 2019, eskalasi perang dagang AS dan China telah merontokkan pasar modal dan mendorong imbal hasil obligasi pada titik terendah dalam sejarah AS. Namun, itu telah berlalu dan kini AS semakin menguat.
Harga beberapa saham di berbagai belahan dunia cenderung menguat, bahkan berkembang kegairahan baru bahwa pasar modal menuju nilai tertinggi potensialnya. Kegairahan tersebut membesut harapan bahwa pelambatan ekonomi global yang sedang terjadi akan diikuti percepatan pertumbuhan ekonomi global pada 2020.
Pergeseran mendadak dari lesu ke gairah tinggi pasar keuangan mencerminkan empat perkembangan yang positif. Pertama, AS dan China telah mencapai fase pertama persetujuan perdagangan yang setidak-tidaknya akan bertahan sementara hingga konflik perdagangan dan teknologi antar-keduanya tercapai.
Kedua, walaupun ada ketidakpastian hasil dari pemilu Inggris 12 Desember 2019, setidaknya Perdana Menteri Boris Johnson telah berhasil mengamankan persetujuan ”soft Brexit” dengan Uni Eropa sehingga peluang Inggris terkucil secara substantif menjadi mengecil.
Ketiga, AS berhasil menahan diri di Timur Tengah, sadar bahwa serangan terhadap Iran akan berakibat pada perang skala besar dan harga minyak yang melonjak tajam.
Terakhir adalah bank sentral utama dunia, seperti The Fed, bank sentral Eropa, dan bank sentral Jepang, telah mengantisipasi gejolak geopolitik dengan melonggarkan kebijakan moneter. Dengan langkah-langkah penyelamatan oleh bank sentral itu, sektor manufaktur AS stabil lagi dan daya tahan sektor jasa serta pertumbuhan konsumsi meningkat lagi. Tumbuh harapan bahwa tanda-tanda ekspansi global mulai menguat lagi.
Meski demikian, perkembangan tersebut belum menjamin pemulihan ekonomi global. Pertama, data terbaru menunjukkan bahwa China, Jerman, dan Jepang masih melambat ekonominya walaupun tidak parah-parah amat.
Aman sementara
Kedua, walaupun AS dan China telah menyepakati gencatan senjata, perseteruan di antara kedua raksasa ekonomi dunia itu bisa meningkat lagi setelah pemilu presiden AS pada November 2020.
Ketiga, walaupun China telah menahan diri untuk tidak ikut campur langsung menghadapi kerusuhan di Hong Kong, situasi di kota tersebut semakin memburuk. China bisa menggunakan kekuatan militer pada 2020 untuk memberangus gelombang demonstrasi tersebut. Akibatnya, kesepakatan perdagangan dengan AS akan bubar, mengguncang pasar keuangan global, serta mendorong Taiwan makin kuat dan independen.
Keempat, walaupun ”hard Brexit” sudah tidak masuk skenario, Uni Eropa sedang menghadapi malaise. Jerman dan negara lain yang mempunyai kelonggaran kebijakan fiskal kukuh menolak menggunakan untuk menstimulus ekonomi. Lebih buruk lagi presiden baru ECB, Christine Lagarde, dipastikan tidak akan mampu memberikan tambahan stimulus kebijakan moneter mengingat sepertiga dari dewan gubernur ECB menentang pelonggaran kebijakan moneter lanjutan.
Di samping tantangan dari penduduk yang semakin menua, permintaan China yang semakin melemah dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi ketentuan emisi gas karbon, Eropa masih rentan terhadap ancaman tarif Trump pada industri otomotifnya. Negara-negara kunci Uni Eropa, seperti Jerman, Spanyol, Perancis, dan Italia, juga sedang menghadapi tantangan politik dalam negeri yang dapat menghambat kinerja ekonominya.
Kelima, sanksi AS telah memicu kerusuhan jalanan di Iran. Pemerintah Iran pasti tidak mau sendirian menderita sehingga Iran akan menjadi faktor instabilitas di Timur Tengah.
Protes besar-besaran telah meletus di Irak dan Lebanon, suatu negara yang secara efektif telah bangkrut dan berada pada risiko krisis mata uang, utang publik, dan krisis perbankan. Dalam kondisi kevakuman politik di Lebanon, bisa jadi Hezbollah menyerang Israel.
Terlibatnya Turki di Suriah dapat mengganggu suplai minyak yang berasal dari Kurdistan Irak. Sementara perang saudara di Yaman belum ada tanda-tanda mereda. Israel pun saat ini hampir tanpa pemerintahan. Karena itu, Timur Tengah dapat menjadi bubuk mesiu yang siap meletus dan memicu kenaikan harga minyak. Kalau ini terjadi, dipastikan ekonomi global akan mengalami stagflasi.
Karena itu, Timur Tengah dapat menjadi bubuk mesiu yang siap meletus dan memicu kenaikan harga minyak. Kalau ini terjadi, dipastikan ekonomi global akan mengalami stagflasi.
Keenam, bank sentral telah mencapai batas kemampuannya untuk menyangga ekonomi, sedangkan kebijakan fiskal masih terkendala kondisi politik. Memang betul, pemangku kebijakan masih dapat menggunakan kebijakan non-konvensional seperti monetisasi defisit fiskal ketika ekonomi resesi. Namun, mereka baru akan menggunakan kebijakan tersebut tatkala krisis sudah parah.
Pembatasan aliran
Ketujuh, kecenderungan politik global mengarah pada anti-globalisasi, anti-migrasi, dan anti-transfer teknologi, membuat semakin banyak negara membuat kebijakan pembatasan aliran barang, modal, teknologi, dan data.
Berbagai protes jalanan di Bolivia, Chile, Ekuador, Mesir, Perancis, Spanyol, Hong Kong, Irak, Iran, dan Lebanon merefleksikan berbagai sebab, tetapi pada dasarnya mereka sedang menghadapi malaise ekonomi dan meningkatnya ketidakpuasan politik terhadap ketimpangan pendapatan dan beban hidup.
Kedelapan, AS di bawah Presiden Trump menjadi sumber ketidakpastian global terbesar. Sloglan Trump: ”America First” telah merusak tatanan internasional. Bahkan, di Eropa muncul berbagai kekhawatiran bahwa NATO akan mati suri, dan AS tidak lagi sejalan dengan sekutu-sekutu di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.
Terakhir, kecenderungan jangka-menengah masih berpotensi mengganggu ekonomi. Faktor penduduk yang menua serta pembatasan migrasi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi potensial.
Perubahan cuaca akan semakin membebani ekonomi global. Walaupun inovasi teknologi akan menjadi sumber pertumbuhan, artificial intelligence dan automation akan mengacaukan lapangan kerja, perusahaan, dan keseluruhan industri yang berujung pada peningkatan ketimpangan ekonomi. Ketika resesi benar-benar terjadi, kondisi utang yang tak berkelanjutan akan memicu gelombang default dan kebangkrutan.
Karena itu, memperkuat daya tahan ekonomi nasional yang berbasis kearifan lokal menjadi semakin relevan di tengah kondisi global yang tidak pasti.