Tanah Air Hiperrealitas
Hiperrealitas itu menjauhkan, tetapi membuai dan menjebak sebagian besar dari kita untuk semakin beranjak dari kebenaran hakiki. Moralitas manusia jatuh menjadi momok bagi kebenaran itu sendiri.
Tanah air mata tanah tumpah darahku
mata air air mata kami
air mata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan air mata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami….
Ketika Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri menyanyikan puisi berjudul ”Tanah Air Mata” sambil meniup harmonika, aneh saya teringat Muriel Stuart Walker. Terbayang, perempuan penulis skenario itu memasuki sebuah gedung bioskop di Hollywood Boulevard, hanya karena tertarik pada film dokumenter berjudul Bali: The Last Paradise. Dalam beberapa menit, Muriel sudah memutuskan akan pergi ke Bali.
Benar saja adanya, tahun 1932, ia berlayar menuju Batavia untuk kemudian bersumpah, ”Di mana pun bensin mobil ini habis di sanalah aku akan tinggal,” katanya dalam bukunya, Revolt in Paradise.
Pada suatu hari, bensin mobil yang ia beli di Batavia benar-benar habis di depan sebuah gapura berukir. Ia menyangka itu sebuah pura. Ketika mengetuk pintu, muncullah seorang lelaki bersama seorang anak. Dia tak lain adalah Raja Klungkung Dewa Agung Oka bersama anak tertuanya, Anak Agung Nura. Sesungguhnya, Muriel tak pernah menyangka kehidupannya kemudian berjalan bak putri dari negeri dongeng di sebuah keraton. Ia diangkat Raja Klungkung menjadi anak keempat dengan nama K’tut Tantri.
Apakah impiannya menjejakkan kaki di pulau surga terakhir, sebagaimana yang ia saksikan dalam film di Hollywood Boulevard, Amerika, itu tercapai? Sebagaimana ia ungkapkan dalam roman biografinya, di sepotong surga yang ia impikan, ternyata revolusi bergolak. Perang melawan kolonialisme Belanda, Jepang, dan kemudian tentara sekutu (di Surabaya), telah menyebabkan kehancuran, kemiskinan, dan penderitaan yang menyedihkan. Di pulau yang ia kira nirwana itu, dewa-dewa seperti lenyap dalam desing peluru serta teriakan kekalahan dan kematian.
Salah satu puisi protes sosial yang ditulis Sutardji pada awal tulisan ini, ia nyanyikan beberapa kali dalam pertemuan Tegal Mas Island International Poetry Festival, 24-26 Januari 2020, di Lampung. Secara spontan ia seolah mengingatkan kita pada kengerian dan penderitaan yang telah mengalirkan air mata dari zaman ke zaman. Diksi yang digunakan penyair kelahiran Rengat, Riau, ini mengantarkan kita ke masa-masa kesadaran awal tentang nasionalisme yang terkoyak penjajahan.
Barangkali tema pertemuan yang berbunyi ”Tuhan, Pulau, Kata-kata” telah memengaruhinya untuk mengusir romantisisme para penyair. Tuhan, pulau, dan puisi hampir selalu ”menstigma” penyair untuk menulis hal-hal yang menurut dia romantis.
Bahkan, penyair sebesar Chairil Anwar tak luput dari perasaan itu. Ia menulis puisi ”Cintaku Jauh di Pulau” sebagai medium mengekspresikan kerinduannya kepada sang kekasih: //Cintaku jauh di pulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri//Perahu melancar, bulan memancar/di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membantu, laut terang, tapi terasa/aku tidak ‘kan sampai padanya…//
Pada sesi seminar, seorang penyair senior mempertanyakan tentang tema yang melulu romantis itu, ”Ini masa lalu saja, sekarang semuanya terkomunikasikan dengan tanda: gambar jantung saja sudah cukup,” katanya.
Ia benar adanya. Dari sini saya teringat pemikir kebudayaan Jean Baudrillard dan Umberto Eco yang membahas tentang hiperrealitas dan simulakra. Jangan-jangan apa yang disaksikan oleh Muriel di Hollywood Boulevard pada 1932 tak beda jauh dari apa yang dicerap oleh Chairil serta banyak penyair dalam pertemuan di Pulau Tegal Mas, Lampung, itu.
Banyak di antaranya terjebak pada realitas semu (simulacrum) yang sengaja diciptakan untuk menimbulkan citra kenyataan. Apa yang kita lihat di sebuah pulau, Bali atau Tegal Mas, misalnya, tak berbeda jauh dari apa yang disaksikan Umberto Eco ketika datang ke Disneyland. Pulau ini adalah sebuah simulasi yang sengaja diciptakan untuk melampaui kenyataan sesungguhnya. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas, sesuatu yang disusun berdasarkan simulasi untuk menimbulkan citraan baru, sebuah kenyataan yang ”seolah-olah” benar-benar nyata.
Eco bahkan bilang, Amerika adalah peniru paling ulung, di mana abad pertengahan Eropa benar-benar tampak seperti nyata. Banyak orang kemudian melihat Amerika lebih otentik daripada Eropa pada abad pertengahan. Apakah para penyair terjebak pada rangkaian simulasi seperti ini, ketika melakukan relasi intim dengan kata-kata seperti Tuhan, pulau, dan kata-kata? Agar tak menjadi ”penghakiman” yang membabi buta, kita bisa membacanya dalam kumpulan puisi berjudul Tegal Mas Island dalam Antologi Puisi, yang berisi puisi puluhan penyair terundang dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan India.
Jangan salah pula, Pulau Tegal Mas milik pengusaha bernama Thomas Aziz Riska dibangun sebagai destinasi wisata bahari sejak 2017. Ia mirip apa yang sering kita lihat di Maladewa. Di sini terdapat fasilitas penginapan yang terapung di atas air, spot-spot untuk snorkeling atau diving serta tawaran pantai berpasir putih yang dibatasi oleh perbukitan kapur. Tempat ini menjadi makin sempurna sebagai arena berwisata karena letak geografisnya yang dekat dengan Bandar Lampung. Anda cukup menyeberang selama 15-20 menit dari dermaga terdekat. Pada setiap akhir pekan, ratusan wisatawan memadati pulau seluas lebih dari 100 hektar ini.
”Saya tidak pernah ke Maldive, lho,” kata Thomas Aziz Riska. ”Jadi, ini semua feeling aja,” tambahnya menyebut tentang pengembangan Pulau Tegal Mas.
Meski ada penyangkalan semacam ini, toh tidak mengubah posisi destinasi wisata yang berada dalam cangkang industri. Tabiat paling buruk dari sebuah industri adalah melakukan reproduksi bentuk, yang bahkan jika perlu melebihi tempat di mana ia ”berasal-mula”. Di manakah posisi penyair? Sutardji tampak sangat menikmati kehadirannya di tengah-tengah puluhan penyair dan hamparan laut yang mengepungnya. Tetapi, lebih dari dua kali, ia menyanyikan ”Tanah Air Mata”.
Puisi ini seolah ingin menggugah kesadaran para penyair agar kembali pada realitas sesungguhnya. Bahwa realitas yang kita pindai dari mata, bisa jadi merupakan hiperrealitas, yang makin menjauhkan kita dari kenyataan sesungguhnya. Sering kali hiperrealitas membawa kita pada apa yang disebut sebagai simulakra, sebuah dunia yang diciptakan berdasarkan silang sengkarut simulasi, tanda-tanda, nilai, dan kode-kode. Pada akhirnya simulakra memutuskan relasinya dengan kenyataan dan bahkan mengingkari adanya realitas. Ia justru memurnikan dirinya sebagai simulacrum.
Di tengah hiperrealitas yang menggejala di mana-mana, yang juga berarti pengingkaran terhadap kebenaran hakiki, Sutardji memandang jauh ke tengah laut. Ia menyaksikan sebagian penyair bersenang-senang, berenang, main kano, snorkeling, dan naik babana boat, lalu berkata, ”Tema ini biasa saja. Pulau itu, kan, tanah tumpah darahku. Ada jejak tanah air air mata di sana….” Saya lanjutkan mengutip puisi itu agar menjadi utuh:
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak air mata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Sebagai penutup saya kutipkan puisi yang ditulis M Afiq Nauval, remaja kelas XII sebuah SMA di Bogor, yang hadir dalam pertemuan penyair di Lampung. Nauval telah melakukan perjalanan ke sejumlah kota seorang diri untuk mencari dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan ia menulis puisi. Salah satunya berjudul ”Puisi-puisi Berjalan” (dalam antologi: Mengupas Kata dari Tubuhmu, 2019).
//Moral manusia selalu menjadi momok mengerikan bagi/kebenaran kita/Karena kita berangkat pada terminal yang salah/Sehingga jurusan yang ingin kita tuju seringkali menjadi/kota asing dan utopia dalam pikiran/Kehabisan imajinasi/Seperti itulah mungkin kondisi mereka yang tidak mau/berangkat menanyakan arah setelah ini atau inisiatif/membuka peta dalam dirinya/Jalan buntu menjadi fase setiap kita melangkah, dan apa yang terjadi?/Iya melawan arus/Pada akhirnya kebenaran yang ingin kita tuju menjadi/kesesatan/Sama seperti air yang terlanjur mengalir dari/hulu maka akan sampai ke hilirnya/Begitu juga kebenaran yang terlanjur mengalir, maka/arusnya akan tersesat. Karena kita sulit membedakan/mana tempatnya!//
Jadi, untuk tujuan apa sesungguhnya K’tut Tantri melakukan perjalanan sampai ke Bali? Begitu pun dengan Sutardji dan puluhan penyair lainnya di Pulau Tegal Mas Lampung? Pada akhirnya hiperrealitas itu menjauhkan, tetapi membuai dan menjebak sebagian besar dari kita untuk semakin beranjak dari kebenaran hakiki. Moralitas manusia jatuh menjadi momok bagi kebenaran itu sendiri. Begitu bukan?