Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, gencar mencipta ruang-ruang publik baru. Selain untuk menggerakkan pariwisata, upaya ini juga untuk mengedukasi warga Tulang Bawang Barat agar tetap menjaga daerahnya.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Sebagai kabupaten yang relatif masih sangat muda, 11 tahun, Tulang Bawang Barat nyaris tak memiliki obyek wisata. Tapi, beberapa tahun terakhir, daerah hasil pemekaran Kabupaten Tulang Bawang ini gencar mencipta ruang-ruang publik baru.
Kabupaten Tulang Bawang Barat atau sebutan kerennya Tubaba diresmikan pada 3 April 2009. Kabupaten seluas 1.201 kilometer persegi ini dihuni sekitar 300.000 jiwa yang mayoritas adalah transmigran. Sebagian besar penduduk Tubaba bekerja sebagai petani. Di sepanjang daerah Tubaba pemandangan didominasi dengan hamparan perkebunan karet, singkong, dan sawit.
”Ketika mulai berdiri sebagai kabupaten, Tubaba ibarat negeri antah-berantah, tak banyak orang yang mengenalnya. Wilayah ini juga tak memiliki situs-situs bersejarah yang bisa dikunjungi orang,” kata Bupati Tulang Bawang Barat Umar Ahmad pekan lalu di Panaragan, Tulang Bawang Barat, Lampung.
Sepi dan senyapnya Tubaba menjadi tantangan yang serius bagi pemkab setempat, terutama bagaimana menjadikan kawasan itu lebih dinamis dan hidup. Sekadar mengandalkan potensi alam yang ada rupanya sulit untuk mendongkrak kunjungan ke Tubaba.
Sepi dan senyapnya Tubaba menjadi tantangan yang serius bagi pemkab setempat, terutama bagaimana menjadikan kawasan itu lebih dinamis dan hidup.
Sadar akan keterbatasan potensi wisata di Tubaba, Umar pun menggandeng arsitek Andra Matin membuat beberapa landmark (tengara) seperti Islamic Center, Balai Adat Sessat Agung, dan Masjid Baitus Shobur di Panaragan Jaya, Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Beberapa meter dari Islamic Center, dibangun pula Tugu Rato Nago Besanding, patung sepasang raja dan ratu berkereta kencana yang ditarik sepasang naga.
”Dulu Panaragan Jaya hanyalah kebun kosong yang sepi sakali. Setelah Islamic Center dan Tugu (Rato Nago Besanding) dibangun, setiap sore masyarakat berkumpul di sana, bahkan juga para pengunjung dari luar kota seperti Palembang, Bengkulu, dan daerah-daerah lain,” kata Ahmad, warga setempat.
Selain di pusat ibu kota Tubaba, beberapa tengara juga dibangun di titik-titik jalan menuju kecamatan-kecamatan pelosok. Di jalan penghubung antara Tubaba dan Kabupaten Way Kanan, misalnya, terdapat patung relief Empat Marga Tubaba (Marga Buay Bulan, Buay Aji, Buay Umpu, dan Buay Tegamoan).
Patung ini menjadi spot menarik bagi pelintas jalan untuk berfoto dan bersantai sebelum melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari patung itu, dibangun pula tembok relief bercorak batik dengan ornamen budaya khas Lampung yang menghiasi pinggir jalan sepanjang beberapa ratus meter.
Taman megalitik
Selain membangun sejumlah tengara, Umar juga membangun beberapa ruang publik dengan konsep taman megalitik atau taman purbakala, antara lain di Las Sengok, Ulluan Nughik, Rumah Baduy, dan Sessat Agung. Di beberapa kawasan tersebut, ia menambahkan aksen-aksen megalitik dengan menata batu-batuan besar sebagai ornamen. Di Las Sengok di Tiyuh Karta, misalnya, dibangun ruang terbuka yang dikelilingi rawa dengan hiasan batu-batu besar dengan formasi berbentuk bintang Orion.
”Rasi bintang Orion adalah rasi bintang yang selalu tampak dari mana saja. Ini menunjukkan Tubaba sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang memiliki visi untuk menjaga kelestarian lingkungan,” kata dia.
Ruang terbuka Las Sengok menjadi semacam “gerbang” yang berada di sisi selatan. Pemilihan rasi bintang Orion berdasarkan titik lokasi di kawasan itu yang disebut penyile’an yang artinya silahkan, kata-kata yang diucapkan saat menyambut tamu dan melepas tamu.
Las Sengok dahulu kala adalah hutan larangan yang dianggap angker. Sebutan tempat tersebut sebagai hutan yang angker merupakan konsep yang dijalankan leluhur dahulu untuk mengajak masyarakat sekitar menjaga kelestarian hutan, merawat sumber-sumber mata air dan flora fauna yang ada.
“Pembuatan taman-taman megalitik ini memakai konsep yang menyerupai situs-situs megalitik yang benar-benar tua. Penataan batu-batuan besar ini memiliki makna yang begitu kaya seperti halnya dulu budaya megalitik menjadi landasan bagi kita semua untuk bisa meningkatkan persatuan,” kata arkeolog Prof Haris Sukendar.
Penataan batu-batuan besar ini memiliki makna yang begitu kaya seperti halnya dulu budaya megalitik menjadi landasan bagi kita semua untuk bisa meningkatkan persatuan.
Selain membangun ruang-ruang publik berkonsep taman megalitik, Tubaba juga tengah merintis wisata susur Sungai Way Kiri dari arah Gunung Katun Tanjungan menuju Talang Kappung, sebuah pulau yang dikelilingi aliran air Sungai Way Kiri. Pekan lalu, Bupati mengajak puluhan penari peserta kegiatan Sharing Time: Megalithic Millennium Art naik perahu menyusuri Sungai Way Kiri yang diawali dari bawah jembatan gantung Gunung Katun Tanjungan ke arah Talang Kappung.
Meski hanya berjarak tempuh sekitar 20 menit, tetapi penyeberangan menuju ”Pulau Kebun Karet” di Talang Kappung sangat menarik. Sesampai di pulau, rombongan langsung diajak menanam beberapa bibit pohon yang diteruskan dengan santap siang di tengah hamparan pohon karet. Menunya sangat nikmat, ikan baung bakar lengkap dengan sambal terasi pedas!
Setelah perut kenyang, para tamu dari puluhan negara itu langsung naik perahu lagi menuju ke Benteng Sabuk. Menurut penelitian Balai Arkeologi Bandung, Benteng Sabuk yang berupa cekungan-cekungan parit dengan sebaran artefak dahulu kala diduga sebagai permukiman kuno periode abad ke-3 dan dilanjutkan abad ke-7 hingga 17. Daerah itu sekarang tak menyisakan struktur bangunan dan telah berubah menjadi perkebunan karet.
Beberapa menit perjalanan kaki dari Benteng Sabuk, rombongan kembali disambut dengan perjamuan minum kopi aren serta kudapan buah cempedak. Kopi aren merupakan perpaduan antara kopi yang diseduh dan air hasil sadapan dari pohon aren menghasilkan rasa pahit manis alami khas Tubaba.
Demikianlah, Tubaba yang beberapa tahun lalu hanyalah hamparan perkebunan karet, kini mulai merintis spot-spot kunjungan yang bisa dinikmati para pendatang atau wisatawan. Tubaba telah mencipta wisata sekaligus mengedukasi warganya untuk tetap merawat daerahnya.