Proses legislasi yang belum ideal menjadi salah satu alasan mengapa pembentuk undang-undang belum melaksanakan sejumlah putusan MK. Badan Legislasi kini mendata putusan terkait.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar/Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi DPR meminta Badan Keahlian DPR (BKD) menginventarisasi putusan Mahkamah Konstitusi yang belum ditindaklanjuti oleh pemerintah maupun DPR. Sesuai dengan amanat konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus segera dilaksanakan.
Hal tersebut merupakan respons atas keterangan yang disampaikan MK dalam acara laporan tahunan 2019, Selasa (28/1/2020), yang menyebutkan ada sejumlah putusan MK yang belum dipatuhi dan ada pula yang baru dipatuhi sebagian.
Perhitungan jumlah putusan MK yang belum dipatuhi itu merujuk pada kajian tiga dosen Universitas Trisakti Jakarta terhadap 109 putusan yang dikeluarkan dalam rentang 2013- 2018. Hasilnya, 59 putusan (54,12 persen) dipatuhi semuanya; 6 putusan (5,50 persen) dipatuhi sebagian; 24 putusan (22,01 persen) tidak dipatuhi; dan 20 putusan (18,34 persen) belum teridentifikasi secara jelas (Kompas, 29/1/2020).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi, Rabu (29/1), di Jakarta, mengatakan, BKD telah diminta menginventarisasi undang-undang yang dibatalkan MK. ”Kalau tingkat kepatuhan (terhadap putusan MK) itu berkaitan undang-undang, kami di periode ini sudah memasukkan sejumlah undang-undang itu dalam kluster kumulatif terbuka. Alhasil, setiap undang-undang itu bisa dibahas sewaktu-waktu,” kata Achmad.
Harus dilihat juga kenapa putusan itu belum ditindaklanjuti.
Terkait dengan fenomena itu, anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, mengatakan, keterlambatan dalam melaksanakan putusan MK dapat berefek buruk bagi penegak hukum yang melaksanakan aturan perundang-undangan di lapangan. Hal ini dikhawatirkan berdampak dalam pelaksanaan dasar hukum itu bagi masyarakat.
Namun, untuk melakukan tindak lanjut atas putusan MK tersebut, harus dipahami terlebih dulu pihak mana yang mengusulkan UU tersebut. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pemerintah dan DPR sama-sama berperan sebagai pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, tindak lanjut atas putusan yang sifatnya final dan mengikat itu bisa dilakukan oleh kedua belah pihak selaku pembuat UU.
Juru Bicara MK yang juga hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, soal putusan MK yang belum ditindaklanjuti, tidak semuanya dapat dimaknai sebagai ketidakpatuhan yang kesannya negatif. ”Tidak bisa serta-merta dimaknai negatif, karena harus dilihat juga kenapa putusan itu belum ditindaklanjuti,” ujarnya.
Enny mencontohkan proses pembuatan undang-undang baru di India yang memakan waktu 25 tahun meski ada perintah pengadilan untuk memperbaiki undang-undang. Artinya, ada proses politik yang tidak mudah yang bisa menjadi penyebab belum ditindaklanjutinya putusan MK.
Proses tidak ideal
Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menegaskan, tidak tepat sepenuhnya memaknai belum dilaksanakannya putusan MK sebagai pembangkangan konstitusional. Pembangkangan konstitusional itu terjadi apabila ditemukan dua kondisi. Pertama, pembentuk undang- undang membuat lagi undang- undang atau pasal yang isinya serupa dengan putusan MK. Kedua, isi undang-undang atau pasal itu masih dilaksanakan setelah putusan MK.
Ia juga menekankan sifat putusan MK yang final, mengikat, dan langsung berlaku meskipun belum ada perubahan undang- undang atau pasal yang menjadi obyek putusan MK. Namun, ia mengakui ada proses legislasi yang belum ideal. ”Yang ideal adalah jika ada putusan MK, maka undang-undang segera diubah atau disesuaikan. Namun, jika itu belum dilakukan, tidak berarti terjadi pembangkangan konstitusional. Hal itu hanya proses legislasi yang tidak ideal,” tutur Arsul.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Sumatera Barat, Khairul Fahmi, menyatakan, lembaga eksekutif dan legislatif seharusnya menindaklanjuti segera semua putusan MK yang menghendaki perubahan undang-undang.
Kepatuhan terhadap putusan MK itu, diukur dari sejauh mana pembentuk undang-undang menindaklanjuti putusan MK dengan mengubah UU sesuai penafsiran yang diputuskan MK. ”Artinya, apabila tidak segera melakukan perubahan undang- undang, pembentuk undang- undang tidak mematuhi putusan MK,” ucapnya.