Harun Tak Kunjung Ditangkap, Citra KPK Dipertaruhkan
›
Harun Tak Kunjung Ditangkap,...
Iklan
Harun Tak Kunjung Ditangkap, Citra KPK Dipertaruhkan
Meski telah tiga pekan, Harun Masiku, buron kasus suap terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan, belum ditangkap. Citra KPK dipertaruhkan dalam kasus ini karena Harun yang juga politisi PDI-P belum juga ditangkap.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tepat tiga minggu sejak ditetapkan sebagai tersangka, KPK tak kunjung menangkap Harun Masiku, tersangka penyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Proses penegakan hukum yang lambat dinilai berpotensi menurunkan citra dan kepercayaan publik terhadap KPK.
Harun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020. Namun, meski sudah diketahui berada di Indonesia, hingga Kamis (30/1/2020), Harun belum juga ditangkap.
Berdasarkan data KPK, Harun sudah dicegah ke luar negeri sejak 13 Januari 2020. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini pun sudah dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang pada 17 Januari 2020.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango menyampaikan, tim KPK sudah bekerja keras, tetapi memang belum ketemu. ”Ya, kendalanya di situ saja,” ucapnya saat dihubungi Kompas.
Nawawi juga menegaskan agar tidak ada pihak yang mencoba memberi bantuan kepada Harun dalam persembunyiannya. KPK akan tegas menggunakan instrumen obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan kepada pihak yang melakukan.
Jerat hukum bagi pihak yang melakukan obstruction of justice diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini mengatakan, setiap orang yang dengan sengaja merintangi penyidikan bisa dijerat dengan hukuman pidana paling lama 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Selain itu, Nawawi juga meminta partisipasi masyarakat untuk memberikan informasi. ”Sekecil apa pun (informasi) akan sangat bermanfaat bagi tim (KPK), termasuk teman-teman di jajaran kepolisian yang mendukung penuh pencarian ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan, mencari orang itu tidak mudah, sama seperti mencari jarum dalam sekam. Menurut dia, KPK telah mencari Harun ke sejumlah lokasi, baik di Indonesia timur, Sumatera, maupun tempat-tempat yang diduga jadi persembunyian Harun.
Tak ada komitmen
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai, pernyataan Firli semakin menunjukkan ketidakmampuan KPK dalam menangkap Harun dalam waktu cepat. Padahal, selama ini KPK dikenal publik cepat dalam mengungkap sebuah perkara, bahkan sampai pada auktor intelektualisnya.
”Namun, di era Firli rasanya berbanding terbalik. Proses penegakan hukum lambat dan ini akan berpotensi untuk menurunkan citra KPK di mata masyarakat,” kata Kurnia.
Penilaian serupa juga datang dari Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril. Ia meyakini, KPK mampu menemukan dan menangkap, tetapi memang tidak ada komitmen dari pimpinan KPK untuk menangkap Harun.
”Mestinya (pencarian dan penangkapan) akan jauh lebih mudah ketika sudah masuk dalam DPO. Molornya waktu pencarian hingga hampir satu bulan dapat membuat berbagai spekulasi, misalnya yang bersangkutan adalah pelaku kunci (untuk membongkar kasus korupsi anggota DPR pergantian antarwaktu),” kata Oce.
Oce menyampaikan, KPK sebelumnya dapat menangkap Muhammad Nazaruddin, tersangka suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, di Cartagena, Kolombia. Karena itu, bagi Harun yang sudah diketahui keberadaannya di Indonesia, seharusnya dapat segera ditangkap.
Berdasarkan catatan Kompas, Nazaruddin, yang merupakan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 30 Juni 2011 dan enam hari kemudian dimasukkan dalam DPO. Nazaruddin kemudian ditangkap pada 7 Agustus 2011 oleh polisi Kolombia yang ”kebetulan” mengenalinya walaupun dengan paspor orang lain.
Saat itu, penangkapan Nazaruddin dinilai menjadi momentum dalam membongkar korupsi di tubuh Partai Demokrat. Nazaruddin mengungkap keterlibatan Anas, waktu itu Ketua Umum Demokrat, dan petinggi Demokrat lainnya, seperti Angelina Sondakh, dalam berbagai kasus korupsi, termasuk proyek Pusat Pendidikan dan Olahraga Hambalang, di Bogor.
Drama memuncak saat KPK menetapkan Anas sebagai tersangka kasus Hambalang pada Februari 2013. Setelah itu, ia menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Demokrat. Anas dinyatakan terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang sehingga dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 300 juta, serta membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar dan uang 5,22 juta dollar AS (Kompas, 26 September 2014).