Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Lapangan Kerja
›
Aliansi Masyarakat Sipil Tolak...
Iklan
Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Lapangan Kerja
Penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja oleh pemerintah tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengharuskan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi masyarakat sipil mengkritisi tidak transparannya penyusunan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja oleh pemerintah. Mereka juga mengkritisi tidak dilibatkannya masyarakat dalam pembahasan omnibus law tersebut. Ini menjadi sejumlah dasar mereka menolak pembahasan rancangan undang-undang itu dilanjutkan.
Aliansi masyarakat sipil bernama Fraksi Rakyat Indonesia Tolak Omnibus Law RUU Cilaka menyatakan penolakannya atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Aliansi terdiri atas sedikitnya 40 organisasi dan lembaga. Di antaranya, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI).
Hingga kini, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos menyatakan, aliansi masyarakat sipil kesulitan untuk memperoleh draf RUU itu. ”Kenapa? Karena tidak ada akses dan keterbukaan pemerintah,” katanya.
Selain itu, masyarakat, khususnya buruh yang akan terimbas oleh RUU, tidak dilibatkan dalam penyusunan. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian baru mengajak bertemu serikat buruh untuk mendiskusikan RUU, Rabu (29/1), padahal draf sudah hampir tuntas.
”Lalu apa yang mau dikoordinasikan? Seharusnya sejak awal akses dan partisipasi publik itu sudah dibuka. Oleh sebab itu, kami menolak RUU Cipta Lapangan Kerja itu,” katanya.
Catatan Kompas, partisipasi masyarakat dan transparansi saat penyusunan rancangan undang-undang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 96 disebutkan, masyarakat, khususnya yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan, berhak memberikan masukan. Kemudian untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan, setiap rancangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Ketika beberapa waktu lalu beredar draf RUU Cipta Lapangan Kerja di masyarakat, penolakan mereka atas RUU tersebut kian kuat.
Pasalnya, banyak materi di dalamnya yang jika diimplementasikan bakal merugikan buruh. Sebagai contoh, aturan-aturan soal pembayaran upah per jam serta pengaturan pola hubungan kerja.
Hindun Mulaika dari Greenpeace Indonesia pun menganggap materi di dalam RUU itu hanya akan memberi karpet merah bagi investor. Di sisi lain, porsi untuk penyelamatan dan pelestarian lingkungan menjadi terabaikan.
Kepala Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan ICEL Isna Fatimah menambahkan, pembangunan berkelanjutan terancam karena di dalam RUU tak ada kewajiban investor untuk mengurus izin analisis dampak lingkungan (amdal). Padahal, amdal itu menjadi kontrol agar berdirinya perusahaan-perusahaan tidak merusak lingkungan.
Ketua Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan menjelaskan, RUU Cipta Lapangan Kerja merupakan upaya industrialisasi yang bakal menggencarkan alih fungsi lahan. Dengan demikian, hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan akan terus dibabat.
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan draf RUU Cipta Lapangan Kerja yang beredar di publik bukan draf RUU dari pemerintah. RUU itu sendiri masih proses finalisasi di pemerintah.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD ketika berkunjung ke Kompas, Kamis (30/1/2020), menyatakan draf RUU menurut rencana dikirimkan ke DPR untuk dibahas bersama dengan DPR pada Senin (3/2/2020).
Menurut Mahfud, pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja telah disertai dengan naskah akademik dan mendengar masukan dari kelompok buruh.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa RUU Cipta Lapangan Kerja mengatur tiga aspek utama ketenagakerjaan, yaitu upah minimum, pemutusan hubungan kerja, serta peningkatan perlindungan pekerja dan perluasan lapangan kerja.