Konsep Keesaan Tuhan Menyatukan
Terdapat hubungan antara satu agama dengan agama lain yang semakin dekat dalam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, egosentrisme dalam pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa masih terjadi hingga kini.
Terdapat hubungan antara satu agama dengan agama lain yang semakin dekat dalam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, egosentrisme dalam pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa masih terjadi hingga kini.
JAKARTA, KOMPAS — Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ditanamkan para pendiri bangsa sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri dalam sila pertama Pancasila. Namun, hingga kini masing-masing kelompok agama masih bersikukuh dengan keyakinan yang kaku tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan mereka cenderung saling menyalahkan satu sama lain.
Egosentrisme dalam pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya terjadi di antara penganut agama yang berbeda, tetapi juga di dalam internal agama yang sama. “Jangankan antar umat beragama, di antara sesama umat Islam saja kalau ditanya masing-masing orang memiliki definisi yang berbeda-beda tentang Tuhan Yang Maha Esa di kepala mereka,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar dalam acara Interfaith Dialogue Enjoying Diversity: Interfaith Perspective “Titik Temu Ketuhanan, Konsep dan Realitas” di Nasaruddin Umar Office, Jakata, Rabu (29/1/2020). Selain Nasaruddin, hadir pula sebagai pembicara rohaniwan Prof Franz Magnis-Suseno SJ. Dialog dipandu oleh Faried F Saenong.
Egosentrisme dalam pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya terjadi di antara penganut agama yang berbeda, tetapi juga di dalam internal agama yang sama.
Menurut Nasaruddin, kehadiran berbagai macam agama yang sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa boleh jadi sesungguhnya lebih banyak dibedakan oleh persoalan semantik dan hermeneutik. Jika dirunut dan dianalisa secara mendalam, terdapat hubungan antara satu agama dengan agama lain yang semakin dekat.
Ia mencontohkan, logika doktrin Trinitas dalam agama Kristiani dan Trimurti dalam agama Hindhu bisa dijelaskan melalui logika Ahaidiyah-Wahidiyah. Konsep Asma’ al-Husna berjumlah 99 tidak mesti bertentangan dengan keesaan Allah SWT. “Sesuatu yang berganda atau berbilang tidak mesti harus ditentangkan dengan konsep keesaan. Bilangan atau angka satu atau esa dalam dunia metafisik tidak sama dengan angka satu dalam dunia matematika,” ujarnya.
Demikian pula, bagi umat Kristiani, doktrin Trinitas sama sekali tidak menganggu konsep kemahaesaan Tuhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Hanya orang-orang di luar Kristen sering sulit memahami Tuhan mempunyai anak, karena dalam benak masyarakat, kata ‘anak’ masih selalu dihubungkan dengan anak biologis. Padahal, dalam bahasa Arab kata ‘ibn’ atau ‘son’ (bahasa Inggris) tidak selamanya berarti anak biologis. Kata anak bisa berarti simbol kedekatan atau representatif,” kata Nasaruddin.
Baca juga: Tokoh Agama Dunia Sepakat Interpretasikan Ulang Agama demi Perdamaian Dunia
Konsep Trimurti pada agama Hindu sesungguhnya juga bisa didekatkan dengan doktrin Islam. Apa yang digambarkan sebagai Tuhan atau Dewa Pencipta (Brahma) bisa dihubungkan dengan Allah SWT sebagai Tuhan Maha Pencipta (al-Khaliq). Demikian pula, Dewa Pemelihara (Wisnu) bisa dihubungkan dengan Allah SWT sebagai Tuhan Maha Pemelihara (Rabb) sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat, salah satunya Al-hamdu Lillah Rabb al-‘Alamin (Segala puji bagi Tuhan sekalian alam).
Dalam perspektif Buddhisme, terutama dalam kitab Sutta Pitaka, Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai Tuhan sesuatu yang tiak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, tapi keberadaanNya Maha Mutlak. Sementara itu, konsep ketuhanan dalam Khonghucu menggambarkan Tuhan dengan istilah Qian, subyek Yang Maha Ada, Maha Esa, Maha Sempurna, Khalik Semesta Alam, Maha Positif dan Proaktif.
Sistem kepercayaan lokal di Indonesia juga telah mengenal konsep Tuhan Yang Maha Esa. Epik Lagaligo sejak abad ke-6 bahkan menyebut masyarakat Bugis Makassar sudah ber-Dewata (Tuhan) Sewwa (Esa). “Sesungguhnya kita tidak berbeda-beda. Jika kita melihat bagaimana penyebutan, pendefinisian, dan substansi dari Ketuhanaan Yang Maha Esa di masing-masing agama serta kepercayaan, ternyata sama,” kata Nasaruddin.
Sila pemersatu
Menyikapi situasi keterpecahan di antara masyarakat, menurut Nasaruddin kebutuhan untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan sikap Ketuhanan Yang Maha Esa kian mendesak, baik pada masing-masing individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. “Pancasila berpuncak pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau pemahaman di sini tuntas, maka empat sila lainnya akan terpayungi. Tapi sebaliknya, jika pemahaman kita tentang Ketuhanan Yang Maha Esa bermasalah, maka otomatis empat sila lainnya akan bermasalah,” ucapnya.
Baca juga: Pancasila dan Cita-cita Proklamasi
Magnis mengatakan, sampai abad ke-20 hubungan Katolik dan Protestan saling mencurigai, tidak saling menyukai, saling menolak, dan saling membenci meskipun kedua agama tersebut menerapkan ajaran Yesus, yaitu tidak boleh membenci. Situasi ini berubah pada abad ke-20 saat munculnya Komunisme dan Nazi yang merekatkan hubungan kedua agama itu.
Dalam Konsili Vatikan II (1962-1965) muncul pernyataan resmi bahwa Gereja Katolik yakin keselamatan atau surga ditawarkan oleh Allah kepada siapa saja yang berusaha hidup menurut suara hati, tidak hanya untuk mereka yang dibabtis, tidak hanya bagi yang monoteis tetapi bagi siapa saja.
“Kalau orang di luar gereja bisa masuk ke surga, maka tidak perlu mati-matian mengajak mereka masuk ke gereja. Hal ini punya dampak yang luas pada sikap dan membuat perasaan saya lebih rileks. Saya yakin Tuhan mencintai semua manusia dan tidak khawatir dengan mereka,” kata Magnis.
Konsili Vatikan II juga menghasilkan kesepakatan bahwa yang benar dan suci di agama-agama lain harus dihormati umat Katolik. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik juga menulis bahwa Roh Allah ada di mana saja, di luar Gereja, di hati setiap orang entah pada agama apa pun. Karena itulah, seharusnya orang-orang Katolik bersikap positif terhadap agama-agama lain.
Dialog lintas agama semestinya tidak hanya digelar di antara tokoh-tokoh agama/kepercayaan yang sepaham saja, tetapi juga dengan yang tidak sepaham.
Tokoh Konghucu Budi S Tanuwibowo mengingatkan, dialog lintas agama semestinya tidak hanya digelar di antara tokoh-tokoh agama/kepercayaan yang sepaham saja, tetapi juga dengan yang tidak sepaham. Selain dialog, para tokoh agama/kepercayaan juga perlu turun ke bawah karena faktanya banyak rakyat dibohongi oleh konsep-konsep keagamaan justru memecah-belah.
Baca juga: Interaksi Lintas Agama Abrahamik Untuk Melawan Kebencian
Dalam kesempatan sama, Pastor Agustinus Heri Wibowo Pr mengatakan, konsep keesaan Tuhan menjadi titik temu antar penganut agama dan kepercayaan. Di sinilah, mereka semestinya bisa lebih mengerti dan saling memahami.
“Kadang yang terjadi justru saling menyerang, bukan saling menghargai. Dialog teologis semestinya bukan untuk menyerang tetapi untuk saling menghargai karena kita sama-sama mengerti dengan (pijakan) titik dasar yang sama,” kata dia.