Tahun 2019, Aceh Kehilangan 15.140 Hektar Tutupan Hutan
›
Tahun 2019, Aceh Kehilangan...
Iklan
Tahun 2019, Aceh Kehilangan 15.140 Hektar Tutupan Hutan
Sepanjang 2019 laju deforestasi hutan di Provinsi Aceh mencapai 15.140 hektar atau setara dengan 14.000 kali lapangan sepakbola profesional. Sebagian besar kerusakan dipicu perambahan perkebunan dan pembalakan liar.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Sepanjang tahun 2019 laju deforestasi hutan di Provinsi Aceh mencapai 15.140 hektar atau setara dengan 14.000 kali lapangan sepakbola profesional. Kerusakan hutan sebagian besar dipicu perambahan perkebunan dan pembalakan liar.
“Kerusakan hutan tahun 2019 sekitar 15.140 hektar. Lebih luas ketimbang tahun sebelumnya 15.071 hektar,” kata Agung Dwinurcahya, manager Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) dalam jumpa pers, di Banda Aceh, Kamis (30/1/2020).
Yayasan HAkA melakukan pemantauan secara berkala terhadap keadaan hutan Aceh melalui citra satelit Landsat NASA, Sentinel, Planet, GLAD alerts dari Global Forest Watch (GFW), dan Google Earth. Setelah mengamati melalui citra satelit, tim Yayasan HAkA memverifikasi ke lapangan. Di lapangan mereka menemukan kawasan hutan dirambah.
Berdasarkan data yang dirilis Yayasan HAkA tahun-tahun sebelumnya, sejak 2015 hingga 2019, akumulasi hutan Aceh yang rusak mencapai 90.147 hektar. Kerusakan paling besar terjadi tahun 2016 mencapai 21.060 hektar. Kini tutupan hutan Aceh yang tersisa seluas 2.980.212 hektar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 103/MenLHK/2015 luas total kawasan hutan Aceh 3.557.928 hektar. Kawasan hutan Aceh terbagi dalam hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, hutan produksi terbatas, hutan konservasi, dan area penggunaan lain.
Pada 2019, kawasan hutan yang rusak tersebar di 20 kabupaten/kota. Deforestasi terbesar terjadi di Aceh Tengah (2.416 hektar), Aceh Utara (1.815 hektar), Aceh Timur (1.547 hektar), dan Gayo Lues (1.228 hektar).
Sebagian besar atau 60 persen kerusakan berada dalam kawasan hutan lindung, taman nasional, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas, sedangkan 40 persen berada dalam area penggunaan lain. Pada beberapa daerah seperti Aceh Timur, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Nagan Raya, hutan yang rusak masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Direktur Konservasi Yayasan Ekosistem Leuser Yakob Ishadami menuturkan, kerusakan hutan telah memicu bencana alam banjir dan kekeringan. Pada 2018, terjadi banjir sebanyak 87 kali, atau meningkat menjadi 121 pada 2019.
“Kawasan paling sering banjir dan longsor adalah Woyla Timur, Kabupaten Nagan Raya. Sedangkan kawasan yang sering dilanda kekeringan Darul Imarah dan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar,” kata Yakob.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Syahrial mengungkapkan, pembalakan liar masih menjadi ancaman terhadap hutan Aceh. Oleh karena itu, pemerintah daerah akan meningkatkan pengamanan.
Tahun ini, polisi hutan di Aceh akan diberikan senjata api. Anggaran sebesar Rp 1,39 miliar dialokasikan untuk membeli 16 pucuk senjata laras pendek dan 16 pucuk senjata laras panjang serta sejumlah perlengkapan lain.
“Polhut dan penyidik pegawai negeri sipil dilengkapi senjata tajam dan bayonet. Bertugas di tengah rimba raya tanpa senjata, selain penuh risiko, juga kurang efektif saat berhadapan dengan para pembalak liar,” kata Syahrial.