Kebijakan pelonggaran kuantitatif oleh bank sentral negara maju dinilai bisa menarik likuiditas modal asing mengalir ke surat utang negara. Obligasi korporasi pun memiliki potensi kenaikan pangsa pasar hingga 7 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah sentimen eksternal yang bersumber dari bank sentral global membuat pasar surat utang dalam negeri semakin prospektif tahun ini. Selisih imbal hasil antara obligasi dalam negeri dan surat utang yang diterbitkan di negara lain menjadi daya tarik utama instrumen ini.
Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menilai kebijakan relaksasi moneter bank sentral di negara-negara ekonomi maju, termasuk bank sentral Amerika Serikat, The Fed, berimbas positif terhadap prospek surat utang negara Indonesia.
”Di saat negara maju menurunkan suku bunga dan menggelontorkan likuiditas, negara berkembang akan terkena imbas positif, yakni pembayaran pokok utang yang lebih ringan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Pada rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), 29 Januari 2020 waktu setempat, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 1,5 persen hingga 1,75 persen. Gubernur The Fed Jerome Powell juga memberi sinyal kebijakan suku bunga rendah akan dipertahankan sementara waktu hingga inflasi mencapai target.
Selain The Fed, kebijakan bank sentral global, seperti Jepang dan Eropa, cenderung kooperatif, di samping mengindikasikan tren penurunan suku bunga masih akan berlanjut di 2020.
Kebijakan pelonggaran kuantitatif oleh bank sentral negara maju, menurut Budi, bisa menarik likuiditas modal asing mengalir ke surat utang negara (SUN). Terlebih lagi, imbal hasil SUN Indonesia masih lebih menarik dibandingkan dengan negara berkembang lain.
”Berbagai kondisi eksternal tersebut mendorong ketertarikan investor terhadap surat utang masing-masing negara dalam beberapa waktu mendatang. Surat utang kita paling cantik karena selisih imbal hasil yang masih besar,” ujarnya.
Di sepanjang Januari 2020, aliran dana asing yang masuk ke pasar surat utang Tanah Air masih sangat baik. Kondisi ini ditopang selisih imbal hasil antara SUN dan US Treasury yang mencapai 500 basis poin.
Mengutip Bloomberg, imbal hasil seri FR0082 yang merupakan patokan SUN bertenor 10 tahun ada di level 6,8 persen.
Bahana TCW Investment Management memproyeksikan hingga akhir tahun imbal hasil dari SUN bertenor 10 tahun akan ada di 6 persen-7 persen. Dengan tingkat imbal hasil ini, keuntungan investasi SUN per Desember 2020 diproyeksikan akan mencapai 10 persen dibandingkan dengan Desember 2019.
Selain SUN, Budi optimistis surat utang korporasi pada 2020 akan tumbuh lebih baik ketimbang pada 2019. Obligasi korporasi memiliki potensi kenaikan pangsa pasar hingga 7 persen seiring meningkatnya minat investor terhadap surat utang.
”Hanya saja secara eksternal beberapa tantangan yang masih akan menghantui daya tarik surat utang Indonesia, seperti perkembangan negosiasi dagang antara AS dan China, serta penanganan penyebaran virus korona,” ujarnya.
Sepanjang 2020, pemerintah akan menerbitkan delapan instrumen surat berharga negara (SBN) ritel dengan target indikatif sebesar Rp 50 triliun. Kedelapan instrumen itu terdiri dari SBR, sukuk tabungan, sukuk ritel, obligasi ritel Indonesia (ORI), dan diaspora bond.
Obligasi swasta
Setidaknya, hingga pengujung Januari 2020, terdapat dua bank pelat merah yang sudah merencanakan penerbitan instrumen obligasi dalam denominasi dollar AS tahun ini. Kedua bank ini adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Bank Mandiri berencana merilis global bond senilai 1,25 miliar dollar AS atau setara Rp 17,5 triliun dengan asumsi kurs rupiah. Adapun Bank BTN berencana merilis junior global bond senilai 300 juta dollar AS (Rp 4,2 triliun).
Direktur Treasury dan International Banking Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, penerbitan obligasi global ini menjadi opsi pendanaan nonkonvensional untuk ekspansi kredit di tengah tren penurunan suku bunga acuan global.
”Ini menjadi bagian penerbitan obligasi adalah kelanjutan dari total penawaran umum berkelanjutan Bank Mandiri di tahun 2019 dengan target emisi sebesar 2 miliar dollar AS (Rp 24 triliun),” ujarnya awal pekan ini.
Sementara itu, Direktur Finance, Planning, & Treasury BTN Nixon LP Napitupulu menyatakan, penerbitan instrumen surat utang ini bertujuan untuk mempertebal rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perseroan di level 19 persen tahun ini.