Virus Korona Pukul Dunia Pariwisata
Kinerja ekonomi China dan beberapa negara Asia lain yang ditopang oleh sektor pariwisata, penerbangan, ritel, dan hiburan menghadapi ancaman akibat penyebaran virus korona tipe baru
Virus corona yang bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, per 29 Januari 2020 tercatat menewaskan 132 orang dari 5.974 total kasus yang ditemukan. Kinerja ekonomi China dan beberapa negara Asia lain yang ditopang oleh sektor pariwisata, penerbangan, ritel, dan hiburan menghadapi ancaman.
Banyak penerbangan yang dibatalkan, baik masuk ataupun keluar dari China, begitu pula perjalanan wisata karena Pemerintah China melarang tur kelompok, baik domestik maupun perjalanan ke luar negeri. Tak pelak, restoran pun harus ditutup sementara, jutaan orang harus tinggal di dalam rumah selama liburan Imlek Tahun Baru China untuk mencegah penularan lebih lanjut virus korona.
Maskapai penerbangan internasional, mulai dari China Airlines milik Taiwan hingga Scoot milik Singapura, membatalkan penerbangan ke dan dari Wuhan. Menurut data dari perusahaan analitik data penerbangan Cirium, Wuhan menjadi tuan rumah bagi 55 penerbangan internasional setiap minggu dari sekitar 20 negara.
Sementara AirAsia dan Cathay Pacific juga menangguhkan penerbangan dari Wuhan. Pada Minggu (26/1/2020), Cathay Pacific memperpanjang penangguhan penerbangannya ke dan dari Wuhan hingga akhir Maret 2020 dan mengizinkan karyawan bandara dan kru pesawat mengenakan masker wajah.
AirAsia membatalkan semua penerbangan dari Kota Kinabalu di Malaysia, Bangkok dan Phuket menuju Wuhan hingga 28 Januari 2020. Hal ini mengakibatkan tiga penerbangan ditangguhkan setiap hari berdasarkan jadwal frekuensi mingguan mereka.
Penumpang ditawarkan pengembalian uang penuh, dan kesempatan memesan tanggal perjalanan baru dalam 30 hari, atau mengkredit akun AirAsia untuk digunakan dalam 90 hari. Tidak ada satu pun maskapai yang menjawab langsung pertanyaan tentang biaya yang mungkin mereka keluarkan dari penangguhan penerbangan harian mereka ke Wuhan.
Situasi itu menyebabkan saham Cathay Pacific, yang berpusat di Bandara Internasional Hong Kong, turun lebih dari 3 persen. Maskapai itu mengatakan akan ”mengurangi secara progresif” penerbangan ke dan dari China daratan, mulai dari 30 Januari hingga akhir Maret 2020. Air China juga turun 3 persen.
Dampak signifikan
Secara umum, merebaknya virus korona di Wuhan dan kemudian menyebar ke sejumlah negara diperkirakan ”mengganggu” target pertumbuhan ekonomi Wuhan yang terbilang cepat. Tahun ini, diperkirakan pertumbuhan ekonomi kota itu mencapai angka 7,8 persen. Sebagai catatan, Wuhan adalah pilar utama pertumbuhan China yang kini tengah lesu. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi negara itu hanya akan berkisar pada angka 6 persen.
Dengan merebaknya virus korona—yang disusul dengan penghentian sementara aktivitas transportasi—prospek pembenahan ekonomi China pun memerlukan energi lebih besar. Posisi saat ini—dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi di angka 6 persen—adalah yang terlemah dalam 29 tahun terakhir.
Al Jazeera melaporkan, Pemerintah China mengatakan bahwa Kementerian Keuangan dan Komisi Kesehatan Nasional telah menambah 60,33 miliar yuan (8,74miliar dollar AS/Rp 119 triliun) untuk membantu mengendalikan virus korona.
Menurut Rajiv Biswas, Kepala Ekonom untuk Asia Pasifik di IHS Markit, karena pengeluaran konsumsi telah menjadi pendorong pertumbuhan paling penting bagi ekonomi China dalam beberapa tahun terakhir, risiko jangka pendek adalah dampak negatif virus terhadap konsumen China. ”Dengan tempat hiburan di China, termasuk sekitar 11.000 bioskop dan resor besar, seperti Disneyland Park di Shanghai, yang terpaksa ditutup karena virus korona, maka dampak negatif langsung pada industri hiburan China sudah signifikan,” kata Biswas.
Negara-negara Asia Pasifik lainnya juga rentan terhadap perlambatan ekonomi lebih lanjut di China, serta penurunan wisatawan China. ”Peningkatan cepat dalam pendapatan rumah tangga di China telah memicu lonjakan kunjungan wisata warga China ke luar negeri, yang telah meningkat dari 20 juta kunjungan pada 2003 menjadi 150 juta pada 2018. Akibatnya, ekonomi Asia Pasifik menjadi rentan terhadap perlambatan kunjungan pariwisata warga China yang telah meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir,” kata Biswas.
Pariwisata
Dunia pariwisata jelas terkena dampak merebaknya virus korona ini. Pada Senin (27/1/2020), saham operator tur di Thailand dan Jepang jatuh karena Pemerintah China melarang warganya mengikuti tur kelompok ke luar negeri untuk menahan penyebaran virus korona.
Singapura juga bersiap menghadapi dampak ekonomi dari virus ini. ”Kami harus siap menghadapi dampak ekonomi, bisnis, dan kepercayaan konsumen pada tahun ini, terutama karena situasinya diperkirakan bertahan untuk beberapa waktu,” kata Menteri Perdagangan Singapura Chan Chun Sing pada konferensi pers multilembaga hari Senin lalu.
Chan mengatakan, Pemerintah Singapura sedang mempertimbangkan langkah-langkah dukungan untuk sektor-sektor yang terpukul keras seperti pariwisata. Warga China merupakan pengunjung terbanyak ke Singapura, yakni seperlima dari total kunjungan turis atau bisnis yang masuk ke Singapura.
Dampak virus korona ini akan dirasakan sektor pariwisata Singapura dalam beberapa bulan mendatang dan mungkin ”membayangi” pertumbuhan ekonomi negara itu untuk kuartal pertama. Namun, dengan ketidakpastian yang masih berputar-putar mengenai keparahan dan penyebaran virus, menurut beberapa ekonom, seperti dikutip CNA, masih terlalu dini mengatakan seberapa besar dampak virus itu terhadap ekonomi Singapura secara keseluruhan.
Hingga Selasa (28/1), Singapura telah mengonfirmasi tujuh kasus virus korona dengan penderita asal China.
Ekonom CIMB Private Banking, Song Seng Wun mengatakan bahwa dampak pada pariwisata ini kemungkinan mulai terlihat setelah bulan depan, terutama setelah pihak berwenang di China mengumumkan penghentian semua tur kelompok, baik di dalam negeri maupun ke negara-negara lain, yang berlaku mulai Senin (27/1).
Satu agen perjalanan telah mengalami banyak pembatalan tur kelompok wisatawan China selama beberapa hari terakhir. Direktur hubungan masyarakat dan komunikasi Dynasty Travel Alicia Seah mengatakan, pemesanan tur kelompok dari China untuk Februari 2020 semuanya telah dibatalkan.
Song Seng Wun mengatakan, pembatalan tur kelompok itu akan memengaruhi sektor garis depan, seperti ritel serta konsumsi (makanan dan minuman). ”Semakin lama larangan ini diberlakukan, semakin besar dampaknya. Dan jika perkembangan selama bulan depan terbukti tidak menguntungkan, maka bukan hanya turis yang datang lebih sedikit, tetapi lebih jauh juga akan berdampak pada sektor-sektor terkait pariwisata di sini,” kata Song Seng Wun.
Selena Ling, Kepala Riset dan Strategi Keuangan OCBC, mengatakan bahwa pembatalan tur, bersamaan dengan kepercayaan pada bisnis dan ekonomi, setelah wabah virus korona kemungkinan akan ”membayangi” momentum pertumbuhan ekonomi Singapura di kuartal I-2020.
Tidak hanya Singapura yang terkena dampak pembatalan tur kelompok dari China. Thailand yang menjadi negara tujuan favorit turis China pun juga terkena dampak pembatalan kunjungan turis dari China itu.
Otoritas Pariwisata Thailand (TAT) mengatakan, jumlah wisatawan China ke Thailand diperkirakan turun hingga 2 juta kunjungan, dari 11 juta kunjungan menjadi 9 juta kunjungan. Larangan tur kelompok tersebut jelas menghantam turisme di Thailand karena tur kelompok itu merupakan sumber pengunjung terbesar wisatawan asing ke Thailand.
Kementerian Pariwisata Thailand memperkirakan, berkurangnya perjalanan kunjungan wisatawan China ke Thailand akan mengakibatkan hilangnya pendapatan pariwisata Thailand sebesar 50 miliar baht setara dengan 1,52 miliar dollar AS atau sekitar Rp 20,7 triliun.
Gubernur TAT Yuthasak Supasorn TAT akan mengusulkan langkah-langkah kepada pemerintah untuk membantu industri pariwisata Thailand. Indonesia pun kemungkinan akan menghadapi persoalan serupa.
(AFP/REUTERS)