Berjibaku Menyiasati Genangan Banjir

Ratusan warga Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Sidoarjo, Jawa Timur, hidup di tengah genangan banjir selama berhari-hari, bahkan ada yang hampir sebulan. Mereka berjibaku menyiasati genangan air demi bertahan hidup.

KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI

Khuriyati (45) membersihkan rumahnya dari air yang menggenangi rumahnya di Desa Banjarasri, Tanggulangin, Sidoarjo, Jatim, Selasa (28/1/2020). Sudah dua minggu seluruh area rumahnya tergenang air dari ruang tamu hingga dapur dan dari kamar hingga sumur.

Dengan bertelanjang kaki, Nur Habibah (55) beraksi seorang diri, Selasa (28/1/2020). Tangan kanan memegang gayung, sementara tangan kiri memegang ember. Tangan kiri itu bergerak cekatan menciduk air yang menggenangi seluruh sudut rumahnya nyaris tanpa tersisa. Dari ruang tamu hingga dapur, serta dari kamar hingga sumur.

Habibah bergegas mengangkat ember yang sudah penuh dan membuang airnya di jalanan depan rumah yang juga dipenuhi genangan banjir. Dia lantas kembali masuk rumah membawa ember kosong dan melanjutkan aktivitasnya ”menguras” genangan. Aktivitas menguras air yang sejatinya sia- sia itu menjadi rutinitas baru selama hampir sebulan atau sejak musim hujan datang pada awal tahun.

”Paling parah dua minggu belakangan. Air seperti nyumber (menyembur) dari mana- mana, terus-menerus. Saat malam tiba, air tambah tinggi. Meskipun sudah empat hari belakangan ini tidak turun hujan, air tetap tak berkurang,” ujar warga Desa Banjarasri ini.

Kendati aksinya menguras genangan sia-sia, perempuan ini tak pernah putus asa. Setiap kali ada waktu luang di sela kesibukannya mengurus rumah tangga, dia pasti menyempatkan menguras air di dalam rumahnya. Alasannya, agar air selalu ”baru” sehingga rumahnya tetap ”bersih” tak berlumut.

Apabila ditambah aliran air dari jalanan, rumah bisa kebanjiran lagi.

Masih pada waktu yang sama, sekitar 500 meter dari rumah Habibah, Khusnul Khotimah (63) sibuk menata tanah dan bebatuan di pintu gerbang rumahnya. Sehari sebelumnya, dia bersama anak lelakinya menguruk bagian bawah pintu gerbang dengan tanah yang didatangkan perusahaan swasta untuk membantu warga korban banjir.

”Ditutup pintunya pakai tanah agar air yang menggenang di jalanan tidak masuk ke halaman rumah sebab halaman sudah penuh air. Apabila ditambah aliran air dari jalanan, rumah bisa kebanjiran lagi,” ucap Khusnul.

Hampir dua pekan halaman rumah Khusnul tergenang. Hanya ruang tamunya yang kering. Itu pun setelah empat hari tidak hujan. Air masih menggenang di kamar dan dapur. Genangan itu berwarna coklat kehijauan penuh lumut dan menyebabkan lantai menjadi licin. Perempuan lansia itu tak punya cukup tenaga untuk menguras air sehingga dia memilih membendungnya.

Sementara itu, beberapa meter dari rumah Khusnul, sejumlah siswa SMPN 2 Tanggulangin berjalan dengan hati-hati melewati genangan banjir. Meski sekolahnya masih terendam, para generasi muda calon pemimpin bangsa ini tetap bersemangat tinggi menimba ilmu dari para guru.

Ada yang belajar di teras dan di dalam masjid tanpa meja tanpa bangku. Ada juga yang belajar di ruang keterampilan dan aula pertemuan. Hampir sebulan, para siswa tak berolahraga karena lapangan mereka tergenang air setinggi 60 sentimeter (cm). Di dalam ruang kelas, ketinggian genangan 20-30 cm.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Siswa menghindari banjir yang menggenangi gedung SMP Negeri 2 Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa (28/1). Banjir melanda daerah ini selama hampir dua minggu. Sebanyak 7 dari 22 ruang di sekolah itu tergenang air setinggi hingga 30 sentimeter.

Guru Bahasa Indonesia, yang juga Asisten Sarana dan Prasarana SMPN 2 Tanggulangin, Syamsul Anam, mengatakan, total ada 15 ruang yang terendam banjir, tujuh kelas di antaranya ruang belajar siswa. Ruang kelas lainnya tidak terendam karena lantainya sudah ditinggikan hingga 60 cm setelah kebanjiran tahun lalu.

Selama sekolah tergenang, aktivitas belajar dipadatkan. Jam pelajaran yang sebelumnya 40 menit per mata pelajaran dikurangi menjadi 35 menit agar siswa pulang sebelum dhuhur. Siswa diharapkan beribadah shalat di rumah karena kondisi di sekolah tidak memungkinkan.

Guru Informatika Asyri Basuki menjelaskan selain terbatasnya air bersih, kamar mandi sekolah juga tak berfungsi maksimal karena terendam banjir. Lingkungan sekolah yang dikepung genangan sangat tidak sehat dan menyebabkan siswa rentan terserang penyakit.

Dampak banjir

Berdasarkan data yang dihimpun Pemkab Sidoarjo dan masyarakat, jumlah warga terdampak banjir total mencapai 803 keluarga, dengan rincian 462 keluarga di Desa Banjarasri dan 341 keluarga di Desa Kedungbanteng. Adapun ketinggian genangan banjir bervariasi 30-70 cm.

Kendati rumahnya kebanjiran, warga tidak mengungsi. Mereka memilih bertahan di dalam rumah meski kondisinya tidak layak karena air berdiam di dalam rumah, tidak mengalir. Air itu menyatu dengan limbah rumah tangga, limbah manusia, serta kotoran hewan ternak, seperti ayam, kambing, dan tikus got.

Pada saat bersamaan, masyarakat terdampak banjir kesulitan menjaga kebersihan karena air bersih terbatas. Sumur tercemar sehingga mereka harus membeli air bersih seharga Rp 2.000 per jeriken berkapasitas 20 liter. Air itu diprioritaskan untuk mandi bayi dan anak-anak, memasak, dan mencuci piring.

Kondisi itu berdampak pada kesehatan masyarakat. Sebagai gambaran, data di posko kesehatan Desa Banjarasri tercatat 43 orang yang berobat dengan keluhan gatal-gatal, demam, batuk, pilek, serta diare.

Diah (38), salah satu warga Banjarasri, berobat karena gatal di kaki setelah tiada hari tanpa terendam. Namun, seperti mayoritas warga lainnya, Diah pada akhirnya memilih mengabaikan penyakitnya setelah obat yang diberikan tim medis habis.

Selain mengganggu sektor pendidikan dan menimbulkan masalah kesehatan, banjir juga memukul perekonomian warga. Pengeluaran membengkak, sementara sebagian warga tak bisa bekerja. Eny Rahayu (47), warga Banjarasri, mengaku tak dapat penghasilan karena bengkel mesin bubutnya terendam banjir.

Ketua RT 005 RW 002 Desa Banjarasri Rizalun Mashudi mengatakan, dari 120 keluarga di lingkungannya, mayoritas mereka bekerja sebagai petani, buruh tani, dan petambak. Mereka tak bisa bekerja karena sawah dan tambak terendam. Mencari pekerjaan lain juga tidak mudah.

”Banjir sebenarnya bukan hal baru karena terjadi rutin setiap tahun. Masyarakat sebenarnya tidak tinggal diam. Namun, kali ini yang terparah sehingga semua siasat warga seakan tak berguna,” ujar Rizalun.

Siasat yang dimaksud antara lain meninggikan lantai rumah untuk mencegah genangan. Bahkan, di dua desa itu, banyak dijumpai teras rumah warga yang lebih tinggi dari lantai di dalam rumah. Akan tetapi, faktanya banjir tetap masuk rumah dan betah berlama-lama.

Siasat lain adalah menguruk jalan di permukiman yang terendam banjir agar akses lalu lintas kembali terbuka. Hal itu ditempuh demi menggerakkan kembali roda ekonomi, seperti usaha warung, bengkel, jasa cuci pakaian, dan usaha pertanian. Walakin, hal itu justru mengalihkan air ke rumah warga.

Kompas/Bahana Patria Gupta

Siswa melewati karung berisi pasir untuk menghindari banjir di SMP Negeri 2 Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa (28/1/2020). Banjjir yang melanda sudah berlangsung hampir dua minggu. 7 dari 22 ruang di sekolah tersebut kebanjiran dengan ketinggian mencapai 30 cm. Siswa yang ruangannya terdampak terpaksa belajar di masjid, ruang ketrampilan, ruang perpustakaan, dan ruang pertemuan. Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)

Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo, Mimik Idayana, mengatakan, banjir disebabkan saluran air yang buntu di mana-mana. Sungai yang melintasi dua desa tersebut penuh sampah rumah tangga, seperti bungkus makanan dan kemasan minuman, terutama popok bayi sekali pakai.

Sedimentasi sungai tinggi karena bertahun-tahun tak dikeruk. Pengerukan sungai tak bisa dilakukan karena bantaran sungai diokupasi bangunan liar milik warga, seperti warung kopi, warung makan, jembatan, dan rumah tinggal. Akibatnya, air hanya berputar-putar di permukiman warga.

Menurut dia, penanganan banjir tak bisa dilakukan secara spasial oleh warga. Hal itu berpotensi memicu masalah baru. Banjir harus ditangani secara komprehensif hulu-hilir dengan mencari akar masalahnya. Pemerintah harus turun tangan.

Camat Tanggulangin Sabino Mariano mengatakan, pihaknya menginisiasi kerja bakti massal untuk membersihkan sampah dari saluran pembuangan Gedangrowo. Kerja bakti yang melibatkan ratusan relawan dari berbagai instansi itu berhasil mengangkat sampah dari permukaan saluran sebanyak enam truk.

Namun, kerja bakti itu bukan tujuan utama sebab sumber masalahnya adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan dari cemaran sampah. Selain itu, semua sungai dan saluran yang melintasi desa harus dinormalisasi. Masalahnya, untuk menormalisasi, butuh alat berat guna mengeruk sedimentasi yang mengeras selama bertahun-tahun. Alat berat itu butuh akses agar bisa menjangkau dasar sungai.

Sabino mengatakan, pihaknya meminta pemerintah desa mendata bangunan liar di bantaran sungai dan saluran. Hasil pendataan itu akan menjadi dasar pengambilan kebijakan penertiban oleh pemerintah daerah. Sebab, tanpa normalisasi sungai dan saluran pembuangan, mustahil mengusir banjir.

Sebaliknya, banjir akan semakin parah karena daya dukung lingkungan yang semakin lemah. Apabila hal itu terjadi, bisa dipastikan warga harus lebih keras lagi berjibaku menyiasati serangan genangan yang datang dari berbagai penjuru setiap waktu.