Menilik Politik Dekonstruksi
100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Amin dapat dipahami dalam sudut pandang dekonstruksi, antara lain dapat dipahami dengan beberapa penanda, seperti masuknya rival politik di Pilpres 2014. Kekhawatiran pun muncul.
Seratus hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin diwarnai respons beragam. Ada yang khawatir kebebasan sipil memburuk. Ada yang optimistis melihat terobosan.
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin memasuki 100 hari pertama. Ada yang menyebut langkah politiknya berani, ada pula yang cenderung skeptis.
Seratus hari pertama pemerintahan Jokowi-Amin dapat dipahami dalam sudut pandang dekonstruksi. Hal ini antara lain dapat dipahami dengan beberapa penanda, seperti masuknya rival politik Jokowi di Pemilihan Presiden 2014 dan Pilpres 2019, Prabowo Subianto, sebagai Menteri Pertahanan. Partai Gerindra lalu menjadi koalisi pendukung pemerintah.
Selain itu, ada Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berencana merealisasikan konsep merdeka belajar. Selain itu, juga ada pembagian ”posisi” bagi mantan tim sukses dan perwakilan partai politik pendukung, serta pemilihan staf-staf khusus Presiden dari kalangan milenial. Kabinet Indonesia Maju juga masih berusaha menyelesaikan draf empat omnibus law—RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara. Hal ini dilakukan sembari merencanakan pemindahan ibu kota negara ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
"Kabinet Indonesia Maju juga masih berusaha menyelesaikan draf empat omnibus law—RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara. Hal ini dilakukan sembari merencanakan pemindahan ibu kota negara ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur"
Di sisi lain, keraguan dan kritik atas pemerintahan Jokowi-Amin membayang. Sebab, kebebasan sipil dan berpendapat dinilai memburuk. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebutkan, sepanjang 2019, tercatat lebih dari 6.000 orang ditangkap karena berunjuk rasa dan setidaknya 51 orang meninggal dalam demonstrasi.
Pelibatan aparat pertahanan dan keamanan makin nyata pada berbagai urusan sipil. Kriminalisasi warga yang mempertahankan lahan dari proyek pembangunan pabrik ataupun jalan terus terjadi. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu tak kunjung diselesaikan. Karena itu, Asfinawati menyebut Presiden Jokowi seakan membawa masyarakat kembali ke Orde Baru.
Baca Juga: Tak Ada Target 100 Hari
Perdebatan dan upaya memahami langkah-langkah Presiden Jokowi dan Wapres Amin di masa-masa awal sejak dilantik pada 20 Oktober 2019 dibahas dalam tayangan Satu Meja bertajuk ”Politik ’Bongkar’ ala Jokowi” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo di Kompas TV, Rabu (29/1/2020).
Selain Asfinawati, acara ini juga menghadirkan pengajar komunikasi politik Universitas Indonesia Lely Aryani, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, dan politikus PDI-P Ansy Lema.
Fahri menunjukkan pembantu dan pendukung Presiden tak selalu bisa menerjemahkan apa yang diinginkan pemimpinnya secara tepat, apalagi menyampaikan narasinya kepada publik secara jelas.
Keinginan Presiden menggelar karpet merah pada investasi yang memerlukan stabilitas, diinterpretasikan sebagai pengetatan kontrol pada pikiran masyarakat dan kebebasan sipil. Akibatnya, kecemasan publik atas kelahiran otoritarianisme baru muncul. Terobosan hukum melalui undang-undang sapu jagat, omnibus law, juga ditarget sangat ambisius.
"Akses pada draf RUU masih sangat terbatas. Kelompok buruh beberapa kali berunjuk rasa. Akibat ketertutupan ini, disinyalir beberapa hak normatif, seperti upah minimum, tak ada lagi"
Jubir Presiden Fadjroel Rachman menyebutkan harapan Presiden, pembahasan omnibus law rampung dalam 100 hari kerja. Namun, sampai saat ini, penyempurnaan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja tak kunjung rampung, sehingga surat presiden sebagai pengantar pengajuan RUU ini ke DPR tak juga terbit.
Sejauh ini, Presiden Jokowi mengatakan, baru Surat Presiden RUU Perpajakan yang sudah ditandatangani.
Kendati RUU Cipta Lapangan Kerja disiapkan untuk mendorong investasi yang akhirnya diharapkan menciptakan lapangan kerja, penyiapannya dinilai relatif tertutup. Akses pada draf RUU masih sangat terbatas. Kelompok buruh beberapa kali berunjuk rasa. Akibat ketertutupan ini, disinyalir beberapa hak normatif, seperti upah minimum, tak ada lagi.
Fadjroel membantah hal itu. Dia bahkan menyebut isu tersebut sebagai khayalan. Sebab, sudah tak ada pasal tersebut di draf RUU Cipta Lapangan Kerja. Dia juga mengatakan, draf RUU itu masih berkembang. Untuk itu, pembahasan terbuka baru akan dilakukan di DPR.
Pembelaan kepada Presiden juga dilakukan Ansy. ”Proses legislasi masih berlangsung. Proses harus transparan dan partisipatif. Kita isi ruang publik dengan diskursus sehingga omnibus law sesuai kepentingan kita sebagai sebuah bangsa,” ujarnya.
Omnibus law, menurut Ansy, sekaligus mendorong negara hadir sebagai ’strong state’. Untuk itu, negara tidak boleh tunduk kepada pengusaha dan harus melindungi pekerja.
Frustrasi
Ambisi besar Presiden Jokowi untuk menyelesaikan empat omnibus law dalam seratus hari bisa dipahami. Rasa frustrasi Jokowi atas tumpang-tindihnya regulasi sudah dialami sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI, bahkan lima tahun menjadi Presiden. Salah satu titik baliknya adalah saat Bank Dunia menyebut investasi keluar dari China, tetapi tidak masuk ke Indonesia, melainkan ke Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Filipina.
Apalagi, kata Yunarto, Jokowi saat ini tak lagi malu-malu menampilkan identitasnya sebagai penganut teori neodevelopmentalis, modernisasi, dan reformasi struktural yang menempatkan transformasi ekonomi, serta deregulasi dan debirokratisasi sebagai panglima. Namun, menyadari pendeknya ’masa pakai’ koalisi besar, seperti pernah dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diharapkan semua bisa dirampungkan secepat-cepatnya.
Baca Juga: Tugas Berat Menanti Pemerintahan Jokowi
Kendati demikian, langkah cepat ini bisa tak berdampak positif tanpa komunikasi yang baik. Apalagi, Jokowi yang disebut Lely sebagai penganut interaksi simbolik memberikan pesan-pesan dalam potongan- potongan kecil satu per satu. Ketika komunikasi politik ini tak bisa dinarasikan dan diterjemahkan secara baik, bisa muncul kegagalan komunikasi.
"Jokowi saat ini tak lagi malu-malu menampilkan identitasnya sebagai penganut teori neodevelopmentalis, modernisasi, dan reformasi struktural yang menempatkan transformasi ekonomi, serta deregulasi dan debirokratisasi sebagai panglima"
Di sisi lain, Yunarto menilai, Presiden Jokowi berani bertaruh untuk politik akomodatif. Hal ini terbukti dengan dirangkulnya Partai Gerindra dan Prabowo sebagai salah satu menteri istimewa. ”Tinggal bagaimana menjaga arah tidak salah sehingga pengorbanan yang sudah dilakukan dengan politik akomodatif dan kompromi besar-besaran tidak kontraproduktif,” ujarnya.
Untuk itu, tambah Yunarto, diperlukan keberanian orang- orang di sekitar Jokowi untuk mengingatkan bahwa ada batasan-batasan dalam prinsip demokrasi. Sebesar apa pun ambisi Presiden, tetap harus dijaga supaya semua pemangku kepentingan tidak dianaktirikan oleh kepala negara.
Hal-hal itu tentu tidak bisa dijawab dalam 100 hari saja. Masih harus ditunggu bagaimana langkah-langkah lanjutan Presiden dan para anggota kabinetnya itu.