Virus korona tipe baru yang merebak di China menjadi faktor eksternal tambahan bagi perekonomian global. Bagi Indonesia, ada dampak tak langsung, dari sisi ekspor-impor dan pariwisata.
Oleh
Dewi Indriastuti
·3 menit baca
"Kita belum menyentuh titik balik," kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, mengawali jumpa pers mengenai proyeksi perekonomian global di ajang Forum Ekonomi Dunia, Davos, Swis, pekan lalu.
Kalimat itu menyadarkan, tantangan perekonomian yang dihadapi dunia dan negara-negara di dunia belum usai. Kendati kondisi perekonomian global tahun ini dan tahun depan diproyeksikan membaik, namun belum mampu mengembalikan kondisi seperti semula.
IMF memperkirakan, perbaikan terjadi dalam bidang perdagangan. Akan tetapi, tekanan geopolitik masih membayangi. Akibatnya, risiko masih akan dihadapi dunia, khususnya dalam perekonomian. Perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 3,3 persen pada tahun ini.
Risiko perang dagang Amerika Serikat-China -yang selama ini membuat pertumbuhan ekonomi global dan negara-negara di dunia terseret turun- berkurang. Ketegangan antara dua negara besar itu sedikit mereda. Kondisi ini sedikit mengurangi faktor risiko global bagi banyak negara.
Saat ini dunia bagaikan satu negara besar tanpa sekat. Hubungan antarnegara tak lagi berbatas. Akibatnya, satu hal yang dialami satu negara bisa berdampak terhadap negara lain. Perdagangan China dan AS yang terganggu juga memengaruhi perdagangan negara lain yang berkaitan dengan kedua negara itu. Perusahaan yang berproduksi di China mengalihkan lokasi produksi ke negara lain agar lebih mudah mengirim barang ke AS. Maka, investasi juga bergerak.
Berdasarkan data Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), total penanaman modal asing (PMA) pada 2019 sebesar 1,39 triliun dollar AS. Angka ini turun dibandingkan dengan 2018 yang sebesar 1,41 triliun dollar AS.
Ada harapan PMA membaik tahun ini, seiring perbaikan kondisi perekonomian dunia.
Proyeksi IMF itu disampaikan sebelum virus korona tipe baru merebak di Wuhan, China. Setelah virus korona merebak, kondisi perekonomian dunia kembali menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Kewaspadaan menghadapi virus serta kewaspadaan menghadapi kondisi ekonomi, sama-sama tinggi. Virus korona tipe baru yang merebak di China, bahkan sudah ada sejumlah kasus yang terkonfirmasi di beberapa negara, membuat hal ini menjadi faktor risiko tambahan. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, mesti menghadapi faktor risiko ini dengan penuh perhitungan. Salah satu pertimbangannya, China adalah mitra dagang utama. China juga berperan menyumbang devisa bagi Indonesia dari sektor pariwisata.
Pada 2019, dari total ekspor nonmigas sebesar 154,989 miliar dollar AS, sekitar 16,68 persen di antaranya bertujuan ke China. Sementara, dari total impor nonmigas pada 2019 yang senilai 148,836 miliar dollar AS, sekitar 29,95 persen adalah impor dari China.
Di sektor pariwisata, Indonesia mendapat 14,915 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada Januari-November 2019. Dari jumlah itu, sekitar 12,87 persen di antaranya atau sekitar 1,919 juta orang di antaranya dari China.
Bayangkan, seandainya pertumbuhan ekonomi China terganggu akibat virus korona tipe baru. Mengacu pada keterangan Bank Pembangunan Asia, setiap 1 persen pelemahan ekonomi China akan menurunkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,2 persen.
Jika pertumbuhan ekonomi China melemah, permintaan China akan berkurang, sehingga ekspor Indonesia ke China akan merosot. Sementara, larangan bagi warga China bepergian ke luar negeri akan membuat kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia berkurang.
Berbagai kemungkinan ini mesti dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Waspada, sudah pasti. (Dewi Indriastuti)