.Menembus lumpur tebal, mendaki lereng yang jalan aspalnya sudah tak ada jejaknya, dan berjalan kaki berjam-jam lamanya. Semua itu dilakukan para sukarelawan lokal di lokasi bencana banjir bandang dan longsor.
Oleh
Aguido Adri/Stefanus Ato/J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Sebagian dari sukarelawan itu bahkan juga korban bencana. Atas nama kemanusiaan, Sunarno (37), misalnya, tak mau berdiam diri dan pasrah.
Padahal, Sunarno bagian dari para korban longsor yang menyapu Kampung Nyomplong, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Bogor, 1 Januari 2020. Kampung yang ada di bawah lereng perbukitan itu kini tak lagi bisa ditempati. Semua penduduk, termasuk Sunarno dan keluarganya, mengungsi ke tempat yang lebih aman di Kampung Pasir Walang II, Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya.
”Ini masalah kemanusiaan. Saya memang korban, tetapi saya juga harus turun membantu kepada sesama korban,” ujar ayah dua anak yang akrab disapa Kang Nano itu. Minggu (26/1/2020) sekitar pukul 08.00, Sunarno dan Ginanjar (36) bersiap mengantar 12 sukarelawan dari luar daerah meninggalkan Posko Kantor Desa Sukajaya menuju Kampung Ciberani, Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya.
Sesampai di Posko Pasir Walang II sekitar pukul 09.00, rombongan turun dari mobil dan harus berjalan kaki memikul tas berisi kebutuhan pokok seberat 60-70 kilogram. Setelah sekitar 3 jam berjalan kaki melewati perbukitan rawan longsor, lumpur di mana-mana, dan mendaki, akhirnya rombongan tiba di Kampung Ciberani. Kampung ini juga dikelilingi perbukitan longsor. Setiba di posko kampung, bantuan diserahkan.
Enah (40), salah satu warga yang rumahnya hancur, menangis ketika menerima bantuan dari sukarelawan itu. Sejumlah ibu memeluk Enah agar tabah dan semangat menjalani cobaan. Senyum lebar dan lega terpancar dari para sukarelawan. Senyum itu tak bertahan lama karena mereka harus segera kembali melalui jalur yang sama.
”Ini yang kami lakukan hampir tiap hari sejak setidaknya H+5 bencana. Mengantar sukarelawan membawa logistik. Banyak yang tak mempersiapkan diri untuk perjalanan seperti ini. Ada juga yang marah dan protes karena jalur kotor, berlumpur, dan berbatu. Padahal, ya, begini kondisi bencana,” kata Ginanjar.
Tantangan tak kalah seru dialami Ajiz Sulaeman (37) dan 10 temannya dari Karang Taruna Sukajaya saat membawa kebutuhan pokok dan peralatan sekolah ke Cileuksa, Sukajaya. Butuh 4 jam lebih perjalanan dengan sepeda motor. Kabut, hujan, jalan menanjak, dan berlumpur tebal membuat ban motor kerap tergelincir.
”Bencana mengingatkan kita kepada Tuhan sang mencipta semesta, hutan, pohon, dan sungai. Semoga ini menjadi pelajaran kita semua bahwa alam harus dijaga,” ucap Ajiz. Saat sepeda motor sudah tak bisa dikendarai, sebagian rombongan berjalan kaki memikul karung logistik sembari menunggu rombongan lain berhasil keluar dari kubangan lumpur. ”Selain sembako, prioritas kami adalah membawa kebutuhan sekolah. Pendidikan harus tetap berjalan,” kata guru sekolah madrasah itu.
Sekolah darurat
Seolah sepakat dengan pendapat Ajiz, di pos pengungsian Kampung Seupang yang masuk wilayah Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten, sekolah darurat ramai dipenuhi anak-anak korban bencana. Proses belajar- mengajar dilakukan di bawah tenda beralaskan papan kayu bagi para murid Madrasah Ibtidaiyah/MI Mathla’ul Anwar.
Lokasi bencana di Lebak ini berada di dekat Sungai Ciberang. Kawasan terdampak bencana di Lebak dan Bogor ini ada di perbukitan yang sama, hanya di sisi lereng berbeda dan dipisahkan batas administrasi wilayah. Madrasah tersebut satu-satunya tempat pendidikan setingkat sekolah dasar di Seupang. Gedung madrasah bersama 40 rumah warga porak poranda dihantam banjir.
Meski demikian, semangat untuk belajar tetap terlihat di wajah 49 siswa madrasah itu. ”Siti Nur Sajadah ada?” tanya Muhammad Saepul Rahman saat memastikan murid-muridnya hadir di kelas. Sontak derai tawa pecah. Anak-anak itu paham sang guru sedang memelesetkan nama salah satu rekan mereka, Siti Nur Sajidah. Si empunya nama pura-pura ngambek.
Berhasil memantik ceria anak-anak, Rahman jadi lancar memasukkan materi sekolah hari itu. Rahman sebenarnya bukan guru. Ia bahkan belum bekerja. Pemuda 18 tahun itu berstatus siswa kelas 3 Madrasah Aliyah (setingkat SMA) Mathla’ul Anwar Baros, Lebak. Rahman dan lima kawannya terpanggil untuk membangkitkan semangat adik-adik mereka di Seupang, sesama pembelajar Mathla’ul Anwar.
”Setiap ada bencana, sekolah jarang ada yang memikirkan sehingga kami bergerak di sini dengan kemampuan seadanya,” ujar warga Kampung Baros, Desa Kaduagung Barat, Kecamatan Cibadak, itu. Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di enam kecamatan di Lebak tak hanya merusak rumah dan fasilitas publik, seperti jembatan, tetapi juga membuat sejumlah sekolah rusak atau tersapu banjir.
Bela rasa terhadap yang berkekurangan ditanamkan perguruan tempat Rahman belajar. MA Mathla’ul Anwar Baros punya program wajib bagi siswa, yakni amaliyah tadris atau praktik mengajar. Ia dan rekan-rekan pernah dikirim berkeliling mengajar sejumlah MI di dua desa. Mirip dengan kuliah kerja nyata di perguruan tinggi. Program amaliyah tadris jadi bekal dia terjun ke Kampung Seupang.
”Gara-gara” fokus jadi sukarelawan, Rahman baru dua kali ikut pelajaran di MA bulan ini. Namun, pihak madrasah tidak mempersoalkan. Apalagi Kepala MA Mathla’ul Anwar Baros ikut turun menjadi sukarelawan di Seupang. ”Kepala sekolah kami memang kece,” puji Rahman sembari tersenyum.
Meski demikian, itu bukan alasan bagi Rahman dan kawan-kawan untuk tak lulus sekolah. Rahman berencana kuliah walau belum menentukan jurusan yang bakal dipilih. Yang jelas, pendidikan lanjutan mesti menunjang cita-citanya untuk memberi manfaat bagi lebih banyak sesama.