Banjir bandang terparah di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, terkait kondisi kawasan hulu di hutan lindung. Sembilan orang meninggal, dua di antaranya ditemukan di dalam hutan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
TAPANULI TENGAH, KOMPAS - Aktivitas pembalakan liar hutan lindung di hulu Sungai Sirahar, yang memicu banjir bandang di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, dibantah pemerintah daerah dan polisi. Namun, tidak ada juga penjelasan resmi apa penyebab pasti banjir bandang yang menewaskan sembilan orang itu.
Banjir bandang juga merusak lebih dari 700 rumah dan memutus jalan provinsi di sembilan lokasi. ”Sebagian hutan di hulu Sungai Sirahar sudah botak. Kami menemukan kayu dipotong jadi papan, balok kayu, dan beberapa mesin pemotong kayu,” kata petugas evakuasi korban tewas yang meminta namanya tak disebut di lokasi banjir bandang Desa Sijungkang, Jumat (31/1/2020).
Sejumlah warga di Desa Sijungkang, Kecamatan Andam Dewi, mengatakan, mereka sangat resah dengan pembalakan liar di hulu Sirahar. Para
pembalak masuk hutan melalui desa mereka berjalan kaki 3-5 jam. Dua dari sembilan korban meninggal merupakan pembalak liar di tengah hutan lindung.
Banjir bandang menghantam enam kecamatan di Tapanuli Tengah, Selasa malam. Kemarin, jalan selebar 4 meter ambles di beberapa lokasi di dekat sungai. Batang pohon besar menumpuk hingga setinggi 4 meter. Batang berasal dari bukit di sisi jalan, ada juga yang terbawa arus air.
Karena jalan terputus, masyarakat di Desa Sijungkang masih memperbaiki dan membersihkan rumah. Aktivitas ekonomi masyarakat belum pulih. Warung-warung masih tutup di desa itu. Warga, yang sebagian besar petani karet, durian, dan hasil hutan, belum beraktivitas. Dampak terparah di Kecamatan Andam Dewi dan Barus. Empat korban meninggal tertimbun longsoran, tiga karena kendaraannya diempas banjir saat melintas, dan dua lagi dihantam arus banjir bandang saat membalak di hutan lindung.
Erwin Manalu (17), warga Sijungkang, mengatakan, ada delapan pembalak liar yang masuk ke dalam hutan. Mereka sempat menginap di hutan beberapa hari. Enam lainnya selamat dan memberitahukan ada dua teman mereka meninggal. ”Perjalanan ke sana harus menyeberangi tujuh sungai. Lebar sungainya 60 meter dengan kedalaman lebih dari 1 meter. Kami harus berenang untuk menyeberang,” katanya.
Seusai menebang, para pembalak menggergaji batang pohon menjadi papan dan balok kayu. Lalu, kayu itu dihanyutkan di Sungai Sirahar. Sebuah truk menunggu di hilir sungai di Tapanuli Tengah. Banjir bandang pertama kali terjadi di Tapanuli Tengah pada 2016. Namun, tak separah saat ini.
Tanggapan bupati
Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani membatah terjadi pembalakan liar di wilayahnya. ”Saya berharap diperiksa kebenarannya. Kami di bawah tidak ada kayu. Pak Gubernur (Edy Rahmayadi) ikut ke lapangan, tidak ada kayu. Kalau ada illegal logging, kan, ada kayu hanyut,” katanya.
Mengenai ada dua korban meninggal saat memotong pohon di hutan lindung, Bakhtiar menyatakan itu kewenangan Dinas Kehutanan Sumut. ”Saya tidak mau berandai-andai,” katanya. Kemarin, batang-batang kayu tak ada yang hanyut sampai hilir Sirahar di Barus. Namun, menumpuk di badan sungai dan badan jalan di Andam Dewi.
Kepala Polres Tapanuli Tengah Ajun Komisaris Besar Sukamat mengatakan, pembalakan liar itu tak terbukti. ”Kayu yang turun ke bawah itu kayu tua semua, tidak ada kayu muda. Banjir bandang karena curah hujan tinggi,” katanya.
Saya tidak mau berandai-andai.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Sumut Anas Y Lubis mengatakan, tidak ada izin pemanfaatan hutan yang mereka keluarkan di kawasan hutan di Tapanuli Tengah. Jika ada aktivitas penebangan hutan di kawasan, itu merupakan pembalakan liar.
Hingga Jumat malam, Desa Sijungkang belum bisa diakses. Dari sembilan jalan provinsi yang terputus, baru dua yang bisa dilalui secara darurat. ”Belum ada bantuan. Hampir semua beras kami terendam air,” kata Doslan Simamora (50), warga Sijungkang.