Belum semua putusan Mahkamah Konstitusi dipatuhi pembuat undang-undang. Padahal, sesuai UUD 1945, putusan MK bersifat final, selain pertama dan terakhir.
Oleh
·3 menit baca
Belum semua putusan Mahkamah Konstitusi dipatuhi pembuat undang-undang. Padahal, sesuai UUD 1945, putusan MK bersifat final, selain pertama dan terakhir.
Sejak berdiri tahun 2003, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003, hingga Desember 2019, MK menerima 3.005 permohonan, yang mayoritas, 1.317 perkara, merupakan pengujian terhadap UU. MK menyelesaikan juga permohonan perselisihan hasil pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, dan pemilu presiden, serta sengketa kewenangan lembaga negara. MK hingga Desember 2019 merampungkan 2.849 perkara.
Dari permohonan yang diputus itu, sebanyak 397 perkara atau sekitar 13,93 persen dikabulkan. Sisanya, 1.005 perkara (45,81 persen) ditolak, 1.004 perkara (34 persen) tak bisa diterima, 60 permohonan (2,11 persen) gugur, 171 perkara (5,75 persen) ditarik kembali, 25 perkara (2 persen) berhenti pada putusan sela, 11 perkara (1 persen) bukanlah wewenang MK, dan 30 perkara masih dalam proses pemeriksaan.
Dari penelitian yang dilakukan tiga dosen Universitas Tri- sakti, Jakarta, terhadap 109 putusan MK, yang diputuskan pada periode 2003-2018, terungkap 54,12 persen, atau 59 putusan, dipatuhi semua oleh para pihak. Sebaliknya, enam putusan (5,5 persen) dipatuhi sebagian, 24 putusan (22,01 persen) tidak dipatuhi, dan 20 putusan (18,34 persen) belum diidentifikasi secara jelas (Kompas, 29-30/1/2020). Walaupun tak banyak putusan MK yang belum dipatuhi, tetapi menjadi pertanyaan, sebab konstitusi menjamin putusan MK bersifat final dan tak ada upaya hukum untuk mengubahnya.
Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011, yang mengubah UU No 24/2003, memastikan putusan MK bersifat final, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Tak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK itu mencakup kekuatan hukum mengikat (final and binding) pula.
Ketua MK Anwar Usman bergembira terhadap temuan tiga dosen itu, yang menunjukkan mayoritas putusan MK dipatuhi oleh pembuat UU, yakni pemerintah dan DPR. Putusan yang tak dipatuhi itu seluruhnya terkait dengan pengujian atas UU. Namun, di depan Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani, Selasa (28/1/2020), Ketua MK memprihatinkan pula masih adanya ketidakpatuhan pada putusan MK. Dia menyebutnya sebagai pengingkaran atas konstitusi, dan bertentangan dengan doktrin negara hukum. UUD tidak berarti apa-apa jika tak ditaati pemangku kepentingan.
Tidak sepenuhnya ketidakpatuhan pada putusan MK itu menggambarkan sisi negatif pembuat UU. Jika putusan MK itu langsung menyatakan tak berlakunya sebuah UU, atau sebuah ayat atau pasal, tentu lebih mudah diwujudkan. Namun, jika putusan itu mengubah pasal atau ayat dalam sebuah UU, atau mengubah norma hukum yang selama ini berlaku, ada proses yang harus dijalani pembuat UU, termasuk melibatkan masyarakat. Tentu saja hal ini akan memakan waktu.
Keterbukaan antarlembaga negara dalam legislasi ini penting sehingga terbangun sikap saling percaya dan menghargai kewenangan masing-masing. Bukan saling meniadakan.