Pesan Dua Tarian dari Kalimantan
Inspirasi ”Rimba Terakhir” lahir dari perjuangan masyarakat adat Laman Kinipan, Bagi mereka, pohon, sungai, dan kekayaan alam merupakan kehidupan.
Banyak cara menyampaikan pesan atau sikap atas sebuah fenomena atau peristiwa. Menari adalah salah satunya. Itulah yang dilakukan sejumlah mahasiswa Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada tarian yang berjudul ”Rimba Terakhir” dan ”Bipolar Disorder”. Pesan mereka adalah respons atas kondisi sekitarnya, keseharian yang sudah, sedang, dan akan terjadi.
Jumat (17/1/2020) malam, Pagelaran Karya Seni dimulai di Gedung Pemuda dan Olahraga, Kota Palangkaraya, Kalteng. Acara tahunan itu dibuka dengan beberapa pertunjukan musik yang memadukan alat musik modern dengan berbagai alat musik khas Dayak, seperti sape, kecapi, dan gendang.
Lalu, mengalirlah tarian kontemporer berjudul ”Bipolar Disorder” ciptaan Tamara Anggreini. Ia dibantu empat penari lain. Tarian ini unik dan lugas. Ada saat di mana mereka menggunakan topeng, yang satu tertawa begitu bahagia, satunya lagi menangis sejadi-jadinya, yang lainnya marah-marah, dan satu lagi menunjukkan perasaan jijik.
Semuanya menyatu, hingga akhirnya saling tarik-menarik. Tak ada yang mau mengalah. Yang marah semakin marah, yang sedih semakin menangis, dan yang senang semakin terbahak-bahak. Setelah tarik-menarik, mereka bergandengan tangan lalu berpelukan. Satu-sama lain saling menguatkan. Hingga akhirnya topeng-topeng tadi terbuang dan hilang.
”Hanya menunjukkan bahwa orang dengan gangguan bipolar tidak bisa hidup sendiri, ia harus menemukan dan hidup bersama orang lain yang bisa menjadi support system-nya,” kata Tamara. Ya, individu adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan. Saling menopang. Begitu pula interaksi manusia dengan alamnya. Tak ada yang menang atau kalah.
Seusai tarian, di antara penonton yang antusias, beberapa di antaranya terdengar berbisik, ”Apa, sih, bipolar?” Teman sebelahnya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu, tiba-tiba panggung berubah dari terang benderang menjadi begitu gelap. Kemudian, lampu sorot tiba-tiba menyala. Tarian ”Rimba Terakhir” dengan koreografer Try Herianto itu dimulai.
”Rimba Terakhir" dibuka dengan prolog dan film dokumenter asrinya hutan Kalimantan Tengah di Kabupaten Lamandau, tepatnya di Desa Kinipan. Namun, baru berjalan lima menit sajian tingginya pohon-pohon besar dan tua, penonton langsung dihadapkan dengan bisingnya suara-suara alat berat mengeruk tanah dan memotong pohon-pohon tadi.
Desa Kinipan saat ini dikenal karena sedang menghadapi konflik lahan antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat adat. Masyarakat yang tidak tahu-menahu soal perizinan perkebunan langsung disuguhi alat berat yang merusak sumber penghidupan mereka.
”Di sini tanah nenek moyang kami. Kami berburu, mengambil buah hutan, dan memanfaatkan dedaunan untuk makan dan juga obat-obatan,” kata Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dalam film dokumenter itu. Tiba-tiba semua gelap. Mata penonton dibawa ke atas panggung.
Lima laki-laki masuk ke panggung dengan daun-daun menempel di tubuh. Mereka berlarian, tersungkur, lalu terjerembap. Adegan itu dibarengi suara alat-alat berat tadi. Manusia berlarian itu menggambarkan pohon-pohon tumbang.
Di antara yang tumbang itu, penari wanita masuk. Penampilan mereka sama, tetapi tidak serta-merta jatuh. Mereka berdiri kokoh meski suara alat berat semakin bising. Mereka tak gentar. Masih berdiri. Sekian lama berdiri, satu per satu daun-daun berjatuhan, rontok. Mati. Daun-daun itu berubah dari hijau menjadi coklat lalu hitam.
Ketika hitam menyelimuti, asap putih masuk. Penari lain masuk sambil memegang tenggorokan, tampak berusaha bernapas. Asap belum hilang, datanglah orangutan tua besar. Bulunya lebat dan coklat. Ia menggeliat seperti meminta tolong. Tak lama kemudian, seorang anak kecil masuk. Tubuhnya gempal penuh tato, menggambarkan ketangguhan orang Dayak.
Ia memegang daun yang mati yang diangkatnya ke udara. Seketika itu, paduan suara memenuhi ruangan malam itu. Daun-daun yang mati pun kembali hijau. Mereka hidup kembali. Entah kekuatan dari mana yang membuatnya hidup.
Berbagi kegelisahan
Bagi Try, hanya orang-orang yang peduli terhadap rusaknya ekosistem hutan yang bisa menyelamatkan keanekaragaman hayati. Ia percaya, orang Dayak yang begitu menghormati alamnya bisa menjadi benteng pertahanan terakhir bagi rimba terakhir.
”Apa yang terjadi di Kinipan menyadarkan saya akan pentingnya hutan. Tapi, saya mau bahwa apa yang saya rasakan itu bisa dibagi dan dimengerti banyak orang, lewat tarian ini,” kata mahasiswa dari keluarga Dayak itu.
Try mengungkapkan, inspirasi ”Rimba Terakhir” lahir dari perjuangan masyarakat adat Laman Kinipan di Lamandau yang mempertahankan wilayah adatnya. Tak hanya itu, selain deforestasi, kebakaran hutan dan lahan juga menjadi salah satu penyebab hilangnya rimba di Kalteng. Dampaknya pada keberadaan satwa liar dilindungi.
”(Satwa) selama ini dilindungi dan dibanggakan sebagai kekayaan Indonesia, tetapi kenyataannya hidup mereka terdesak hingga akhirnya punah,” kata mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik Jurusan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya itu.
Kalimantan Tengah dikenal dengan sebutan ”paru-paru” dunia. Predikat itu disematkan begitu saja oleh Komite Perdamaian Dunia di Indonesia, Desember 2018. Padahal, sepanjang tahun laju pembukaan hutan seperti tak terhenti, diganti perkebunan monokultur dan pertambangan, seperti terjadi di Kinipan.
Hal itulah yang menjadi dasar Try menciptakan koreografi tarian ”Rimba Terakhir”. Ia dibantu 14 penari dari berbagai kalangan, terdiri atas tujuh laki-laki dan tujuh perempuan. Ada anak SD dan teman-teman mahasiswa Try. ”Deforestasi sudah banyak menimbulkan konflik panjang dan berdampak buruk pada lingkungan. Gagasan ini saya tuangkan dalam tarian. Paling tidak ini yang bisa saya lakukan untuk menyampaikan pesan kepada banyak orang,” katanya.
Budayawan Dayak Yanedi Jagau menjelaskan, orang Dayak adalah penjaga hutan yang ulung. Predikat itu diakui sejak era kolonial. ”Alam adalah sahabat orang Dayak. Mengajarkan orang Dayak menanam pohon atau menjaga hutan itu sama halnya mengajari ikan berenang,” kata Jagau yang juga Direktur Borneo Institut.
Hal itu dipertegas budayawan Dayak Lainnya Nila Riwut dalam bukunya berjudul Maneser Panatau Tatu Hiang. Menurut dia, orang Dayak menjaga persahabatan mereka dengan alam, salah satu contohnya orang Dayak tidak akan membabat hutan tanpa meminta izin dan menyediakan sesajen kepada penjaga hutan yang kasatmata.
Nila Riwut juga menjelaskan, kedekatan dengan alam itu yang membuat orang Dayak semakin menyatu dengan alam. Mereka bahkan bisa membaca gerakan lembut perubahan alam. Tanpa hutan, budaya atau ritual adat Dayak akan sirna. Bagi mereka, pohon, sungai, dan kekayaan alam merupakan kehidupan. Seperti pesan dari dua tarian itu, hidup saling bergantung satu sama lain dan lingkungannya.