Semangat Belum Padam, Wuhan Jiayou!
Malam telah tiba di Wuhan, Provinsi Hubei. Awalnya samar, tetapi suara teriakan warga mulai terdengar jelas dari gedung-gedung apartemen pencakar langit. ”Wuhan, jiayou!” teriak mereka.
Malam telah tiba di Wuhan, Provinsi Hubei. Awalnya samar, tetapi suara teriakan warga mulai terdengar jelas dari gedung-gedung apartemen pencakar langit. ”Wuhan, jiayou!” teriak mereka.
Jiayou secara harfiah berarti ”menambah minyak”. Istilah itu digunakan ketika warga China ingin menyemangati satu sama lain. Singkat kata, ”Wuhan, jiayou” berarti ’Wuhan, terus berjuang’ atau ’Wuhan, tetap kuat’.
Aksi solidaritas agar Wuhan tetap berjuang terlihat dalam video amatir yang bertebaran di media sosial, Selasa (28/1/2020). Warga Wuhan yang tinggal di apartemen berteriak melalui jendela dan balkon untuk menyemangati tetangga mereka selama beberapa menit.
Wuhan, ibu kota Hubei, dinyatakan sebagai pusat epidemi virus korona baru atau penyakit pernapasan akut 2019-nCoV. Pemerintah China melakukan langkah ekstrem untuk menghentikan penyebaran virus, termasuk mengarantina Hubei dan sekitarnya sejak 23 Januari 2020.
Baca juga : Karantina di Natuna Disiapkan Seoptimal Mungkin
Virus korona baru terus merebak luas dan membunuh ratusan nyawa. Hingga Sabtu (1/2/2020), Komisi Kesehatan Nasional China mencatat, jumlah kematian meningkat menjadi 259 orang dan jumlah kasus terinfeksi mencapai 12.000 orang.
Lebih dari 20 negara telah melaporkan kasus terinfeksi virus korona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyatakan penyebaran virus korona baru sudah dalam tahap darurat kesehatan global. Namun, WHO tidak merekomendasikan pembatasan perjalanan atau perdagangan.
Negara-negara mulai mengevakuasi ratusan warganya yang berada di Wuhan. Setelah Jepang, Amerika Serikat, dan Perancis, giliran Indonesia mengirim pesawat evakuasi bagi total 250 WNI di Hubei pada Sabtu, 1 Februari.
Krisis pangan
Di tengah kepanikan itu, warga yang masih berada di Hubei berjuang untuk bertahan hidup. Namun, mereka dihadapkan pada kendala baru selain virus itu sendiri, yakni ancaman kesulitan untuk memperoleh makanan.
Sejak virus meluas, warga telah memperbanyak stok makanan dengan membeli mi instan, sayuran, dan makanan lain yang bisa diperoleh di supermarket. Stok makanan di supermarket ludes dalam sekejap.
Namun, harga pangan mulai meninggi. Harga pangan mulai terganggu sebab karantina membuat distribusi logistik terganggu. Pemerintah memberlakukan larangan transportasi lintas provinsi, sedangkan warga juga berinisiatif memblokir jalan di sejumlah lokasi.
”Hal itu menyebabkan sayuran dan produk lain tidak bisa dikirim dari desa menuju kota. Petani juga kesulitan memperoleh pakan untuk ternak dan unggas,” bunyi pernyataan bersama Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan, Kementerian Transportasi, serta Kementerian Keamanan Publik China, Kamis (30/1/2020).
Dikutip dari kantor berita Xinhua, indeks harga sayuran di Shouguang, wilayah yang menjadi patokan biaya produksi nasional, melonjak ke level tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kondisi itu memperburuk keadaan sebab harga pangan telah tertekan akibat harga daging babi, salah satu faktor penentu indeks harga konsumen (IHK), naik 97 persen pada Desember 2019 dibandingkan tahun lalu akibat wabah demam babi Afrika.
Pemerintah China pun mengimbau petani meningkatkan produksi sayuran, produsen pakan ternak mempercepat produksi pakan, serta pemilik rumah pemotongan hewan meningkatkan pasokan ternak dan produk unggas.
”Kota Shouguang diminta untuk mengirimkan 600 ton sayuran segar ke Wuhan setiap hari selama 10 hingga 15 hari ke depan. Di Sunjiaji, kami diminta pemerintah kota untuk mengirim 60 ton kurang dari tujuh jam. Kami sekarang menunggu pesanan berikutnya,” ujar Li, pejabat di Desa Sunjiaji, Shouguang.
Baca juga : Infeksi Korona Baru Asimtomatik, Penapisan Suhu Tak Efektif
Wilayah lain, seperti Xinjiang, juga mengirim suplai makanan ke Hubei. Perusahaan makanan dan pertanian terbesar China, COFCO Group dan China Grain Reserves Corporation Group Limited (Sinograin), telah meningkatkan pasokan beras, daging, dan minyak goreng ke Hubei.
”’Jalur hijau’ ke Wuhan berjalan mulus,” kata Perdana Menteri China Li Keqiang, merujuk pada jalur distribusi barang, produk, atau layanan ke Wuhan selama karantina.
Tetap khawatir
Meskipun telah ada upaya dan jaminan pemerintah, warga tetap khawatir. Ketidakpastian mengenai kapan karantina dan pembatasan akses akan berakhir membuat warga cenderung menimbun barang.
”Pada pagi hari, sayuran di supermarket ada, tetapi rak-rak cepat kosong karena banyak orang membeli dalam jumlah besar. Suasana di toko seperti zona perang. Akhirnya Anda membeli apa pun yang tersisa di rak karena itu juga akan hilang,” tutur seorang warga, tanpa menyebutkan nama.
Media sosial China, Weibo, tetap ramai dengan keluhan kesulitan mendapatkan makanan dan kalaupun ada, harganya mulai mahal. Belakangan, layanan pesan antar makanan juga berisiko karena warga takut bertemu orang lain.
”Dulu, saya memesan makanan berkali-kali dalam seminggu, tetapi sekarang jauh lebih sedikit, sekitar empat kali seminggu. Kami ingin menghindari kontak langsung dengan petugas layanan antar,” kata Xingxing Yin, pelajar di Wuhan, dilansir dari BBC dalam artikel ”Wuhan lockdown: How people are still getting food”.
Wushang Group merupakan supermarket lokal terbesar di Wuhan yang memiliki hampir 30 toko. Gan, pejabat perusahaan, mengatakan, tantangan terbesar adalah mereka kekurangan staf.
”Pada 25 Januari 2020 malam, misalnya, 400 ton sayuran tiba di Wuhan dari Chongqing dan kami menerima 120 ton sayur. Sekitar 100 karyawan Wushang secara sukarela menurunkan dan mengangkut barang. Rata-rata, setiap orang menurunkan lebih dari 1 ton sayuran malam itu,” tutur Gan.
Pembatasan akses juga memengaruhi pusat grosir terbesar di Wuhan, Pasar Produk Pertanian Baishazhou. Pasar ini memasok supermarket dan restoran besar di kota-kota sekitar Hubei, seperti Huangshi dan Jiujiang.
”Kami punya banyak sayuran, tetapi banyak yang busuk (karena pembatasan akses mengurangi jumlah pembeli),” ucap Yuan, pegawai di Pasar Produk Pertanian Baishazhou.
Baca juga : Belasan Virus Ditemukan pada Kelelawar dan Tikus Liar
Tidak hanya pemerintah, pihak swasta juga berupaya mengatasi masalah penyaluran logistik di Hubei dan sekitarnya. Salah satunya adalah Meituan, perusahaan pengiriman makanan yang didukung Tencent yang memiliki pelanggan hingga 440 juta orang.
Meituan mengembangkan aplikasinya agar pelanggan dapat meninggalkan pesan kepada petugas pengantar untuk meninggalkan pesanan di tempat tertentu. Mereka juga dapat menelepon atau mengirim pesan kepada pengantar untuk menentukan lokasi penurunan barang.
Aplikasi tersebut awalnya diluncurkan di Wuhan, tetapi mulai dipromosikan secara nasional. Kini, aplikasi itu digunakan di 184 kota dan akan digunakan di seluruh China pada akhir pekan ini.
Semangat warga
Warga pun tidak tinggal diam menghadapi ancaman virus korona baru dan tantangan karantina. Dikutip dari artikel BBC berjudul ”Coronavirus: Tales of solidarity from China’s virus-hit Wuhan”, Li Bo (36), pemilik restoran di Wuhan, menyumbangkan 200 bungkus makanan bagi petugas rumah sakit pada perayaan tahun baru Imlek.
”Saya berbaring di rumah, khawatir bagaimana saya akan membayar pinjaman (untuk restoran). Namun, saya kemudian melihat berita tentang bagaimana staf medis di rumah sakit berjuang dan merasa sudah saatnya saya bertindak. Saya harap kota yang kami cintai ini segera membaik,” kata Li Bo.
Guo Jing (29), pekerja sosial dan aktivis hak asasi manusia di Wuhan, menceritakan, karantina mengubah Wuhan menjadi kota yang sunyi meskipun memiliki 11 juta penduduk. Sayangnya, karantina tidak hanya membuat kota tersebut terperangkap.
Suara warga juga tidak terdengar karena adanya sensor di media sosial mengenai virus korona baru. Namun, segala tantangan tersebut tidak mematahkan semangat mereka. Bahkan, humor mereka juga belum memudar.
”Saat malam tahun baru pada 24 Januari 2020, saya melakukan panggilan video dengan teman-teman. Salah satu teman saya batuk selama telepon, teman saya bercanda, memintanya untuk menutup telepon,” ujar Guo dalam artikel BBC berjudul ”Coronavirus Wuhan diary: Living alone in a city gone quiet”.
Menurut Guo, dirinya berupaya untuk mencari cara agar bisa berkontribusi kepada masyarakat di tengah kepanikan yang muncul. ”Saya harap semua orang tetap memiliki harapan. Sekitar pukul 8 malam, saya mendengar teriakan ’semangat, Wuhan!’ dari jendela warga. Teriakan itu menjadi penguatan bagi diri sendiri,” kata Guo.
Wuhan bukan hanya sekadar kota pusat wabah korona baru. Sebelum wabah itu muncul, Wuhan adalah satu dari sembilan Kota Pusat Nasional di China. Wuhan merupakan pusat politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan di bagian tengah China. Kota ini juga merupakan pusat transportasi utama di China.
Entah sampai kapan vaksin bagi virus korona baru ditemukan dan proses karantina selesai, tetapi semoga dalam waktu yang cepat. Wuhan, jiayou! (AFP/REUTERS)