Difteri Tinggi di Aceh Dampak Rendahnya Cakupan Imunisasi
›
Difteri Tinggi di Aceh Dampak ...
Iklan
Difteri Tinggi di Aceh Dampak Rendahnya Cakupan Imunisasi
Rendahnya cakupan imunisasi di Aceh berdampak langsung pada tingginya angka kasus penyakit menular difteri.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Rendahnya cakupan imunisasi di Aceh berdampak langsung pada tingginya angka kasus penyakit menular difteri. Sejak 2017 hingga 2019, penderita difteri di provinsi itu mencapai 442 orang, 15 penderita meninggal.
Warga Banda Aceh, Yudi Randa (35), harus menerima kenyataan buruk karena tidak mengimunisasi anaknya secara lengkap. Pada 2018, anaknya yang berusia lima tahun terkena difteri. Setelah dirawat selama 14 hari di ruang isolasi di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh, anaknya sembuh.
Kasus ini jadi pelajaran, anak saya yang ketiga, imunisasinya lengkap.
”Saya menyesal mengapa dulu anak tidak saya imunisasi lengkap. Kasus ini jadi pelajaran, anak saya yang ketiga, imunisasinya lengkap,” kata Yudi, saat ditemui di Banda Aceh, Minggu (2/2/2020).
Saat anaknya usia 0 bulan hingga dua tahun, Yudi bekerja sebagai karyawan bank di luar kota, sementara istri dan anaknya tinggal bersama mertua di Banda Aceh. Istrinya tidak mau membawa anak untuk imunisasi karena khawatir anak akan demam tinggi dari pengaruh obat.
Setelah kasus itu, Yudi memutuskan berhenti bekerja. Dia ingin selalu dekat bersama keluarga sehingga lebih maksimal merawat mereka. ”Saat anak terkena difteri, rasanya sebanyak apa pun uang tidak berharga. Kasus itu menyadarkan saya bahwa imunisasi penting,” kata Yudi.
Pengelola Program Imunisasi Seksi Surveilans dan Imunisasi (SIM) Dinas Kesehatan Aceh Helmi menuturkan, cakupan imunisasi dasar lengkap Aceh tidak pernah mencapai target. Pada 2019, capaian hanya 49 persen, lebih rendah daripada capaian 2018 sebesar 61 persen dan 2017 sebesar 60 persen.
Anak-anak yang terkena difteri adalah mereka yang tidak mendapatkan imunisasi.
Helmi mengatakan, cakupan imunisasi rendah berdampak buruk pada kesehatan anak-anak. Mereka yang tidak memperoleh imunisasi lengkap rentan terpapar virus, seperti campak, difteri, polio, dan rubela. Padahal, penyakit tersebut dapat dicegah dengan imunisasi. ”Anak-anak yang terkena difteri adalah mereka yang tidak mendapatkan imunisasi,” kata Helmi.
Rendahnya cakupan imunisasi di Aceh disebabkan masih ada yang menganggap vaksin imunisasi terbuat dari bahan tidak halal. Sebagian orangtua juga khawatir anaknya akan mengalami demam tinggi setelah diimunisasi.
Maimunzir (34), warga Aceh Timur, memilih tidak memberikan imunisasi untuk anaknya. Dia khawatir anaknya akan mengalami demam dan kejang. ”Saya menemukan ada anak yang mengalami kejang sampai terjadi kecacatan setelah imunisasi,” kata Maimunzir.
Meski begitu, dia juga khawatir daya tahan tubuh anaknya lemah terhadap virus penyakit menular. Namun, dia menerapkan pola hidup sehat bagi keluarga, seperti menjaga kebersihan rumah dan mengonsumsi makanan sehat.
Dari 23 kabupaten di Provinsi Aceh, Kabupaten Pidie memiliki cakupan imunisasi paling rendah, yakni 13 persen. Pada 2017-2019, jumlah penderita difteri di Pidie 39 orang. Kasus difteri berpotensi bertambah di Pidie karena cakupan imunisasi sangat rendah.
Kepala Dinas Kesehatan Pidie Effendi menuturkan, pemerintah telah bekerja maksimal untuk mengejar cakupan imunisasi. Sosialisasi melalui bidan desa, posyandu, dan puskesmas telah dilakukan. Namun, masih ada warga yang menganggap imunisasi haram. ”Kami butuh dukungan semua pihak, terutama tokoh agama,” kata Effendi.
Terkait dengan isu haram vaksin, khususnya vaksin polio tetes, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa bahwa khusus imunisasi polio tetes hukumnya mutanajjis. Artinya, penggunaan vaksin polio tetes dalam kondisi darurat dibolehkan. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 2013.
Wakil Ketua MPU Aceh Faisal Ali menuturkan, ulama telah mengeluarkan pendapat, tetapi keputusan akhir ada pada warga. Pihaknya tidak melarang penggunaan vaksin polio tetes, tetapi MPU berharap pemerintah dan tenaga medis mengupayakan vaksin polio tetes yang suci (tidak mengandung enzim babi).
”Tugas kami memberikan fatwa, sosialisasi fatwa itu seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Mungkin, ke depan, perlu kerja sama secara kelembagaan untuk meningkatkan sosialisasi,” ujar Faisal.