Sumber imajinasi sebuah karya seni rupa bisa apa saja. Salah satunya dengan jalan menciptakan ilusi. Ilusi memiliki beragam makna.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Sumber imajinasi sebuah karya seni rupa bisa apa saja. Salah satunya dengan jalan menciptakan ilusi. Ilusi memiliki beragam makna. Bisa suatu khayalan, angan-angan, suatu pengamatan yang tidak disesuaikan penginderaan, atau sesuatu yang palsu. Sifat ilusi itu memperdaya atau menipu.
”Saya mengenalkan ilusi untuk direspons para seniman dengan harapan mampu menciptakan karya-karya yang menghibur. Mereka merespons ilusi itu, di antaranya ada yang datang dengan inspirasi keseharian masing-masing,” kata kurator Zarani Risjad menjelang pembukaan pameran Use Your Illusion atau Gunakan Ilusimu di Edwin’s Gallery, Kemang, Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Karya seni rupa ilusif yang ditawarkan kepada para seniman selain diharapkan menghibur, juga bisa dinikmati masyarakat semua umur. Penggunaan ilusi untuk sebuah karya seni rupa ini sebenarnya bukan hal baru, bahkan terlampau kuno.
”Sejak zaman dulu, ilusi digunakan untuk menciptakan hiburan. Ilusi itu memang tipuan,” ujar Zarani.
Pameran ini diikuti sejumlah seniman muda, yakni Ajeng Martia Saputri, Daniel Satya, Eldwin Pradipta, Enggar Rhomadioni, Gabriel Aries, Hendra ”Hehe” Harsono, Hendra ”Blankon” Priyadhani, Meliantha Muliawan, Muklay, Octo Cornelius, Rukmunal Hakim & Jonathan Aditya, Ruth Marbun, Tempa, dan Wulang Sunu. Mereka para seniman muda yang merespons tema pameran ini dengan beragam media.
”Galeri kami sejak awal memang didedikasikan untuk para seniman muda,” ujar Edwin Rahardjo, pemilik Edwin’s Gallery.
Karya para seniman memang ada ilusi yang membias. Akan tetapi, bagi kurator Zarani, hal itu tetaplah penting. Di situ dapat dilihat respons ilusi bagi seniman sekarang dimaknai sebagai hal yang personal.
Seniman dengan jujur menggulirkan ilusi yang memiliki keterhubungan dengan diri masing-masing. Seniman membuat karya yang ada kaitan dengan persoalan dirinya sebagai seniman, sebagai seorang bapak, sebagai pasangan, dan sebagainya.
”Semua hal yang dikerjakan para seniman itu sesungguhnya sesuatu yang melelahkan. Akan tetapi, semua seniman merasa ’enjoy’, semua bisa menikmatinya,” ujar Zarani yang mendalami seni desain grafis di Australia.
Dari ilusi yang membias itu dapat dikatakan para seniman ternyata lebih sulit untuk diajak menciptakan tipuan atau ilusi. Para seniman lebih tertarik dengan kejujuran tentang diri. Dari sekian banyak karya lainnya, ada yang benar-benar menawarkan sebuah ilusi. Ilusi yang menghibur.
Di ambang
Perupa Ajeng Martia menghadirkan seri ”Endapan Memori #1 dan #2” dan sebuah lukisan abstrak dipadukan cermin. Untuk seri Endapan Memori-nya, Ajeng menampilkan drawing atau gambar kasur tempat tidur dan mainan kuda-kudaan dengan pena di atas kanvas berukuran 95 cm x 110 cm.
Sebagian bidang kanvas dari sisi kiri dan kanan membentang hingga bagian bawahnya diselubungi resin yang dibentuk menyerupai kain berwarna hitam. Kain itu seperti ingin menyingkap gambar, atau sebaliknya, ingin menutupinya.
”Ini menggambarkan situasi saya sedang di ambang situasi anak-anak menuju kedewasaan. Saya merasakan nostalgia sebagai anak-anak lebih membahagiakan,” ujar Ajeng.
Ajeng tidak bermain ilusi. Ia tidak menciptakan tipuan indahnya masa lalu. Ia bertitik tolak dari pengalaman pribadi di masa kanak-kanak yang terasa lebih menggembirakan.
Daniel Satyagraha, dalam karyanya yang berjudul ”One to Others”, menggunakan teknik kolase foto dan resin di atas bidang berukuran 90 cm x 60 cm. Daniel mengunggah fenomena copy and paste (menyalin dan menempel) dalam dunia digital untuk inspirasi karyanya itu.
Daniel mencetak sebuah foto dengan beragam ukuran. Ia memotong-motong bagian tertentu dan menempelkan dengan saling menimpa secara berurutan dari ukuran terbesar hingga terkecil.
Karya itu akhirnya menunjukkan deformasi atau perubahan bentuk aslinya. Ini merefleksikan fenomena copy and paste dalam budaya pemanfaatan data tekstual internet. Deretan teks yang disalin dan ditempel untuk bangunan konsep lain tidak mustahil pada akhirnya memberikan wujud yang berbeda dengan konsep aslinya.
Mungkin saja ini ilusi. Hasil dari perilaku copy and paste dari tekstual digital di internet pada akhirnya bisa menjadi sebuah ilusi yang tidak disadari.
Eldwin Pradipta dalam karyanya, ”Life Chain Reaction”, menggunakan teknologi visual lorong dimensional disertai kamera penangkap bayangan manusia di depannya. Eldwin menghadirkan ilusi. Ia memasukkan bayangan orang lain yang ada di depan karyanya itu ke dalam citra lorong yang dibuatnya.
Gabriel Aries menampilkan karya tiga dimensi dengan material batu alami dan resin buatan. Ia membuat perpaduan dari material kontras tersebut. Batu-batu alam yang pipih disatukan dengan resin dan membentuk material baru yang kontras, tetapi solid. Gabriel juga menambahkan unsur bentuk dari resin buatan pada bongkahan batu-batu alam lainnya.
Ini ilusi menarik. Karya-karya itu menjadi patung berbentuk abstrak dengan ilusi kesatuan material kontras antara batu alam dan resin buatan. Octo Cornelius menampilkan karya instalasi kayu dan metal dan diberi judul ”Nikmat Sisa Penguasa”. Octo sejak kecil memiliki hobi kriya dengan materi kayu.
Ia membentuk struktur lampu gantung dengan rantai-rantai menjulur ke bawah. Di setiap ujung rantai berbentuk kait untuk menggantung daging. Ada instalasi berbentuk rupa burung-burung dengan sayap mengepak dan paruh yang berusaha menyesap sisa-sisa daging di ujung setiap pengaitnya. Inilah yang dimaksud Octo sebagai nikmat sisa penguasa, nikmat daging yang masih tersisa di pengaitnya.
Ilusi lain mudah terlihat di dalam karya Rukmunal Hakim dan Jonathan Aditya yang memanfaatkan teknik realitas berimbuh atau augmented reality. Dari karya lukis yang statis atau diam, sebuah pranala teknis berupa aplikasi di gawai memungkinkan obyek yang ada di dalam lukisan diam itu menjadi bergerak.
Mereka juga menciptakan realitas berimbuh untuk salah satu lukisan diam lainnya dengan sudut pandang 360 derajat. Melalui aplikasi gawai, panorama yang muncul dapat ditelusuri dengan memutar 360 derajat.
Pameran yang dikuratori Zarani Risjad ini telah menyuguhkan kompleksitas ilusi. Ilusi yang membias dari kehidupan nyata hingga ilusi sebagai tipuan yang benar-benar dikejar. Semua akhirnya menghibur.