Janji Sang Penari
Namaku Wilastri. ibuku memanggilku Luh Wila. Orang-orang di luar keluargaku sering memanggilku Luh Lastri.
Namaku Wilastri. ibuku memanggilku Luh Wila. Orang-orang di luar keluargaku sering memanggilku Luh Lastri. Aku pasrah dengan semua panggilan mereka. Panggilan itu akhirnya berpulang juga pada namaku: Wilastri.
Namaku adalah pemberian ayahku; lelaki bijak yang sangat kuhormati. Itulah sebabnya aku selalu patuh pada nasihat dan saran ayahku.
Ia seorang penari terkenal. Usiaku 14 tahun ketika ayah menyuruhku belajar menari. Ia memuji kulitku yang putih, mataku yang cerlang, tubuhku ramping, dan kakiku tirus berisi. Semua itu memenuhi syarat untuk menjadi penari. Aku hanya terbengong-bengong mendengar pujian ayahku.
Seorang guru tari datang ke rumahku tiga kali seminggu untuk mengajarku menari. Anehnya sang guru tari memberikan pujian yang sama dengan pujian ayahku. Ia mengatakan akan mudah mengajar aku menari; sebab postur tubuhku memang postur tubuh seorang penari. Tubuhku yang langsing dan kakiku yang ramping sangat dipuji oleh guruku.
Dalam waktu beberapa bulan aku telah menguasai beberapa tarian. Guruku memujiku di hadapan ayahku. Pujiannya kurasa agak berlebihan.
”Putri Bapak luar biasa. Jika keadaan mendukung, ia akan menjadi penari terkenal. Ia tidak saja menari dengan tubuhnya, tetapi dengan seluruh jiwa raganya.”
Ayahku hanya tersenyum. Dari air mukanya tampak rasa bangga dan keyakinan akan kemampuanku.
Aku sendiri biasa-biasa saja. Selama belajar menari, aku tidak pernah terlalu banyak mengerahkan kemampuanku.
Malam ini pertama kali aku menari di depan umum. Tidak sedikit pun aku merasa tegang. Perasaanku ringan, riang, gamblang; seperti ketika aku bermain-main di masa kanak-kanakku. Hal ini juga dikagumi oleh guru tariku. Sejak itu aku terus menari dari arena ke arena. Aku tak memilih waktu siang atau malam. Entah berapa arena telah kujajal, tempatku melenggang-lenggok menyuguhkan keindahan. Tepuk tangan yang riuh, mata yang nyalang karena terpukau telah mengiringi aku menempuh hari-hari hidupku.
Dalam asmara aku memang agak dingin. Tapi aku tak pernah menampik lelaki untuk berteman. Aku punya banyak teman lelaki, tetapi cuma teman bergurau. Tak ada di antara mereka yang spesial. Kalau sudah larut bergurau, aku bisa akrab dengan setiap lelaki. Tetapi aku tak pernah merasakan keakraban asmara.
Umurku sudah 20 tahun ketika lelaki itu datang ke rumahku. Ia lelaki yang lugu dan tidak banyak bicara, tetapi kepribadiannya mengagumkan. Saat-saat diperlukan ia selalu bertindak cepat dan tepat. Satu hal yang aku kagumi adalah ia selalu tersenyum dalam kesulitan. Ia gampang saja mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kita”.
Lelaki itu menambat hatiku. Aku tak lagi sekadar bergurau. Aku selalu mengharapkan kehadirannya, selalu ingin berada di dekatnya, selalu ingin bercakap dengannya. Apakah ia merasakan hal yang sama, aku tak tahu. Tapi ia tak pernah mengecewakan hatiku. Ia menemani aku berlama-lama, kapan aku mau.
Aku sering memancing dengan percakapan apakah ia punya perasaan sama seperti perasaanku. Tapi ia terlalu banyak punya akal untuk menyembunyikan perasaannya. Lagi pula ia lelaki yang hemat cakap. Ia memberikan reaksi pada saat yang tepat dengan jawaban tepat. Tapi semua kata-katanya membuat hatiku sejuk dan damai.
Aku mencoba mengajuk lubuk hatinya lewat sorot matanya. Tapi pandangan matanya yang teduh justru melumerkan ajukanku. Aku jadi terlena memandangnya berlama-lama. Alih-alih aku menyelidik, ia lebih dulu menebak isi hatiku. Tapi ia tak mau mengentarakan maksudku. Ia hanya tersenyum.
Aku berpacaran setelah berhubungan tiga tahun lebih. Aku sudah berhasil masuk ke lubuk hatinya yang paling dalam. Ia tetap hemat cakap. Sewaktu-waktu jika aku berduaan ia menunjukkan kasih sayangnya, tapi hanya dengan isyarat-isyarat. Tak pernah ia berbuat berlebihan, apalagi sensasi. Ia akan memegang tanganku bila berjalan berduaan.
Ketika aku merencanakan pernikahan aku membuat sebuah gagasan. Sebenarnya gagasanku ini tidak ada manfaatnya kecuali membuat kejutan. Jangan-jangan orang akan mengatakan aku membuat sensasi. Tapi bagiku gagasan ini sangat menyenangkan. Pacarku setuju.
”Sebelum kawin aku ingin menari di hadapanmu. Kau setuju bukan?”
”Bagaimana kalau kau dikatakan gila?”
”Maksudku bukan menari di sembarang waktu atau di sembarang tempat. Nanti pada upacara di Pura Desa aku pasti menari. Kau harus menonton aku menari dari awal sampai akhir. Selama ini kau mengenal aku sebagai aku diriku, bukan aku sebagai penari.”
Rupanya karmaku buruk. Sebelum aku sempat memenuhi janjiku pacarku hilang dalam kecelakaan di laut. Selama dua bulan lebih aku tenggelam dalam duka nestapa. Kegiatanku menari terhenti. Semua permintaan kepadaku untuk menari kutolak. Pikiranku terlunta tak menentu.
Seandainya pacarku meninggal aku masih berharap menemukan mayatnya; paling sedikit dalam mimpi. Aku ingin berbicara dengan dia apakah dia memang meninggal atau berada di suatu tempat. Semua ini kuharapkan untuk menghilangkan keraguanku. Aku sangat tersiksa oleh keadaan tak menentu.
Sebulan setelah kepergiannya aku terusik oleh janji yang pernah kuucapkan. Aku memang tak mungkin lagi menikah dengannya. Tetapi bukan berarti janjiku batal. Janji adalah janji yang harus dipenuhi. Logikaku mendesak. Tapi aku harus menari di hadapan siapa. Bagaimana aku menyuruh dia menonton tarianku. Dia telah tiada. Hilang.
Aku menyampaikan hal ini kepada kedua orangtuaku. Tapi mereka malah tertawa. Mereka mengatakan aku membuat rencana yang aneh-aneh. Ketika mereka melihat aku kebingungan, mereka berbalik prihatin.
Suatu malam ibuku memanggil aku ke kamarnya. Ayahku duduk di ruang tengah sedang menembangkan kakawin Sutasoma. Suaranya lirih dan lembut. Suara itu membuat aku terusik kembali oleh peristiwa kecelakaan pacarku. Kubayangkan atmannya berkelana untuk menemukan tempat yang pas bagi karmanya. Saat seperti itu perasaanku kembali terharu biru tak menentu.
Ketika ibuku menegur aku terkejut dan tersentak dari lamunanku.
”Mengapa kamu sampai membuat janji aneh itu?”
”Apa menurut ibu janjiku itu aneh?”
”Ya, aneh. Pacarmu sudah tahu kamu seorang penari. Masih perlukah kamu menari di hadapannya?”
”Aku ingin memperlihatkan diriku yang lain. Bukan aku sebagai aku, tetapi aku sebagai penari. Inilah diriku sang penari.”
”Tapi mungkin kamu sudah berbeda dunia.”
”Ya, saya akan mencari cara.”
Sejak kehilangan pacarku aku jadi kedap lelaki. Banyak lelaki yang mendekati aku, tapi aku hanya menganggapnya sahabat-sahabat. Aku seperti kehilangan dunia lelaki. Aku berbaik-baik dengan semua lelaki yang bergaul denganku, tapi tak satu pun di antara mereka memberikan aku dunia lelaki seperti yang pernah diberikan pacarku. Jika kepadaku ditanyakan apa kelebihan dunia lelaki pacarku jika dibandingkan para lelaki pendambaku sekarang, aku tak bisa menjawabnya. Ia bukan orang kaya, bukan orang tampan, bukan orang berkedudukan tinggi. Tapi ia mampu memberikan aku dunia lelaki, tempat aku betah berada di dalamnya. Kata orang, aku frustrasi. Pacaranku tidak rasional. Tapi bagiku cinta memang tidak rasional. Cinta yang berpretensi kebendaan adalah edan.
Pada suatu pagi aku membuka kembali album kenangan dengan pacarku. Ibuku pernah menyarankan album itu dibakar agar bisa melupakan apa yang telah hilang. Aku tidak mau mengikuti nasihat ibuku. Benda-benda itu bisa dimusnahkan, tapi arti benda-benda itu tetap melekat dalam pikiranku. Biarlah waktu yang memusnahkan. Aku percaya dengan kekuasaan waktu yang mengubah segala-galanya.
Kupikir apa arti selembar foto pacar yang sudah hilang dari sisiku. Benda itu tak berguna bagi hidupku. Tapi sedikitnya bisa memberikan rasa manis bagi masa laluku. Aku terus melihat-lihat album kenangan masa laluku sampai aku merasa bosan. Sebelum menutup album sekali lagi kulihat foto pacarku. Aku ingin mengajuk senyumnya yang misteri.
Tanpa nyana timbul gagasan dalam pikiranku yang mungkin lebih aneh atau lebih gila dari gagasanku yang dulu. Kini aku mendapat jalan untuk melaksanakan janjiku sebagai penari. Meski pacarku sudah hilang ia masih meninggalkan foto dalam albumku. Foto cuma sebuah bayangan. Tapi punya arti kalau kita memberikan arti. Maka aku putuskan saat menari di upacara Pura Desa aku akan menari di hadapan foto pacarku. Meskipun aku tak mungkin kawin, janjiku sudah kutunaikan.
Tak pernah aku menari semantap malam itu. Kubuka seluruh rasa dan asaku untuk menyertai tarianku. Setiap mata yang memandangku tampak seperti mata pacarku. Di seberang kedalaman matanya kulihat misteri senyumnya. Kulihat ia bertepuk tangan untukku. Sampai tarianku berakhir ia tak beranjak dari tempatnya. Janjiku sudah kutunaikan. Tak ada lagi beban yang menindih aku.
Ibuku tercenung ketika aku menyampaikan keputusanku yang terakhir. Mungkin ibuku kecewa atau sedih atau mungkin marah karena selama ini ia menganggap aku suka berbuat aneh-aneh.
”Bu aku tak akan kawin jika tidak dengan lelaki penari. Hanya pada lelaki penari kutemukan kembali duniaku yang hilang.”
”Pacarmu dulu kan bukan penari.”
”Siapa mengatakan begitu? Dia seorang penari hebat. Tapi dia tak suka menyombongkan kemampuannya.”
”Oh, jadi inikah anak ibu Wila?” Ibuku mengeluh.
”Ya, inilah Wilastri anak ibu!”
Ibuku termenung. Mungkin bingung, sedih, kecewa, atau campur aduk semuanya.*
Nyoman Tusthi Eddy, lahir 12 Desember 1945 di Desa Pidpid, Karangasem, Bali. Ia seorang guru SMA yang telah menulis banyak buku, di antaranya buku kumpulan esai Nukilan (1983), Gumam Seputar Apresiasi Sastra: Sejumlah Esai dan Catatan (1985), Kamus Istilah Sastra Indonesia (1991) dan kumpulan cerpen Kenangan Demi Kenangan (1981).
Saat cerpen ini masuk daftar antrean pemuatan, Nyoman berpulang pada Jumat (27/1/2020) di kampung kelahirannya.
Firman Lubis, lahir di Bandung, 28 Desember 1975, menamatkan pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, aktif berpameran antara lain berpartisipasi sebagai peserta pameran Bandung Plein Air di Bandung (2019).